TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sejarah hari ini mencatat 17 Maret mencatat banyak peristiwa penting di Indonesia. Sebut saja Hari Perawat Nasional, Gunung Agung meletus yang menyebabkan ribuan orang meninggal hingga pecahnya Mataram dengan adanya perjanjian Salatiga.
Berikut rangkaian peristiwa penting yang terjadi pada 17 Maret:
1974
17 Maret 1974 merupakan hari dibentuknya Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang akhirnya menjadi dasar penetapan Hari Perawat Nasional.
Sebelum PPNI terbentuk, beberapa organisasi perawat sepakat untuk melakukan fusi dalam satu wadah. Beberapa organisasi tersebut diantaranya Perkumpulan Kaum Verpleger fster Indonesia (PKVI), Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI), Persatuan Perawat Indonesia (PPI), dan Ikatan Perawat Indonesia (IPI).
Sebagai wadah organisasi perawat, PPNI berkomitmen memberikan perlindungan bagi masyarakat dan profesi keperawatan sesuai dengan undang-undang.
1963
Gunung Agung Bali (Foto: Dokumen TIMES Indonesia)
Gunung Agung Bali meletus. Letusan dahsyat ini menyebabkan lebih dari 2000 jiwa meninggal dunia. Gunung dengan tinggi 3031 meter dpl ini sebenarnya sudah mulai meletus mulai 18 Februari 1963. Namun Letusan paling dahsyat terjadi pada 17 Maret 1963, tiga hari sebelum Hari Raya Galungan. Akibatnya, seluruh bagian timur Bali porak-poranda, menelan ribuan korban jiwa, disusul bencana kelaparan dan wabah penyakit.
1757
Keraton Solo (Foto: Shutterstock)
Pada 17 Maret 1757, sejarah mencatat peristiwa Perjanjian Salatiga. Latar belakang perjanjian Salatiga adalah adanya konflik perebutan kekuasaan di wilayah Mataram Jawa.
Sekilas isi dari Perjanjian Salatiga adalah pembagian wilayah Mataram menjadi tiga bagian. Pangeran Hamengkubuwono I dan Paku Buwono III menyerahkan beberapa wilayah kekuasaanya kepada Pangeran Sambernyawa. Wilayah tersebut meliputi Ngawen di Yogyakarta dan sebagian wilayah di Surakarta (Solo).
Sejarah mencatat, Gedung Pakuwon Salatiga dipilih sebagai lokasi penandatangan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757. Ini karena wilayah Salatiga dianggap sebagai daerah netral. (*)
Pewarta | : Ratu Bunga Ambar Pratiwi (MG-345) |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |