https://jakarta.times.co.id/
Opini

Mendekonstruksi IKN dalam Bayang Derrida

Jumat, 14 November 2025 - 20:37
Mendekonstruksi IKN dalam Bayang Derrida Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen Teologi pada KHKT (Kolner Hochschule fur Katholische Theologie), Koln, Jerman.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perdebatan tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak pernah habis-habisnya. Di balik perdebatan ini ada gemerlap janji „kota hijau masa depan“. Dan pasti banyak orang yang terbius dengan janji ini. Tanpa sadar, di balik janji ini tersimpan lapisan-lapisan makna yang tak selalu tampak di permukaan.

Adalah Jacques Derrida (1930-2004) filsuf Perancis kelahiran Aljazair yang menunjukkan, bagaimana membuka tabir di balik lapisan makna teks yang masih tersembunyi ini. Dari sudut pandang Derrida, IKN bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan teks politik yang sarat kuasa dan teks ekologis yang mengandung paradoks mendalam.

Mengapa demikian? Beranjak dari teori dekonstruksi seorang Derrida, kota tidak sekadar dipahami sebagai ruang fisik, melainkan sebuah jaringan narasi, simbol, dan hasrat yang saling berhubungan erat satu sama lain. 

Kalau demikian, IKN dapat diposisikan dalam sebuah konteks, di mana wacana-wacana kekuasaan tentang kemajuan, keberlanjutan, dan nasionalisme ditanamkan sekaligus disamarkan. 

Retorika „kota hijau“ atau „smart city“ pun dapat „dicurigai“ sebagai penanda ganda: di satu sisi menjanjikan masa depan yang inklusif dan lestari, namun di sisi lain menutupi jejak-jejak eksklusi terhadap masyarakat adat, kerentanan ekologis, serta logika kapital yang merayap di balik perencanaan spasial. 

Berkaca pada teori dekonstruksi Derrida berarti berani mencurigai pusat baru kekuasaan sebagai sesuatu yang masih mengandung banyak tanya serta ambiguitas kerapuhan yang patut diwaspadai.

Dalam kerangka dekonstruksi, setiap narasi adalah hasil konstruksi, ia ditulis, dikurasi, dan disusun melalui bahasa yang tak pernah netral. Narasi besar tentang IKN sebagai solusi atas beban Jakarta, sebagai kota hijau yang cerdas dan berkelanjutan, dibentuk oleh mereka yang memiliki kuasa: elit negara, teknokrat, dan investor.

Namun, siapa sebenarnya yang harus dilibatkan dalam penulisan narasi ini? „Antene dekonstruksi“ Derrida mengantar fokus perhatian kita menuju masyarakat adat Paser, Balik, dan Dayak di Kalimantan Timur mereka yang telah hidup ratusan tahun di kawasan yang kini disulap menjadi “ruang kosong” untuk proyek mercusuar. Apakah mereka sungguh dilibatkan dalam keseluruhan proses ini atau hanya hadir sebagai catatan kaki dalam dokumen resmi? 

Dalam RUU IKN (disahkan menjadi UU Nomor 3 tahun 2022), mereka memang diakui secara terminologis, namun tidak secara substantif dalam pengambilan keputusan. Proses konsultasi publik pun dinilai minim partisipasi bermakna. Ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang: narasi besar IKN tidak dibangun bersama, melainkan dijatuhkan dari atas.

Ekologi sebagai Imajiner Kuasa

IKN menjanjikan ruang hijau, energi terbarukan, dan konsep kota futuristik yang berpadu harmonis dengan alam. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan gejala yang berlawanan. Simak saja data dari Forest Watch Indonesia (2023). 

Di sana ditunjukkan secara gamblang, bahwa sekitar 256.000 hektare hutan berada dalam area pengaruh pembangunan IKN. Data ini didukung oleh laporan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang mencatat peningkatan aktivitas pembukaan lahan, hilangnya habitat satwa endemik seperti orangutan Kalimantan, dan ancaman terhadap sumber air bersih masyarakat sekitar.

Seandainya Derrida masih hidup hari ini dan diundang untuk membaca dokumen perencanaan IKN, hal pertama yang akan diproblematisasi adalah istilah „hijau“. Saya khawatir, ia menempatkan istilah „hijau“ ini dalam konteks „penanda kosong“ (empty signifier): sebuah kata yang tampak bermakna, namun kehilangan keterkaitannya dengan realitas.

Kecurigaannya dapat bermuara pada legitimasi kekuasaan yang berada di balik wacana ini: „Hijau“ tidak lagi menunjuk pada keharmonisan ekologis, tetapi menjadi bagian dari branding politik untuk tujuan tertentu.

Membaca IKN sebagai Teks

Dengan mendekonstruksi narasi IKN, kita diajak melihat bahwa pembangunan bukan hanya soal beton, jalan, dan teknologi, ia juga adalah arena tafsir dan pertarungan makna. Di satu sisi, IKN dibingkai sebagai utopia yang menanti. Di sisi lain, ada distopia yang telah dimulai: relokasi paksa, penghilangan hutan, dan delegitimasi hak masyarakat lokal.

Membaca IKN sebagai teks berarti juga membaca diam dan suara siapa yang bersuara dan siapa yang dibungkam. Dalam narasi resmi, suara negara begitu nyaring: menjanjikan efisiensi, kemajuan, dan keberlanjutan. 

Namun, di balik nyaringnya suara ini, desah komunitas adat, petani, dan ekosistem yang tak bisa bicara hilang dari pantauan. Desah suara mereka hanya menjadi latar penuh airmata yang tak terdengar.

Maka membaca teks IKN bersama Derrida berarti mengambil tugas dan tanggungjawab untuk menggali narasi-narasi kecil yang terpinggirkan, bukan hanya menafsir ulang narasi besar yang ditawarkan. 

Mengapa harus menggali narasi-narasi kecil? Karena di dalamnya sering tersimpan kebenaran lain tentang apa itu kemajuan, apa itu kota, dan siapa yang sesungguhnya dimaksud ketika negara berkata: „untuk semua“.

Membaca Kembali, Menulis Ulang

Inti dari pendekatan dekonstruktif bukannya menolak Ibu Kota Nusantara (IKN). Pusat perhatiannya adalah, bagaimana membuka ruang untuk membacanya ulang: lebih inklusif, refleksif dan adil. 

Derrida menantang setiap orang yang berhadapan dengan teks seperti "teks IKN“ ini untuk membaca ulang, membongkar, dan kalau perlu menulis ulang dengan kesadaran akan ketidaklengkapan makna.

IKN sebagai teks mengandung janji sekaligus jebakan. Ia bisa menjadi simbol kemajuan atau sekadar repetisi kekuasaan yang lama dalam wujud baru. Kota masa depan tak cukup dibangun dengan beton dan data, tapi juga dengan makna dan keberanian untuk mempertanyakan makna itu sendiri.

Dengan pendekatan dekonstruktif, kita tidak menolak Ibu Kota Nusantara (IKN), melainkan membuka ruang untuk membacanya ulang: lebih inklusif, reflektif, dan adil. Derrida mengajarkan bahwa tugas kita bukan mengganti satu narasi dengan narasi lain, tetapi membaca ulang, membongkar, dan menulis ulang dengan kesadaran akan ketidaklengkapan makna.

IKN sebagai teks mengandung janji sekaligus jebakan. Ia bisa menjadi simbol kemajuan atau sekadar repetisi kekuasaan yang lama dalam wujud baru. Kota masa depan tak cukup dibangun dengan beton dan data, tapi juga dengan makna dan keberanian untuk mempertanyakan makna itu sendiri.

Di balik gemerlap janji “kota hijau masa depan”, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) menyimpan lapisan-lapisan makna yang tak selalu tampak di permukaan. Jika kita mengedepankan pandangan Jacques Derrida filsuf Perancis kelahiran Aljazair yang mengajarkan pentingnya membaca teks bukan hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari apa yang disembunyikan maka IKN bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan teks politik yang sarat kuasa dan teks ekologis yang mengandung paradoks mendalam.

Dalam kerangka dekonstruksi, kota tidak lagi dipahami semata sebagai ruang fisik, melainkan sebagai jaringan narasi, simbol, dan hasrat yang saling bertaut. IKN, dalam hal ini, menjadi situs di mana wacana-wacana kekuasaan tentang kemajuan, keberlanjutan, dan nasionalisme ditanamkan sekaligus disamarkan. 

Retorika “kota hijau” atau “smart city” beroperasi sebagai penanda ganda: di satu sisi menjanjikan masa depan yang inklusif dan lestari, namun di sisi lain menutupi jejak-jejak eksklusi terhadap masyarakat adat, kerentanan ekologis, serta logika kapital yang merayap di balik perencanaan spasial. Derrida mengajak kita mencurigai pusat baru kekuasaan sebagai sesuatu yang rapuh, selalu menunda makna, dan sarat ambiguitas.

Namun, siapa sebenarnya yang harus dilibatkan dalam penulisan narasi ini? Dan yang lebih penting: siapa yang dibungkam dalam proses ini?

Jika Derrida hidup hari ini dan membaca dokumen perencanaan IKN, barangkali ia akan mengatakan bahwa istilah “hijau” dalam konteks ini adalah penanda kosong (empty signifier): sebuah kata yang tampak bermakna, namun kehilangan keterkaitannya dengan realitas. “Hijau” tidak lagi menunjuk pada keharmonisan ekologis, tetapi menjadi bagian dari branding politik yang dirancang untuk menciptakan legitimasi.

Namun, di balik retorika itu, suara-suara dari pinggiran komunitas adat, petani, dan ekosistem yang tak bisa bicara sering kali hanya menjadi latar yang tak terdengar. Maka, tugas kita bukan hanya menafsir ulang narasi besar yang ditawarkan, tetapi juga menggali narasi-narasi kecil yang terpinggirkan, yang justru mungkin menyimpan kebenaran lain tentang apa itu kemajuan, apa itu kota, dan siapa yang sesungguhnya dimaksud ketika negara berkata: “untuk semua.”

***

*) Oleh : Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen Teologi pada KHKT (Kolner Hochschule fur Katholische Theologie), Koln, Jerman.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.