TIMES JAKARTA, JAKARTA – Terus terang saya sedikit kesulitan untuk menulis tentang sepak terjang Menkeu RI, Purbaya Yudhi Sadewa. Sudah banyak analisis yang beredar di media yang memberikan respons secara positif dan negatif terkait kebijakan-kebijakan beliau sebagai Menkeu RI sejak diangkat oleh Presiden Prabowo Subianto pada 8 September lalu.
Selain itu, saya butuh pencermatan dan kejernihan mata batin saya untuk menilai beliau selaku pejabat negara yang akan mengelola setiap rupiah pajak yang saya bayar.
Saya akhirnya beroleh kesimpulan tepat ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan tanggapan terkait polemik kereta cepat Jakarta-Bandung. Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa ia akan bertanggung jawab terkait utang yang ditimbulkan oleh megaproyek tersebut. Pernyataan tersebut diungkapkan di awal pekan bulan ini, tepatnya 4 November saat peresmian Stasiun Tanah Abang Baru, di Jakarta Pusat.
Saya menilai bahwa baik Purbaya maupun Presiden Prabowo sedang memainkan good cop bad cop game. Ini mode permainan klasik untuk mengungkap suatu permasalahan dengan menggunakan teknik simpati dan agresi secara bersamaan.
Jujur diakui, publik dibuat terpesona oleh sepak terjang Purbaya yang keras dan trengginas dalam mengelola keuangan negara. Ia tak hanya cerdas, tapi juga keras dan putus urat takut.
Puncak keberaniannya adalah ketika ia “menyenggol” Proyek Whoosh dengan mengatakan tidak akan membayar utangnya melalui APBN. Senggolannya tidak hanya memantik dialektika dan diskursus solutif di kalangan pemangku kepentingan, tetapi juga membuka kotak pandora Whoosh yang ditengarai penuh rasuah.
Jika ia berani menyenggol proyek Whoosh yang melibatkan nama-nama besar di republik, rasa-rasanya adalah hal yang wajar jika ia juga berani konfrontatif dengan beberapa pejabat selevelnya.
Ada yang menyebut Purbaya destruktif dan memecah soliditas kabinet. Ada juga yang menyebut Purbaya sedang bermain politik mengumpulkan kredit dan popularitas.
Jujur, saya tidak sepakat dengan tesis-tesis dan pemikiran sedemikian. Ujung pangkalnya adalah pernyataan Presiden Prabowo di Tanah Abang seperti yang sudah saya sebut.
Bagi saya, kecil kemungkinan Purbaya bergerak sendiri tanpa back-up dari Presiden Prabowo. Tugas yang diberikan oleh Presiden Prabowo kepada Purbaya sangat berat, yakni pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Jika Presiden Jokowi saja dengan berbagai proyek infrastruktur yang dijalankan selama 10 tahun kekuasaan tidak mampu mengerek pertumbuhan ekonomi tembus 6 persen, apalagi rezim saat ini yang menerapkan efisiensi anggaran.
Belum lagi jika kita memasukkan variabel geopolitik seperti perang dagang AS-Tiongkok, perubahan iklim, dan sebagainya, maka pertumbuhan ekonomi 8 persen adalah hil yang mustahal.
Beratnya tugas untuk memacu pertumbuhan ekonomi 8 persen tersebut menjadi momentum deal antara Presiden Prabowo dan Purbaya bahwa apapun kebijakan ekonomi dan fiskal yang diambil Purbaya akan mendapat 100 persen restu Presiden Prabowo.
Dari sinilah langkah-langkah “koboy” Purbaya bermula. Mulai dari penempatan dana pemerintah sebesar Rp.100 triliun di lima bank milik negara, mengejar dana sebesar Rp.60 triliun pajak yang dikemplang oleh wajib pajak, cukai khusus untuk melegalisasi rokok ilegal, hingga puncaknya terkait dialektika keras pembiayaan proyek Whoosh di kalangan pemangku kepentingan keuangan negara.
Boleh jadi ketika menelurkan kebijakan-kebijakan tersebut menjadikan Purbaya sebagai John Wick nasional. Namun, yang pasti, ada Presiden Prabowo yang berdiri di belakangnya.
Back-up politik yang diberikan Presiden Prabowo kepada Purbaya adalah hal yang rasional. Presiden Prabowo sangat persisten dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Ia juga persisten memerangi korupsi dan mafia yang dapat menghalangi tercapainya target tersebut.
Namun, ada hal-hal yang tidak bisa ditabrak secara frontal oleh Presiden Prabowo, tentu saja dalam dimensi politik kekuasaan. Dalam kasus Whoosh, ada semacam upaya untuk membuka kotak pandora mismanajemen di sana. Purbaya adalah instrumennya.
Dalam konteks ketegangan Purbaya dengan para pejabat di kabinet, ada semacam mekanisme proksi dan cambuk yang digunakan oleh Presiden Prabowo untuk melecut kinerja para bawahannya. Lagi-lagi senjatanya adalah Purbaya. Yang perlu digarisbawahi, dalam permainan good cop bad cop, hasil adalah yang utama.
***
*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |