https://jakarta.times.co.id/
Berita

Tuntutan PHLI Sikapi Bencana Ekologis di Pulau Sumatera

Senin, 22 Desember 2025 - 12:18
Tuntutan PHLI Sikapi Bencana Ekologis Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) menyampaikan enam tuntutan menyikapi bencana ekologis di Pulau Sumatera. (Foto: Istimewa)

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) menyampaikan enam tuntutan menyikapi bencana ekologis yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatera Selatan. Di antaranya adalah menerapkan pertanggungjawaban pidana terhadap pejabat pemerintah yang telah mengeluarkan perizinan kepada perusahaan industri ekstraktif dan kebijakan alih fungsi kawasan hutan dengan menyalahgunakan kewenangannya.

PHLI menyampaikan tuntutan itu dalam  konfrensi press secara online Senin (22/12/20250 siang yang diikuti puluhan awak media, WALHI dan organisasi masyarakat yang berbasis memberdayaan ekosistem.  Memasuki minggu keempat setelah banjir dan longsor pada akhir November 2025, kondisi paska bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat nyaris tak ada perubahan. Atas dasar hal tersebut, Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) perlu menyampaikan sikap.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diperbaharui Sabtu, 20 Desember 2025, bencana ekologis di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah mengakibatkan 1.071 orang meninggal dunia, 185 hilang, luka-luka 7.000 orang, mengungsi 526.868 orang, dan kerusakan rumah 147.236 unit.

Sebagian aliran listrik masih belum normal, masyarakat masih kesulitan mengakses makanan dan air bersih sehingga harus berjalan berkilo-kilo meter dalam kondisi lapar, akses jalan masih banyak yang terputus, akses bantuan masih terbatas, rumah-rumah terendam lumpur, dan ribuan kubik gelondongan kayu teronggok mengepung sungai dan rumah-rumah warga.

Sampai saat ini pemerintah masih bersikukuh menolak menetapkan bencana ekologis Sumatera sebagai bencana nasional yang mengakibatkan berlanjutnya pelanggaran hak asasi manusia, termasuk hak atas lingkungan. Pemerintah juga menolak bantuan internasional dengan alasan sanggup mengatasi bencana, meski faktanya penanganan paska bencana sangat lamban dan tidak jelas. Pemerintah justru mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang nirempati, tidak sesuai fakta, dan kontraproduktif terhadap penanganan bencana.

“PHLI berpendapat bahwa bencana yang melanda tiga provinsi di Sumatera tersebut bukanlah bencana alam, namun bencana ekologis yang diakibatkan oleh kebijakan atau tindakan pemerintah dan korporasi. Tindakan tersebut berupa alih fungsi kawasan hutan melalui pemberian izin-izin dan konsesi kepada perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan, dan Hutan Tanaman Industri (HTI),” terang Ketua Umum PHLI,Prof. M.R. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M, Ph.D .

Andri menambahkan, catatan Greenpeace menyebutkan bahwa sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatera kritis dengan tutupan hutan alam yang tersisa hanya 25 persen. Sedangkan secara keseluruhan hutan alam yang tersisa hanya 10-14 juta hektar atau kurang dari 30 persen luas Pulau Sumatera. Di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tercatat 94 ribu hektar lahan digunakan untuk industri ekstraktif, di mana 28 persennya merupakan HTI dan sisanya perkebunan sawit dan pertambangan.2

Sementara catatan Trend Asia menyatakan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah kehilangan hutan alam seluas 3.678.411 hektar selama 10 tahun terakhir. Sumatera Utara mengalami kehilangan hutan alam yang tertinggi, disusul Sumatera Barat dan Aceh. Di ketiga provinsi tersebut terdapat 31 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan total luas 1.019.287 hektar, di mana 15 izin terbanyak berlokasi di Sumatera Utara dengan luas lahan 592.607 hektar.

“Laporan Trend Asia juga menyebutkan bahwa penerbitan PBPH tersebut mengakibatkan meningkatnya deforestasi dari 414.295 hektar pada tahun 2021 menjadi 635.481 hektar pada tahun 2022, atau naik hampir 54 persen dalam setahun setelah izin PBPH terbit,” paparnya.

