https://jakarta.times.co.id/
Opini

Veni, Vidi dan Visa Haji

Minggu, 22 Juni 2025 - 18:09
Veni, Vidi dan Visa Haji Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sudah menjadi semacam sunatullah spiritual bahwa siapa pun yang beriman dan cukup nyaring mendengar bisikan tanah Haram, pasti suatu waktu ingin pergi haji. Ada niat yang membara, ada rindu yang berkobar, dan ada dompet yang mulai disisihkan. Tapi, Bung, niat yang membara saja belum cukup. 

Di zaman sekarang, yang membara kadang malah dianggap mengganggu ketertiban, apalagi jika tak disertai dokumen yang sah. Maka rumus baru ibadah haji masa kini bukan cuma labbaik allahumma labbaik, tapi juga labbaik dengan visa resmi dan gelang elektronik dari pemerintah.

Ya, Bung. Veni, Vidi, Visa-saya datang, saya lihat, dan saya menggunakan visa haji. Tanpa itu, jangankan masuk Arafah, menyentuh pintu gerbang Haram pun hanya bisa lewat mimpi atau membayangkan saat sholat bentuk Ka'bah. 

Saya mendengar sahabat sudah ada di tanah haram, secara ekonomi dia tidak merintih, secara fisik juga bukan tipe encok gampang kambuh. Tapi ia tersandung sesuatu yang tidak disebut dalam rukun Islam: administrasi negara. 

Hatinya pun sudah luruh dalam kerinduan panjang kepada Ka’bah dan Rasulullah. Tapi ia datang ke Mekkah dengan niat haji, sudah berpamitan dengan keluarga dan tetangga, dan dengan semangat bahwa ia akan melaksanakan haji tahun ini. Di matanya, haji adalah panggilan Tuhan. Tapi di mata petugas askar Arab Saudi, ia hanya traveler berbaju putih.

Saya bertemu di hotel, tempat menginap setelah puncak haji. Ia masih mengenakan sarung dan peci hitam Soekarno, lengkap dengan wajah yang sudah pasrah.

"Di mana tasrih-mu?" tanyaku. Ia hanya menjawab dengan wajah sendu dan zikir dalam hati. Tapi sayang, zikir tak membuka gerbang Arafah.

Tulisan besar di pintu-pintu masuk tanah haram “La hajj bila tasrih”, jadi semacam mantra modern. Tidak ada haji tanpa visi haji, surat izin resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi. Sah secara syariat, mungkin. Tapi tidak sah secara sistem. 

Ulama bilang, hajinya sah tapi berdosa karena melanggar peraturan pemerintah. Ya, begitulah zaman kini: kadang malaikat mencatat amal, tapi manusia tetap butuh barcode.

"Aku tak bisa masuk ke Arafah dan dan gagal haji," celetuknya. Tapi raut wajahnya tenang. “Tapi aku tetap hadir. Hadir dengan niat.”

Saya pun tertawa dan menimpali, "Tenang, Bung. Niat sudah kau tanam. Mungkin Ka’bah dan Arafah itu memang berada di luar sana, tapi menghadirkannya dalam hati lebih sulit. Dan kau sudah menanamnya dalam kalbu."

Kami lalu terdiam. Karena percakapan semacam itu memang paling bagus ditutup dengan sunyi, bukan perdebatan. Kami lalu menyesap kopi pahit yang sama-ia pahit karena gagal, saya pahit karena mahal. 

Banyak orang, Bung, yang tak tahan antre. Daftar haji reguler menunggu 25 tahun seperti menunggu jodoh yang terus ditunda semesta. Mereka lalu memilih jalan pintas: membayar mahal ke calo, mengutak-atik kuota, atau bahkan tertipu oleh biro perjalanan abal-abal. 

Nafsu untuk berhaji terkadang lebih panas dari niatnya sendiri. Padahal, haji itu bukan maraton. Ini bukan ajang siapa cepat dia dapat. Ini perjalanan suci, yang justru diuji dari sabar menunggu.

