TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ketegangan nuklir antara Rusia dan Amerika Serikat kembali meningkat. Kepala Dewan Keamanan Rusia Sergey Shoigu menegaskan bahwa Moskow siap melakukan uji coba senjata nuklir jika Washington memutuskan untuk memulainya lebih dulu.
Pernyataan itu disampaikan sehari setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa ia telah memerintahkan militer Amerika Serikat untuk mengaktifkan kembali program pengujian nuklir, yang telah dihentikan selama lebih dari tiga dekade.
“Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin, panglima tertinggi, telah menanggapi hal ini. Jika mereka mulai melakukan uji coba, tentu saja kami akan melakukan hal yang sama,” ujar Shoigu kepada wartawan di Moskow, Jumat (31/10/2025).
Shoigu menegaskan, Rusia tidak akan memulai konfrontasi, tetapi akan merespons setiap langkah provokatif dari pihak lain.
“Saya lihat tak ada hal yang baru di sini; ini adalah respons yang wajar. Jika mereka tidak melakukannya, kami juga tidak akan melakukannya,” katanya menambahkan.
Perintah Trump Mengguncang Stabilitas Global
Dalam unggahannya di platform Truth Social pada Kamis (30/10), Trump menyampaikan bahwa Departemen Pertahanan AS telah menerima instruksi resmi untuk memulai kembali proses uji coba senjata nuklir.
“Proses itu akan segera dimulai,” tulis Trump singkat, tanpa menjelaskan lokasi atau jadwal pelaksanaan uji coba tersebut.
Langkah ini langsung memicu kekhawatiran internasional. Para analis keamanan menilai keputusan itu dapat mengguncang arsitektur pengendalian senjata global, yang dibangun dengan susah payah sejak berakhirnya Perang Dingin.
Program pengujian nuklir AS sendiri terakhir kali dilakukan pada 1992, sebelum kemudian ditangguhkan melalui Traktat Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty/CTBT). Meskipun AS menandatangani perjanjian tersebut, Senat belum pernah meratifikasinya, berbeda dengan Rusia yang secara formal telah menandatangani dan meratifikasi CTBT pada 2000.
Sinyal Keras dari Moskow
Pernyataan Shoigu bukan sekadar respons retoris. Rusia disebut telah meningkatkan kesiapan militernya dalam beberapa bulan terakhir, termasuk dengan menggelar serangkaian uji coba sistem persenjataan strategis, seperti rudal jelajah bertenaga nuklir dan torpedo otonom Poseidon.
Namun, Shoigu menegaskan bahwa tidak ada uji coba nuklir aktif yang dilakukan Rusia hingga saat ini.
“Kami belum melakukan pengujian senjata nuklir yang sebenarnya,” tegasnya, menepis spekulasi bahwa Moskow diam-diam telah melanggar moratorium global.
Sementara itu, Kremlin menilai bahwa keputusan Trump bisa memicu “perlombaan senjata baru” yang berisiko mengulang era konfrontasi militer antara blok Barat dan Timur.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, dalam konferensi pers terpisah mengatakan bahwa Rusia akan “memantau dengan seksama” setiap langkah AS.
“Kami berharap Washington mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari keputusan tersebut terhadap keamanan global,” ujar Peskov.
Bayangan Perang Dingin Baru
Keputusan AS untuk kembali menguji senjata nuklir menandai pergeseran kebijakan besar dari kebijakan pengendalian senjata yang diterapkan selama tiga dekade terakhir.
Pakar hubungan internasional dari Moscow State Institute of International Relations (MGIMO), Dr. Pavel Danilov, menilai langkah Trump berpotensi menimbulkan “efek domino” bagi negara-negara lain yang memiliki kemampuan nuklir.
“Jika AS memulai kembali uji coba nuklir, bukan hanya Rusia yang akan menanggapinya, tetapi juga China, Korea Utara, dan bahkan negara-negara yang selama ini menahan diri. Ini bisa membuka babak baru dalam perlombaan senjata global,” ujarnya.
Menurut Danilov, saat ini arsenal nuklir dunia telah mencapai tingkat modernisasi tertinggi sejak era Perang Dingin. Rusia, AS, dan China sama-sama mengembangkan sistem senjata hipersonik yang mampu membawa hulu ledak nuklir lintas benua dalam hitungan menit.
Langkah uji coba baru, katanya, dapat menghapus seluruh capaian diplomasi senjata sejak 1990-an, termasuk Perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty) yang sempat menjadi pilar stabilitas global.
Putin dalam Posisi Siaga
Presiden Vladimir Putin sebelumnya telah mengisyaratkan kemungkinan meninjau kembali moratorium uji coba nuklir Rusia. Dalam pidatonya di Dewan Federal awal Oktober, Putin menyebut bahwa Rusia perlu “menyesuaikan diri dengan situasi global yang berubah cepat.”
“Kami tidak akan menjadi pihak pertama yang mengakhiri moratorium. Namun jika pihak lain melakukannya, kami akan menanggapinya dengan setimpal,” tegas Putin kala itu.
Pernyataan Shoigu kini dianggap sebagai konfirmasi langsung atas sinyal politik Putin, menandakan bahwa Kremlin siap bereaksi secara simetris terhadap setiap langkah Washington.
Di sisi lain, Rusia juga disebut telah meningkatkan kegiatan di lokasi uji coba nuklir Novaya Zemlya, wilayah terpencil di Kutub Utara yang digunakan sejak era Uni Soviet. Citra satelit menunjukkan adanya aktivitas konstruksi dan pergerakan kendaraan militer di area tersebut sejak pertengahan tahun.
Reaksi Dunia Internasional
Komunitas global segera merespons memanasnya situasi antara dua kekuatan nuklir terbesar dunia ini. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengingatkan bahwa kembalinya uji coba nuklir dapat membawa “konsekuensi bencana bagi kemanusiaan.”
“Setiap langkah menuju eskalasi nuklir adalah langkah mundur bagi perdamaian dunia,” tegas Guterres dalam pernyataan tertulisnya.
Negara-negara anggota Uni Eropa juga menyerukan agar AS dan Rusia menahan diri serta kembali ke meja perundingan untuk memperbarui komitmen terhadap CTBT. Sementara itu, China dan India—dua kekuatan nuklir besar lainnya—memilih berhati-hati, dengan menyerukan “stabilitas strategis” dan “dialog konstruktif.” (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Rusia Ancam Lakukan Uji Coba Nuklir Jika AS Memulai Lagi
| Pewarta | : Ferry Agusta Satrio |
| Editor | : Imadudin Muhammad |