TIMES JAKARTA, JAKARTA – Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert mengatakan, musuh Israel bukanlah Iran, Hizbullah, ataupun Hamas, tetapi ekstremis Israel sendiri bersama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Ehud Olmert menyampaikan hal itu selama wawancara dengan jaringan Amerika Serikat, "CNN".
"Kami menyesalkan ketergantungan Netanyahu pada ekstremis dan dia memaafkan tindakan mereka yang tidak bisa diterima," katanya.
Mei lalu, Ehud Olmert meminta rakyat Israel untuk memenuhi jalan-jalan dengan jutaan penentangnya untuk mengepung kelompok yang dia gambarkan sebagai kelompok Netanyahu, Ben Gvir dan Smotrich, yang menurutnya dilarang dan menyebabkan Israel runtuh.
Dia menambahkan dalam sebuah artikel di surat kabar Haaretz, mengomentari niat tentara pada saat itu untuk menyerang Rafah, bahwa mayoritas warga Israel percaya bahwa satu-satunya motif untuk memperluas perang adalah untuk menjaga masa depan politik Benjamin Netanyahu, dan menyerang Rafah bukanlah hal yang betul-betul demi kepentingan Israel.
Olmert menegaskan, bahwa Benjamin Netanyahu hidup di dalam sebuah gelembung, terisolasi dari kenyataan, ketika dia mengatakan pada dirinya sendiri dan orang lain di dalam gelembung itu bahwa dia berjuang demi kelangsungan keberadaan Israel, dan bahwa misi historisnya adalah untuk menghadapi dunia guna membela Israel dari semua orang yang ingin menghancurkannya.
Mantan perdana menteri ini juga memicu kontroversi luas di Israel pada bulan September lalu, menyusul pernyataannya tentang masa depan Israel, dimana ia memperingatkan kemungkinan pecahnya perang saudara antara umat beragama dan sekuler.
Usir Warga Palestina
Dua orang sekutu Netanyahu yakni Ben Gvir dan Bezalel Smotrich adalah pendorong yang getol agar warga Palestina diusir dari tanah airnya.
Caranya, seperti dilansir Times of Israel, mereka mendesak agar permukiman di Tepi Barat dan Gaza terus ditingkatkan, dan mengusir warga Palestina.
Dalam sebuah konferensi pers beberapa waktu lalu, pemimpin Zionisme Religius itu mengatakan warga Palestina yang bersikeras pada negara harus didorong untuk beremigrasi ke negara Arab.
Sementara anggota koalisi lainnya mendesak kedaulatan Israel dari Sungai Yordan hingga ke laut.
Bezalel Smotrich juga menyerukan agar Israel secara efektif mencaplok Tepi Barat dan Jalur Gaza, menyerukan pendirian pemukiman baru jauh di dalam wilayah Palestina dan kepergian orang-orang Arab yang memendam aspirasi nasionalis.
Komentar itu menandai contoh terkini dari salah satu sekutu politik Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mendesak pembangunan kembali pemukiman Israel di dalam Jalur Gaza sambil membatalkan penarikan diri negara itu dari daerah kantong itu tahun 2005.
Saat berbicara di KTT Timur Tengah, sebuah konferensi di Yerusalem yang diselenggarakan oleh Israel 365, sebuah media Israel yang ditujukan kepada kaum evangelis Amerika, Smotrich juga berkali-kali menyampaikan bahwa solusi dua negara itu keliru.
Ia mendesak agar upaya tersebut ditinggalkan dan digantikan dengan "pernyataan tegas Israel kepada negara-negara Arab dan seluruh dunia bahwa negara Palestina tidak akan didirikan.
Pernyataan tersebut menurutnya, akan datang melalui “pembangunan kota-kota dan permukiman baru di pedalaman (Tepi Barat) yang akan menampung ratusan ribu pemukim baru.
Setelah perang selama satu tahun di Gaza, Smotrich juga menyerukan agar kedaulatan Israel diperluas, mengklaim bahwa keuntungan perangnya akan hilang tanpa pasukan, dan warga sipil, yang ditempatkan di sana secara lebih permanen.
"Jika tidak ada warga sipil, tidak ada militer yang tinggal dalam jangka panjang. Tidak ada keamanan dan ada ancaman nyata terhadap Negara Israel dan warganya, dan kita tidak boleh membiarkan ini,” katanya.
Ia menyatakan bahwa pembantaian 7 Oktober 2023 yang dilakukan oleh Hamas bisa dicegah jika pasukan dan pemukiman Israel masih berada di dalam Jalur Gaza.
Dalam sambutannya, Smotrich menyampaikan, bahwa warga Palestina akan diberi pemerintahan lokal, terbatas tanpa ciri-ciri nasional dan mengatakan mereka yang terus mendukung negara Palestina tidak akan diterima.
"Mereka yang tidak mau atau tidak mampu mengesampingkan ambisi nasional mereka, akan kami bantu beremigrasi ke salah satu dari banyak negara Arab dimana orang-orang Arab dapat mewujudkan ambisi nasional mereka, atau ke tujuan lain mana pun di dunia," katanya.
Itamar Ben Gvir menambahkan, bahwa "mendorong emigrasi" penduduk Palestina di wilayah tersebut adalah solusi terbaik dan "paling etis" untuk konflik tersebut.
Politisi koalisi lainnya di acara Israel 365 juga menolak gagasan negara Palestina.
Seperti Gideon Sa'ar, yang baru-baru ini bergabung dengan koalisi sebagai menteri tanpa portofolio dan dianggap sebagai calon berikutnya untuk menjadi menteri pertahanan.
Sa'ar mengatakan kepada peserta KTT, bahwa Israel harus meninggalkan kebijakan apa pun yang didasarkan pada konsesi dan "memasang tembok besi politik" terhadap upaya internasional untuk solusi dua negara.
"Tidak akan pernah ada pengganti bagi kendali militer Israel secara penuh atas wilayah dari laut hingga ke Yordania," tegas ketua New Hope ini.
Pendirian para pemimpin Israel itulah yang kemudian membuat mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert berpendapat bahwa musuh Israel saat ini bukanlah Hamas, Hizbullah atau Iran, tetapi Benjamin Netanyahu yang selalu mendengar pendapat ekstrem para sekutu di kabinetnya itu. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Deasy Mayasari |