Saya jadi teringat kisah dari Damaskus. Ada seorang bernama Ali Ibn Muwaffaq, yang tidak berhaji. Tapi dalam mimpi seseorang, terdengar percakapan malaikat yang menyebut dia mendapat gelar “Haji Mabrur.” 

Alasannya sederhana:  Ia membantu seorang janda dengan banyak anak, ia rela mengorbankan impian berhajinya dan menyerahkan seluruh dananya untuk mereka. Karena amalnya bersih, niatnya jernih, dan hidupnya selalu menghadap Ka’bah-meski secara fisik ia tak pernah sampai, apalagi mengitari Ka'bah tujuh kali dengan pakaian ihram dan air mata tumpah ruah. 

Maka, saya ingin mengatakan: bersiaplah berangkat, tapi lebih penting lagi, bersiaplah berserah. Jangan terburu-buru. Jangan tergoda jalur cepat. Bawalah juga kelapangan jiwa, kerendahan hati. Dan jangan lupa, visa itu bukan sekadar formalitas duniawi. Ia adalah bentuk tanggung jawab terhadap sistem yang menjaga jutaan tamu Allah dengan tertib.

Haji mengajarkan satu hal penting: bahwa tidak semua yang kau mau bisa kau raih hari ini. Kadang niat sudah sampai, tapi panggilan belum tiba. 

Kadang hati sudah di Ka’bah, tapi tubuh masih harus menunggu giliran. Dan itu bukan berarti gagal. Justru di sanalah pelajaran paling mendasar dari haji dimulai menahan diri, tidak tergesa, dan tetap yakin bahwa Tuhan tidak pernah keliru menentukan waktu.

Teman saya tersenyum saat saya sampaikan kisah itu. Ia menggenggam cangkir teh hangat yang sudah mendingin, lalu berkata, “Aku tak sampai ke Mina, tapi semoga hatiku bermabit di pengampunan-Nya. Aku tak bisa melempar jumrah, tapi aku sedang belajar melempar amarah dan ego dalam diriku.”

Saya diam sejenak. Kalah oleh kata-katanya yang terasa lebih jernih dari air zamzam. Ia gagal menurut birokrasi, tapi barangkali lulus menurut langit.

Memang begitulah haji sekarang. Haji bukan sekadar rukun Islam kelima, tapi juga urusan izin yang kelima belas. Siapa cepat, siapa sabar, siapa mampu, siapa tidak semuanya diuji bukan hanya oleh panas padang pasir, tapi juga dinginnya sistem kuota dan regulasi negara.

Karena, siapa tahu,  mungkin suatu hari, saat kita benar-benar diundang, justru kita datang bukan dengan niat yang penuh ambisi, tapi dengan hati yang sudah benar-benar bersih.

Tahun ini saya melihat banyak hal. Ada yang mabit di Muzdalifah tapi hatinya masih di kampung halaman. Ada yang melempar jumrah seperti melempar kenangan buruk. Ada pula yang tertibnya luar biasa, meski tidur di tenda sempit berdesakan. 

Semua membawa cerita. Tapi satu yang saya percaya: haji bukan cuma soal sampai. Tapi soal mengerti, memahami, dan mencintai jalan yang dipilih Tuhan, bahkan jika jalannya lebih panjang dari dugaan kita.

Maka bila engkau belum berangkat, jangan berkecil hati. Mungkin Tuhan sedang melapangkan jalan yang lebih baik. Dan bila engkau sudah pulang dari Tanah Haram, jangan merasa lebih mulia dari yang belum. Sebab boleh jadi, seseorang yang belum berhaji, telah lebih lama bersujud dalam jiwanya.

Dan bila kelak engkau sampai di sana, genggam niatmu erat-erat, tapi longgarkan hatimu seperti langit Arafah yang tak pernah pilih-pilih siapa yang menengadah. 

Pada akhirnya, Veni, Vidi, Visa dalam dunia spiritual bukanlah “Aku datang, aku lihat, aku menggunakan visa.” Tapi lebih rendah hati: “Aku datang, aku menangis, lalu aku pulang dengan diri yang lebih tahu batas.”

***

*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.