TIMES JAKARTA, JAKARTA – Festival Keluarga Indonesia yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar talkshow yang menarik untuk keluarga diantaranya membahas soal finansial dan mengatasi trauma generasi Z (gen Z).
Festival Keluarga Indonesia PBNU yang digelar selama dua hari pada Sabtu (1/2/2025) dan Minggu (2/2/2025) kemarin di Kota Kasablanka Jakarta menghadirkan pakar keuangan yang juga CEO & Lead Financial Trainer QM Financia, Ligwina Hananto pada hari keduanya.
Bicara tentang finansial, Ligwina Hananto mengatakan bahwa cerdas finansial menjadi kunci utama mewujudkan keluarga yang maslahat. Menurutnya, peran suami dan istri menjadi hal yang penting dalam mengatur keuangan untuk membina rumah tangganya.
“Mengatur keuangan ini menjadi bagian dari merekatkan hubungan yang baik antara suami dan istri saat membina rumah tangganya,” ucap Ligwina Hananto dalam keterangan persnya kepada TIMES Indonesia, Senin (3/2/2025).
Ligwina mengungkapkan belajar mengatur keuangan dalam keluarga merupakan bentuk ibadah dalam agama Islam. Menurutnya, keluarga yang sukses merupakan keluarga yang pandai mengatur keuangan dan bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga.
“Jadi yang sukses itu bukan orang atau keluarga yang uangnya banyak tapi orang atau suatu keluarga yang merasa cukup,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia (BI) Rifki Ismail yang hadir sebagai pembicara juga mengungkapkan bahwa penting dalam keluarga untuk cerdas finansial dimulai dari mengatur keuangan.
“Kita perlu menjaga stabilitas keuangan keluarga itu melalui financial planning, harus diatur itu,” ungkapnya.
Rifki Ismail menjelaskan, ada tiga cara mengatur agar keuangan dapat dikelola dengan baik. “Pertama, uang untuk memenuhi kebutuhan sekarang, seperti konsumsi dan kebutuhan sehari-hari. Kedua, uang untuk antisipasi, seperti sakit, kebutuhan anak, dan belanja. Ketiga, investasi jangka panjang dengan cara menjadikannya sebagai aset fisik, simpan di lembaga keuangan, dan pasar keuangan,” jelasnya.
Diwaktu yang sama, Psikolog Keluarga yang juga Ketua PBNU, Alissa Wahid menyampaikan, relationship goals bisa diwujudkan dengan banyak faktor, yakni kesiapan diri tiap individu, kematangan diri, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain, terutama dengan pasangan.
"Sebetulnya kalau diri kita siap dengan diri sendiri, maka kita akan paham karakter diri, pasangan, dan keterampilan untuk mengelola hubungan. Tapi hubungan itu tidak secara otomatis mudah dibangun," kata Alissa.
Alissa menyebut ada tiga segitiga cinta dalam membangun hubungan bersama pasangan dalam perkawinan. Tiga segitiga cinta itu adalah kedekatan emosi, hasrat, dan komitmen. "Kalau tiga ini ada satu yang bolong, tidak jadi langgeng karena komitmennya ada, gairah seksualnya tinggi, tapi tidak ada kedekatan emosi itu berarti partner sharing tidak ada bukan pasangan atau sebaliknya," sebutnya.
Senada dengan Alissa, Kalis Mardiasih menerangkan, waktu berkualitas bersama pasangan juga penting untuk diupayakan. Kalis bilang bahwa dalam menikah prinsip harus sama. Adapun soal perbedaan karena dibesarkan dalam tradisi keluarga yang berbeda itu adalah hal yang wajar.
"Prinsip itu harus sama, mau partainya atau organisasinya beda, tapi basic value harus ketemu," ucap penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan itu.
Penggunaan Media Sosial bagi Anak
Ketua KPAI Ai Maryati Sholihah mengungkapkan alasan orang tua mengizinkan anak-anak mereka dalam menggunakan media sosial, meskipun masih di bawah umur.
Ai menyebut bahwa sebanyak 7 dari 10 anak di Indonesia saat ini menggunakan internet. Tujuan anak-anak menggunakan internet menurut orang tua mereka adalah untuk berkomunikasi dan membuka pengetahuan.
Namun, berdasarkan survei yang Ai lakukan, sebanyak 74 persen dari 50 anak yang ditanyai olehnya, mayoritas menjawab menggunakan internet untuk bersenang-senang.
