TIMES JAKARTA, SURABAYA – Himpunan Aktivis Milenial (HAM) Indonesia melakukan aksi mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) dalam memberhentikan pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Aksi berlangsung di depan Gedung KPK RI, Jakarta, Kamis (16/9/2021).
Perdebatan soal TWK pegawai KPK RI sebagai proses alih status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga kini terus meruncing.
Koordinator aksi, Rohmatulloh, mengatakan, para pegawai KPK RI memang harus memiliki integritas dan kapabilitas. "Terutama dalam menjunjung wawasan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika," terangnya.
Namun, jelas Rohmat, polemik soal TWK ini dinilai terus menjadi senjata untuk menyudutkan kebijakan pemecatan kepada 56 pegawai.
Dengan catatan, 50 pegawai tidak lulus tes TWK dan 6 uzur pada pelatihan bela negara dan pendidikan wawasan kebangsaan. Seluruh pegawai tersebut sedianya akan diberhentikan dengan hormat per 30 November 2021.
TWK sendiri menjadi prosedur konstitusional lembaga sebagaimana telah diatur UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK, UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, dan PP Nomor 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
"Bahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) juga menyebut, TWK tak bertentangan dengan perundang-undangan," tegas Rohmat.
Dia merinci, sebanyak 51 pegawai mendapatkan nilai buruk dari tiga aspek asesmen TWK. Meliputi aspek pribadi, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah yang Sah).
Sementara 6 lainnya tidak mengikuti pendidikan wawasan kebangsaan sebagai bagian integral uji seleksi ASN KPK.
"Tentu saja, aspek terakhir TWK memiliki peran fundamental yang tak bisa ditawar, dan masalahnya, 56 pegawai tersebut buruk di aspek PUNP," ujarnya menggebu.
Rohmatulloh menilai, pemberhentian 56 pegawai sudah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo dan amanat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tidak merugikan pegawai KPK dalam alih status menjadi ASN.
Ia menegaskan, frasa ‘tidak merugikan’ bukan berarti bahwa semua harus dialih statuskan jadi ASN. Karena 56 pegawai masih bisa tetap bekerja hingga 30 September 2021. Termasuk, hak-hak kepegawaian mereka tidak pernah dirampas.
"Apalagi, proses alih status kepegawaian menjadi ASN sudah sesuai dengan amant konstitusi dan perundangan yang berlaku," ungkap dia.
Bila dicermati, TWK memang menjadi mekanisme lazim yang harus dilalui oleh pegawai pada instansi pemerintah. TWK KPK RI tentu saja sangat normal karena ada ribuan karyawan yang berhasil lolos dan hanya sebagian kecil yang tak memenuhi syarat.
"Klaim bahwa 75 pegawai tak lolos tes adalah paling integritas dan kritis, juga tak masuk akal dan terkesan mengada-ada. Kami menduga, polemik TWK makin meruncing, salah satunya, akibat dari ego sektoral kelompok tertentu yang ‘sakit hati’ karena namanya masuk didaftar 56 orang yang diberhentikan," bebernya.
Karena itu, Rohmatulloh mengingatkan agar publik dan elemen masyarakat harus hati-hati dalam membaca kisruh soal pemecatan 56 pegawai KPK RI.
Ia menegaskan, masyarakat tak perlu membuat hal ini sebagai masalah besar yang justru kontraproduktif karena percaya pada tudingan tak berdasar oknum dan kelompok tertentu.
"Publik wajib terus memberikan dukungan terhadap 94 persen pegawai yang lolos dalam rangka pendistribusian mereka dalam sub kewenangan KPK RI ke depan, baik pencegahan, penanganan, dan penegakan. Dengan begitu, kinerja KPK tidak akan terganggu dalam memberantas kejahatan rasuah di Indonesia," ungkapnya.
Diketahui, Himpunan Aktivis Milenial (HAM) Indonesia juga mengambil beberapa poin sikap terkait polemik tersebut. Yakni bersihkan KPK dari pegawai gagal anti Pancasila, pegawai tak lolos TWK jangan jadi pecundang bermental kolonial, KPK jangan diintervensi, pecat 56 pegawai sekarang juga, lawan segala tindakan adu-domba pemecah belah bangsa dan dukung KPK RI fokus berekrja berantas rasuah di Indonesia.(*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Faizal R Arief |