PHLI menilai, deforestasi yang memicu banjir besar dan longsor di Sumatera tidak sekedar diakibatkan penebangan pohon secara illegal, tetapi juga ditengarai berasal dari penebangan legal berbasis izin. Obral izin di kawasan hutan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berwenang memberi izin, termasuk pengawasan atas izin tersebut. Obral izin tersebut mengabaikan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan, juga menegasikan keberadaan dan hak masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Praktik tersebut berlangsung dari dulu sampai saat ini tanpa ada perubahan yang berarti.

Setelah beberapa minggu berlalu paska bencana ekologis, pemerintah mengeluarkan pernyataan akan melakukan penegakan hukum. Dalam hal ini Pemerintah berencana mencabut 22 Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan bermasalah di seluruh Indonesia seluas total 1.012.016 hektar, di mana 116.168 hektar berada di Sumatera. Selain mencabut izin, pemerintah juga hendak menerapkan pertanggungjawaban pidana.

PHLI mengapresiasi langkah pemerintah untuk melakukan penegakan hukum tersebut. Namun demikian, PHLI berpendapat rencana pemerintah yang hendak menerapkan sanksi administratif dan pidana, jika dilakukan tanpa dibarengi evaluasi atas tindakan dan kebijakan pemerintah selama ini, merupakan upaya menyelamatkan diri dari kesalahan. Penegakan hukum tidak membuat pemerintah bebas dari tanggungjawab.

“Pemerintah telah dengan sengaja mengeluarkan izin di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Perizinan diterbitkan di dalam kawasan hutan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, daya dukung, dan daya tampung lingkungan hidup, serta fungsi ekologis kawasan hutan. Selain itu, pemerintah juga tidak optimal melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap izin yang sudah diberikan, sehingga perusahaan pemegang izin tersebut dengan bebas merusak hutan tanpa ampun dan tidak terkendali,” tandasnya.

Dalam hal ini, lanjut Andri, pemerintah telah melanggar hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai amanat Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Pasal 28H ayat (1) tersebut setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia merupakan kewajiban negara terutama pemerintah berdasarkan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas tanggung jawab negara. Maka, dalam konteks HAM dan tanggung jawab negara, negara wajib memberikan perlindungan bagi warga negaranya dengan cara berhati-hati dalam mengeluarkan perizinan di kawasan hutan, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan perizinan tersebut, dan melakukan penegakan hukum.

“Berdasarkan hal tersebut PHLI menuntut dihentikannya dengan segera deforestasi di seluruh Indonesia dengan moratorium perizinan pemanfaatan kawasan hutan, penghentian seluruh penerbitan izin baru dan pelepasan kawasan hutan di sektor perkebunan skala besar, tambang, dan HTI. Moratorium perizinan ini harus diawasi penuh supaya tidak justru menjadi alat untuk menerbitkan izin baru maupun perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana yang terjadi pada moratorium sebelumnya. Selain itu pemerintah juga harus melakukan evaluasi menyeluruh atas kebijakan dan perizinan dalam kawasan hutan, termasuk pengelolaan sumber daya alam,” tegasnya.

Menyikapi bencana ekologis yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, PHLI menuntut hal-hal sebagai berikut:

  1. Pemerintah menetapkan bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional dan melakukan penanganan terhadap korban bencana ekologis dan pemulihan lingkungan hidup;
  2. Pemerintah bertanggung jawab atas pemberian persetujuan lingkungan dan perizinan yang merusak lingkungan, hutan, dan merugikan masyarakat;
  3. Pemerintah melakukan moratorium dan meninjau ulang seluruh perizinan di kawasan hutan terutama perizinan yang berkaitan dengan kegiatan industri ekstraktif;
  4. Pemerintah mengumumkan seluruh perusahaan industri ekstraktif yang diberi izin dalam kawasan hutan atau yang sebelumnya merupakan kawasan hutan;
  5. Pemerintah melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap seluruh perusahaan yang merusak hutan dan lingkungan hidup.

“Terakhir, pemerintah menerapkan pertanggungjawaban pidana terhadap pejabat pemerintah yang telah mengeluarkan perizinan kepada perusahaan industri ekstraktif dan kebijakan alih fungsi kawasan hutan dengan menyalahgunakan kewenangannya,” pungkas Andri. (*)

Pewarta : Erliana Riady
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.