TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setelah mengusir enam diplomat Inggris, Rusia mengisyaratkan akan melanjutkannya dengan pemutusan hubungan diplomatik.
Seorang diplomat tinggi Rusia telah mengisyaratkan bahwa Kremlin mungkin akan memutuskan sepenuhnya hubungan diplomatik dengan Inggris, setelah negara itu mengusir enam diplomat Inggris dari negara itu dengan tuduhan melakukan spionase dan sabotase.
Sebelumnya, Dinas Keamanan Rusia menuduh enam diplomat dari departemen politik kedutaan besar Inggris.
Keenam diplomat itu dituduh melakukan pengumpulan intelijen dan mata-mata yang mana tugas utama mereka disebut-sebut untuk mengalahkan secara strategis bagi Rusia dalam perangnya melawan Ukraina.
Keenam diplomat itu telah meninggalkan kedutaan besar di sisi barat Moskow setelah melakukan 'eskalasi situasi politik dan militer' dan memastikan kekalahan strategis Rusia dalam perangnya melawan Ukraina.
Tuduhan telah dibantah Kantor Luar Negeri Inggris sebagai tuduhan yang sama sekali tidak berdasar.
Di TV pemerintah, Wakil Tetap Utama Rusia untuk PBB, Dmitry Polyansky, mengatakan, bahwa meskipun pemutusan total hubungan diplomatik itu menjadi 'tindakan ekstrem', tapi tindakan itu perlu dilakukan terhadap Inggris.
"Pemutusan total hubungan diplomatik tentu saja merupakan tindakan yang sangat ekstrem. Di sini kita harus mempertimbangkan semuanya, semua untung dan ruginya," ujar dia.
Peran Inggris dalam membela Ukraina yang telah diinvasi itu kembali menjadi sorotan minggu ini, setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menuduh Barat "memanjakan" Putin dengan tidak menandatangani kesepakatan untuk mengijinkan penggunaan rudal jarak jauh kepada pasukan negaranya.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Presiden AS Joe Biden kemarin juga mengadakan pembicaraan di Ruang Biru Gedung Putih untuk membahas strategi tentang cara mengakhiri perang di Ukraina, termasuk apakah akan menyerahkan rudal Storm Shadow kepada Volodymyr Zelensky.
Juru bicara dewan keamanan nasional AS, John Kirby, menyampaikan bahwa tidak ada perubahan kebijakan AS pada Ukraina terkait membiarkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh itu.
Meskipun demikian, Keir Starmer mengklaim bahwa Inggris dan AS telah mencapai 'posisi yang kuat' dalam upaya mereka mencari penyelesaian konflik di Ukraina.
Inggris Tetap Didesak
Sementara itu, dilansir Arab News, PM Inggris itu tetap didesak untuk mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh karena Rusia terus menyerang target sipil.
Mantan PM Inggris. Boris Johnson dan mantan kepala pertahanan Konservatif memperingatkan Keir Starmer bahwa penundaan yang berlama-lama akan membuat Presiden Vladimir Putin semakin berani.
Rusia memang telah menyerang target sipil di Ukraina sesuka hati, disaat yang sama pasukan Ukraina telah terhambat oleh pembatasan Barat soal penggunaan rudal jarak jauh itu.
Sunday Times melaporkan pada hari Sabtu, bahwa mantan Perdana Menteri Inggris dan mantan Menteri Pertahanan Inggris itu mendesak Keir Starmer untuk mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh di dalam wilayah Rusia sekalipun tanpa dukungan AS.
Menurut Sunday Times, panggilan tersebut datang dari lima mantan menteri pertahanan Konservatif — Grant Shapps, Ben Wallace, Gavin Williamson, Penny Mordaunt dan Liam Fox — serta dari mantan Perdana Menteri Boris Johnson.
Mereka memperingatkan Keir Starmer bahwa "penundaan lebih lanjut akan membuat Presiden Putin berani," kata Sunday Times.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah memohon kepada sekutu selama berbulan-bulan untuk membiarkan Ukraina menembakkan rudal jarak jauh dari Barat termasuk ATACMS AS dan Storm Shadows Inggris jauh ke dalam Rusia untuk memotong kemampuan Moskow melancarkan serangan.
Beberapa pejabat AS skeptis bahwa mengizinkan penggunaan rudal semacam itu akan membuat perbedaan signifikan dalam pertempuran Kyiv melawan penjajah Rusia.
Presiden Vladimir Putin sebelumnya mengatakan, jika Barat mengijinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh, maka itu diartikan sebagai perlawanan langsung pada Rusia.
Sedangkan Kepala Komite Militer NATO dan pihak lain mendukung penggunaan senjata jarak jauh Ukraina untuk menyerang balik Rusia.
"Setiap negara yang diserang memiliki hak untuk membela diri," kata Laksamana Rob Bauer dalam pertemuan komite tersebut.
Komentar tersebut muncul ketika beberapa donor utama Ukraina terus meragukan isu ini.
Kepala komite militer NATO mengatakan Sabtu, bahwa Ukraina memiliki hak hukum dan militer yang kuat untuk menyerang jauh di dalam Rusia guna memperoleh keuntungan tempur.
Itu mencerminkan keyakinan sejumlah sekutu AS, bahkan ketika pemerintahan Biden sampai kini masih menolak mengizinkan Kyiv melakukannya dengan menggunakan senjata buatan Amerika.
'Setiap negara yang diserang memiliki hak untuk membela diri. Dan hak itu tidak berhenti di perbatasan negara anda sendiri," tegas Rob Bauer, saat berbicara pada penutupan pertemuan tahunan komite, yang juga dihadiri oleh Jenderal AS, CQ Brown, ketua Kepala Staf Gabungan.
Bauer asal Belanda itu juga menambahkan bahwa negara-negara memiliki hak kedaulatan untuk membatasi senjata yang mereka kirim ke Ukraina.
Namun, berdiri di sampingnya pada jumpa pers, Letnan Jenderal Karel Rehka, kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Ceko, menjelaskan dengan jelas bahwa negaranya tidak memberlakukan pembatasan senjata semacam itu di Kyiv.
"Kami percaya bahwa Ukraina harus memutuskan sendiri bagaimana menggunakannya,” kata Rehka.
Disaat krusial soal iya tidaknya ijin pihak Barat termasuk Inggris mengijinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauhnya, saat ini hubungan Moscow-London sendiri semakin panas dan terkini Rusia mengisyaratkan akan memutus hubungan diplomatiknya dengan Inggris. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Rusia Isyaratkan Memutus Hubungan Diplomatiknya dengan Inggris
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Deasy Mayasari |