"Dalam 3 tahun ini anak korban pornografi masuk 5 besar dalam laporan paling banyak ke KPAI, pertama pelecehan seksual, kedua korban fisik dan psikis, ketiga pornografi, keempat konflik hukum, kelima eksploitasi (khususnya di media sosial)," ungkapnya.
Salah satu sumber masalah dalam hal ini adalah kurangnya pengawasan dari orang tua, kemudian negara harus mencari solusi mengatasi permasalahan ini dengan membantu meningkatkan tingkat literasi para orang tuanya.
Sekretaris LKK PBNU itu juga berharap bahwa masyarakat Indonesia bisa mengendalikan teknologi komunikasi dan merefleksikannya secara bersamaan.
Sementara itu, Bagian perlindungan dan Tata kelola anak lembaga "Save The Children" Bagus Wicaksono menyebutkan beberapa hal yang membuat adanya kerenggangan di dalam keluarga.
"Hal yang membuat keluarga merenggang yang pertama individualisme (mementingkan diri sendiri), kedua adanya gap interaksi, ketiga menurunnya keharmonisan, keempat kurangnya komunikasi," ungkapnya.
Permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak sekarang adalah mereka kurang mendapatkan perhatian mengenai hal yang disukai olehnya dalam hal ini seperti hobi, penting bagi orang tua mengetahui dan mendukung apa yang dikehendaki oleh anak.
"Hal itu harus mengajak berbagai pihak pemerintah dan lainnya untuk mengetahui hobi dan mendukung yang menjadi kesukaannya hal ini bisa meningkatkan keharmonisan dalam keluarga," jelas Bagus.
Mengatasi Luka Batin Gen Z
Praktisi kesehatan mental Adjie Santosoputro menegaskan bahwa mengurangi ego antargenerasi dalam pola asuh dapat meredam konflik antara orang tua dan anak, juga konflik antargenerasi.
“Untuk meredam konflik antargenerasi, kita perlu mewaspadai ego generasi. Generasi Z sering menganggap berbeda dengan generasi sebelumnya bahwa generasi tua itu kolot, sementara generasi tua menganggap generasi mereka lebih kuat dan lebih hebat. Ego antargenerasi ini menciptakan fragmentasi selama masing-masing generasi merasa lebih hebat,” tegasnya dalam bincang santai bertajuk Bincang Santai: Healing Journey: Cara Gen Z Mengatasi Luka Batin.
Lulusan Psikologi Universitas Gadjah Mada itu juga menegaskan bahwa selama ego antargenerasi itu terus berlanjut maka keakraban dalam pola asuh akan sulit terbentuk, sehingga penting bagi orang tua dan anak keluar dari ego antargenerasi.
Adjie juga menjelaskan kecenderungan orang tua yang menerapkan pola pengasuhan masa kecilnya sendiri yang sebetulnya tidak sesuai dengan zaman anak-anaknya yang sudah berubah.
“Salah satu ketakutan manusia adalah perubahan, generasi orang tua tanpa sadar menganggap bahwa zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan zaman dahulu padahal percepatan perubahan zaman luar biasa cepat,” ujarnya.
Senada dengan Adjie, Kreator Konten @dialogue_positive Riza Abu Sofyan (Abu Marlo), menekankan pentingnya melatih kesadaran diri untuk menyembuhkan luka batin dan pola asuh yang tepat untuk meredakan overthinking.
“Yang terpenting adalah memunculkan self awareness, dengan dilatih dan pola pengasuhan dalam keluarga juga sangat berpotensi besar dalam konteks luka batin, jadi kuncinya adalah kembali ke rumah,” tegasnya.
Abu Marlo juga menekankan pentingnya kesadaran diri untuk menyembuhkan luka batin dan di era dengan banyaknya informasi memudahkan mencari cara menyembuhkannya.
“Akan selalu lebih banyak orang yang tidak mengerti kita dibanding mengerti kita, oleh karena itu ketika kita memiliki luka maka menyembuhkan luka adalah tugas kita sendiri,” katanya.
Abu Marlo menyampaikan pentingnya pemahaman dan pengetahuan mendalam mengenai spiritualitas pada generasi muda untuk memahami nilai kemanusiaan.
“Orang tua kerap menyalahkan masalah anak pada kurang iman, padahal akarnya bisa jadi kurang pengetahuan, bukan kurang iman. Oleh karena itu, kesadaran spiritual dalam keluarga harus dipahami dalam konteks tradisi yang utuh, bukan sekadar kulitnya saja, ibadah bukan hanya untuk menghindari dosa atau neraka, melainkan jalan memahami nilai kemanusiaan,” tandasnya. (*)
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |