TIMES JAKARTA, JAKARTA – Untuk kesekian kalinya keadilan di dunia kalah hanya dengan sebuah veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB setelah menolak resolusi gencatan senjata.
Anggota Dewan Keamanan PBB itu ada 15 negara. Kemudian 14 diantaranya menyetujui resolusi gencatan senjata. Amerika Serikat menolak, dan menang. Artinya gencatan senjata di Gaza gagal lagi.
Dewan Keamanan PBB menyerukan gencatan senjata di Gaza untuk menghentikan penderitaan rakyat Palestina yang semakin berkepanjangan oleh kebrutalan Israel yang terus menerus menghancurkan, membunuh rakyat Palestina dengan semena-mena.
Namun menurut Amerika Serikat, gencatan senjata itu akan membuat Hamas semakin berani.
Resolusi yang disodorkan tersebut menuntut dilakukannya "gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen" dalam perang antara Israel dan Hamas, serta diikuti dengan "pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera".
Dewan Keamanan PBB memberikan suara 14-1 untuk mendukung resolusi yang disponsori oleh 10 anggota terpilih dari 15 anggota dewan, tetapi resolusi tersebut tidak diadopsi karena veto AS.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, mengatakan resolusi itu bukanlah jalan menuju perdamaian, melainkan peta jalan menuju lebih banyak teror, lebih banyak penderitaan, dan lebih banyak pertumpahan darah.
"Banyak dari Anda yang mencoba meloloskan ketidakadilan ini. Kami berterima kasih kepada Amerika Serikat karena menggunakan hak vetonya," katanya.
Robert Wood, wakil duta besar untuk PBB, mengatakan bahwa posisi AS tetap bahwa harus ada hubungan antara gencatan senjata dan pembebasan sandera.
Perang tersebut dipicu oleh serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, serangan lintas perbatasan yang menewaskan 1.206 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP dari angka resmi Israel.
Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan jumlah korban meninggal dunia akibat pembalassn Israel mencapai 43.985 orang, sebagian besar warga sipil. Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap angka tersebut dapat diandalkan.
Dari 251 sandera yang disandera selama serangan 7 Oktober, 97 masih berada di Gaza, termasuk 34 yang menurut militer Israel telah mati.
Hampir seluruh dari 2,4 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang Israel-Hamas, yang telah menyebabkan bencana kemanusiaan.
Hamas mengutuk Amerika Serikat sebagai “mitra dalam agresi terhadap rakyat kami
"Dia adalah pelaku kejahatan, membunuh anak-anak dan wanita serta menghancurkan kehidupan warga sipil di Gaza," kata mereka
Hamas adalah kelompok militan Palestina yang selama ini melakukan perlawanan untuk mengembalikan lahan Palestina yang diduduki Israel.
Sejak awal konflik, Dewan Keamanan telah berjuang untuk berbicara dengan satu suara, karena Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya beberapa kali, meskipun Rusia dan China juga melakukannya.
"China terus menuntut bahasa yang lebih tegas,” kata seorang pejabat AS yang juga mengklaim bahwa Rusia telah “berusaha keras” dengan negara-negara yang bertanggung jawab dalam mendorong resolusi terbaru tersebut.
Beberapa resolusi yang Amerika Serikat izinkan untuk disahkan dengan abstain tidak sampai menyerukan gencatan senjata tanpa syarat dan permanen.
Pada bulan Maret, dewan menyerukan gencatan senjata sementara selama bulan suci Ramadan , tetapi seruan ini diabaikan oleh pihak-pihak yang bertikai.
Dan pada bulan Juni, badan beranggotakan 15 negara itu menjanjikan dukungan terhadap resolusi AS yang menetapkan gencatan senjata dan rencana pembebasan sandera melalui beberapa tahap yang pada akhirnya tidak membuahkan hasil.
"Kami menyesalkan bahwa dewan seharusnya memasukkan bahasa kompromi yang diajukan Inggris untuk menjembatani kesenjangan yang ada ... Dengan bahasa itu, resolusi ini seharusnya diadopsi," kata Wood, utusan AS, setelah pemungutan suara.
Ondina Blokar Drobic, wakil duta besar Slovenia untuk PBB, mengatakan, “Kami menyesalkan veto tersebut, terlebih lagi karena perang ini, dengan dampak kemanusiaan dan efek limpahannya, merupakan ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan internasional”.
Beberapa diplomat telah menyatakan optimisme bahwa setelah kemenangan pemilu Donald Trump, Joe Biden mungkin lebih fleksibel dalam beberapa minggu tersisa masa kekuasaannya.
Mereka berharap terulangnya kejadian Desember 2016 ketika masa jabatan kedua presiden Barack Obama berakhir dan dewan mengeluarkan resolusi yang menyerukan penghentian pembangunan pemukiman Israel di wilayah yang diduduki, yang pertama sejak 1979.
Amerika Serikat menahan diri untuk tidak menggunakan hak vetonya saat itu, yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap dukungan tradisional AS terhadap Israel pada isu sensitif permukiman.
“Sekali lagi, AS menggunakan hak vetonya untuk memastikan impunitas bagi Israel karena pasukannya terus melakukan kejahatan terhadap warga Palestina di Gaza,” kata Human Rights Watch.
Resolusi yang diveto pada hari Rabu menyerukan masuknya bantuan kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan dalam skala besar, termasuk di Gaza utara yang terkepung, dan mengecam segala upaya untuk membuat warga Palestina kelaparan.
Majed Bamya, duta besar Palestina untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan pada hari Rabu bahwa "tidak ada pembenaran apa pun untuk memveto resolusi yang mencoba menghentikan kekejaman.
Iran Kecam AS
Iran mengecam tindakan veto Amerika Serikat terhadap resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata di Jalur Gaza itu.
Iran mengatakan, bahwa tindakan tersebut merupakan "izin" bagi Israel untuk terus maju dalam perang berdarahnya di wilayah tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei melontarkan pernyataan tersebut dalam postingan di X pada hari Kamis, beberapa jam setelah AS memblokir rancangan resolusi yang telah memperoleh 14 suara mendukung di Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara itu.
"Veto yang memalukan ini tidak hanya menandai kegagalan DK PBB dalam menegakkan mandatnya yang berdasarkan Piagam, tetapi juga menjadi lisensi yang diberikan AS kepada rezim pendudukan untuk melanjutkan pembantaian di Gaza dan Lebanon tanpa hukuman," katanya, menurut Press TV.
"Hal ini jelas-jelas melanggar prinsip hukum humaniter internasional yang telah ditetapkan, yakni "menghormati dan menjamin penghormatan", serta Konvensi Genosida dan menimbulkan tanggung jawab internasional Amerika Serikat atas keterlibatannya dalam kejahatan kekejaman.
Dokumen tersebut, yang diajukan kepada Dewan Keamanan oleh 10 anggota tidak tetapnya, menuntut “gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen" di Gaza, bersamaan dengan “pembebasan segera dan tanpa syarat" semua tawanan yang ditahan di wilayah Palestina yang terkepung.
Tetapi, resolusi tersebut tidak diadopsi karena AS yang memilihnya, untuk kali keempat keempat menggunakan hak vetonya selama perang di Gaza untuk melindungi sekutunya, Israel.
Baghaei mencatat bahwa tindakan tersebut mengungkap penghinaan Washington terhadap kehidupan warga Palestina yang tidak bersalah serta keterlibatannya dalam pembantaian mereka.
"Meskipun ada dukungan global yang luar biasa terhadap gencatan senjata Gaza, dan 14 anggota DK PBB mendukung, pemerintahan Demokrat AS yang akan berakhir masa jabatannya memveto rancangan resolusi tersebut, yang menunjukkan penghinaan penuhnya terhadap kehidupan yang tidak bersalah & perdamaian regional dan menambah keterlibatannya selama 13 bulan dalam genosida Israel," tulisnya.
Sejak awal Oktober 2023, Israel telah melancarkan agresi brutal di dua front yang telah menyebabkan sedikitnya 43.985 warga Palestina di Jalur Gaza meninggal dunia dan 3.558 warga Lebanon.
Serangan mematikan Israel telah menyebabkan hampir seluruh penduduk Gaza dan lebih dari seperlima penduduk Lebanon mengungsi.
Kini penderitaan mereka tak akan segera selesai, karena kekejaman Amerika Serikat yang telah memveto, menggagalkan resolusi gencatan senjata Dewan Keamanan PBB. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |