https://jakarta.times.co.id/
Opini

Menstimulus Produktivitas Ekonomi Nasional

Kamis, 12 Juni 2025 - 14:34
Menstimulus Produktivitas Ekonomi Nasional Haris Zaky Mubarak, MA., Analis dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Memasuki pertengahan 2025, perlambatan ekonomi sangat kuat dirasakan. Pukulan telak atas kondisi serapan pendapatan dan tingginya konsumsi pengeluaran membuat situasi perekonomiaan Indonesia berada dalam kelesuan yang dalam. 

Pada sisi yang lain, situasi harga emas kian melonjak Harga per 25 Juli 2023 sebesar Rp1.071.000/gr, menjadi naik per 18 April 2025 hingga Rp1.965.000/gr. Sampai Minggu 8 Juni 2025, grafik harga emas 24 karat Antam menunjukkan jika harga emas hari ini berada dalam kisaran Rp1.904.000 per gram. 

Salah satu terjadinya lonjakan harga emas ini adalah karena tekanan inflasi sebagai akibat penurunan daya beli uang yang dimiliki masyarakat hari ini. Karena sampai pada pertengah 2025 ini, harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan terus-menerus dalam periode waktu, sehingga ini menyebabkan daya beli uang menurun dan masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendapatkan barang dan jasa sama.  

Inflasi terjadi karena berbagai faktor, karena meningkatnya biaya produksi, naiknya permintaan masyarakat, atau bertambahnya jumlah uang beredar di perekonomian masyarakat.

Jika inflasi tinggi tak terkendali, dampaknya pun membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih sulit, karena harga kebutuhan pokok menjadi mahal. Namun, inflasi yang stabil dan terkendali justru dianggap sehat bagi pertumbuhan ekonomi, karena mendorong investasi dan konsumsi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun terakhir pasca pandemi Covid-19, inflasi nasional terjadi karena kenaikan harga yang ditunjukkan naiknya kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman dan tembakau yang selalu dalam kisaran 2,07 persen.

Sementara kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks seperti kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 4,68 persen dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,24 persen. (BPS, 2024).

Kebutuhan Antisipasi

Untuk menekan perlambatan ekonomi, secara taktis dan sistematis peran penting dari pemerintah baik pusat dan daerah harus mampu serius dalam menekan kesediaan pengendalian regresivitas ekonomi. Pada konteks ini dibutuhkan sebuah skema sistemik yang mampu membuat kontrol atas inflasi ditengah masyarakat.  

Kebijaksanaan Pemerintah dalam menciptakan kreasi tata kelola ekonomi secara matang harus mampu menjawab segala macam tantangan kebutuhan praktis untuk mengatur dan memperhitungkan segala macam banyak dampak situasional yang mungkin terjadi atau multiplier effect dari kenaikan harga bahan pokok. Antisipasi demi menahan kelonjakan kenaikan harga-harga komoditas lainnya. 

Pada sisi lain antisipasi rasional dalam menghadapi Inflasi adalah dengan menjaga nilai rupiah yang dimiliki. Seperti menginvestasikannya pada pembelian emas dan instrumen investasi lainnya. 

Dalam menghadapi inflasi perlu adanya peran dari pemerintah mengontrol tingkat inflasi. Diperlukan juga peran masyarakat untuk menjaga nilai uang yang dimiliki dengan menginvestasikannya, dan turut menjaga elastisitas dari permintaan barang dengan tidak  menciptakan situasi panic buying dimomen hari-hari tertentu. 

Jika melihat pada data statistik pada tahun lalu,data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) menerangkan jika pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya 4,91 persen alias di bawah level ideal 5 persen (Kemenkeu RI, 2024). 

Dalam realitas yang lain, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) menggambarkan kinerja investasi yang tumbuh 3,79 persen. Komponen ekspor dan impor hanya tumbuh 0,50 persen dan 1,77 persen di tengah melambatnya perdagangan global. 

Kontekstual ini jelas menunjukkan jika ada kemandekan dalam pertumbuhan industrialisasi di Indonesia yang tampak mengalami tekanan atas situasi prematur atau penurunan kontribusi ekonomi belakangan ini. 

Secara teoritis konteks perlambatan bisa saja disandarkan pada instabilitas yang biasa terjadi di negara-negara berkembang dunia tapi hal yang lebih taktis sebenarnya justru harus selalu berorientasi pada tatanan cara rasional dalam menyerap implementasi sektor manufaktur secara lebih riil. 

Pemerintah harusnya benar–benar serius memaksimalkan  sektor manufaktur yang masih belum padat. Ambil contoh dalam sektor kemasan barang komoditas pertanian, sampai hari ini masih belum banyak industri besar yang serius menggarap hasil pertanian dan perkebunan secara modern. 

Padahal banyak negara-negara maju di Eropa yang tertarik akan asupan kiriman komoditas seperti ini. Pisang, tahu ataupun tempe dalam sajian kemasan merupakan komoditas yang sebenarnya potensial digarap secara lebih makro. Dengan target segmentasi yang sudah terukur dengan melihat pada persebaran masyarakat diaspora.

Pengembangan Industri

Industri manufaktur yang kurang padat karya faktanya tak lagi menciptakan lapangan kerja yang baik. Karena itu, peran sektor jasa dalam memberikan dukungan implemetasi secara praktis. 

Penguatan ini jelas membutuhkan keterampilan berbasis teknologi dengan didisertai peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara terpadu termasuk dengan meningkatkan produktivitas, industrialisasi yang lebih berorientasi ekspor tetap. 

Jika masuk dalam penalaran sejarah kebudayaan dari industrialisasi secara utuh, penalaran atas kebijakan industrialisasi yang dikendalikan negara sesungguhnya mulai berkembang secara alami pada abad ke-19, dalam sisi pendekatan ekonomi politik mazhab merkantilis. Hal ini pula yang mendorong banyak peningkatan ekspansi bisnis  secara global. 

Pasca Perang Dunia II, retorika nasionalisme dunia ketiga dalam waktu singkat dikaitkan pada tujuan pembangunan industri. Industrialisme menjadi unsur utama dalam ideologi pembangunan nasional yang tersebar luas di negera sedang berkembang. 

Indonesia sebagai negara berkembang tak lepas dari pengaruh besar industrialisasi tersebut. Fase penting dari pembangunan ekonomi nasional dimulai secara terencana sejak 1969. Pada era ini terjadi tren baru dalam menggeser kegiatan ekonomi dari terkonsentrasi pada sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri/jasa). 

Pada masa Presiden Soeharto ini juga proyek industrialisasi di Indonesia berjalan dengan nalar konsistensi yang baik. Dari sini dorongan kesadaran sebagian besar masyarakat Indonesia bergulat di sektor agraris dan sumberdaya ekonomi yang melimpah di sektor pertanian, maka industrialisasi yang dilaksanakan di Indonesia harus melibatkan sektor pertanian dalam prosesnya. 

Salah satu aspek transformasi struktur perekonomian Indonesia sepanjang era Orde Baru adalah peningkatan peranan sektor industri yang tergolong membantu perbaikan kinerja pasar domestik dalam negeri Indonesia berjalan secara tersistem walaupun daya beli yang diciptakan masih rendah.

Dari sisi ini peran industry sebenarnya menjadi motoris pembangkit ekonomi yang baik bagi langkah kemajuan dari perkembangan sektor-sektor lain yang mengalami pertumbuhan, namun pertumbuhannya cenderung lebih lamban daripada sektor industri. 

Namun di balik pertumbuhan sektor industri yang pesat, ada permasalahan serius yang mengancam sektor industri  seperti soal kesenjangan dari industri kecil dan rumah tangga yang dapat dilihat secara jelas dari sisi perbandingan produktivitas relatif keduanya.  

Setiap kebijaksanaan ekonomi dalam upaya peningkatan laju produktivitas memang menciptakan resiko. Tapi yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana peran pembangunan ekonomi ini dapat diusahakan dalam sistem kebijakan yang proporsional dan maksimal. 

Dalam menata rasional ini, proses pertumbuhan ekonomi dalam kerangka perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder serta peningkatan yang pantas dalam produksi tersier, dengan sebutan khas modernisasi ekonomi. 

Jika setiap negara telah mencapai tahapan sektor industri inilah, maka negara akan dianggap telah mengalami tahap industrialisasi. Pada titik ini transformasi struktural diharuskan, karena dipandang sektor primer tidak memiliki nilai tambah (value added) yang tinggi serta nilai tukar (term of trade) yang rendah.

Kiranya industrialisasi akan menjadi jembatan emas dalam proses pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan akselerasi investasi. Jika memiliki dana investasi yang cukup, maka kemampuan negara untuk mengadakan investasi juga meningkat sehingga target pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan lebih rasional untuk dicapai secara optimal. 

Sebaliknya, jika dana serapan investasi yang dihimpun tidak memadai mengejar target investasi yang dibutuhkan, maka secara riil pertumbuhan ekonomi tidak tercapai sekaligus meniadakan penyerapan tenaga kerja. 

Disinilah kontribusi dorongan wiraswasta harus terus berkembang dengan penciptaan produk baru sehingga pasar tidak mengalami pandangan segmentasi besar. Lahirnya produk baru ini yang akan memberi respon berkelanjutan dari pasar yang ujungnya akan memberikan stimulus yang baik bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri Indonesia.

***

*) Oleh : Haris Zaky Mubarak, MA., Analis dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.