TIMES JAKARTA, JAKARTA – Tanggal 12 Juni 1936, Soekarno menulis surat kepada A. Hassan salah satu tokoh Persatuan Islam di Bandung. Sebuah surat yang berisi analisa kritis terhadap buku berjudul Al-Lissan. Surat yang ditulis dari rumah pengasingan di Ende Flores, Nusa Tenggara Timur dalam kurun waktu pengasingan antara tahun 1934 hingga 1938.
Dalam buku Di bawah Bendera Revolusi terbitan 1965, disebutkan bahwa pergolakan pemikiran Soekarno muda banyak digodok di masa pengasingan ini. Termasuk juga gagasan tentang dasar Negara kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila.
Bermula dari Ende
Ende, harus diakui menjadi kota Rahim Pancasila, tempat founding father Bung Karno melahirkan butir-butir Pancasila. Menurut pengakuan Bung Karno sendiri, selama masa permenungan itu, dirinya sering duduk di bawah sebatang pohon sukun, ‘yang membentuk pelangi puspa warna’ “Spiritualitas Semesta” (holistic spirituality).
Seperti yang di kemukakan oleh Rofinus Neto Wuli (2022) dalam Jurnal Pembumian Pancasila Volume 2, Nomor 2, Desember 2022 yang mengutip dari Tim Nusa Indah (2015), menurut Bung Karno, Pancasila adalah hasil permenungannya di bawah pohon sukun saat diasingkan di Ende, Flores. Di bawah pohon sukun di kota Ende itulah konsepsinya mengenai Pancasila selesai diolah.
Pulau Ende bukan hanya sekadar tempat pengasingan, melainkan "laboratorium" pemikiran Soekarno. Di sana, ia menyaring berbagai ideologi dunia dan mengadaptasikannya dengan karakter bangsa Indonesia yang kaya akan budaya dan keyakinan.
Hasil perenungan di Ende ini kemudian ia sampaikan dalam pidato di Sidang BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Sukarno adalah orang pertama yang memperkenalkan Pancasila pada bangsa ini. Pidato Ir. Sukarno 1 Juni 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Pancasila dan Konsep Gotong-Royong
Pancasila sebagai konsepsi Negara kebangsaan, yang menurut Soekarno bisa kita peras saripatinya menjadi trisila, socio-nationalisme, socio-democratie, dan ketuhanan, penyempurnaan dari konsepsinya yang dimuat di Pikiran Rakyat 1932.
Kemudian untuk lebih menyederhanakan konsep trisila ini diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu Gotong Royong. Dalam pidato 1 Juni 1945, yang diterbitkan dalam buku Tjamkan Pantasila, terbit tahun 1964, Soekarno menyatakan harapannya pada akar budaya bangsa Indonesia yaitu kerukunan bersama. Soekarno menggambarkan gotong royong sebagai:
"Pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!"
Istilah gotong royong adalah frasa yang dibentuk dengan pengulangan bunyi dalam khazanah sastra Jawa yang menggambarkan kegiatan bekerja bersama dalam membangun sebuah rumah di desa.
Tradisi ini dapat ditemui dalam kolaborasi masyarakat Jawa dalam membantu membangun rumah tetangga atau melakukan kegiatan lainnya secara bersama-sama, seperti mengangkat material bangunan.
Dengan demikian, Gotong Royong bukan hanya sekadar sebuah konsep, tetapi merupakan praktik yang efektif untuk mempercepat dan menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kerja sama.
Karakteristik Sistem Koperasi
Setelah kemerdekaan, tantangan utama bangsa adalah bagaimana membumikan nilai-nilai luhur tersebut dalam praktik berbangsa dan bernegara, terutama dalam membangun sistem ekonomi yang berkeadilan dan berdaulat.
Gagasan besar tentang gotong-royong tidak hanya berhenti dalam ranah konseptual Di sinilah gotong royong menemukan relevansinya kembali melalui wujud konkret: koperasi.
Maryanti, dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Pancasila dan Koperasi, terbit tahun 2022, menyatakan bahwa; Sistem perekonomian yang diterapkan oleh Indonesia adalah sistem perekonomian Pancasila.
Maka, secara normatif Pancasila dan UUD 1945 adalah landasan idiil sistem perekonomian di Indonesia. Dasar politik perekonomian ini diatur dalam UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasar ke empat ayat tersebut terkandung makna bahwa, kegiatan ekonomi merupakan bagian bersama, gotong-royong dengan mengedepankan hubungan kekeluargaan. Hal ini juga disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto ketika mencetuskan Koperasi Desa Merah Putih sebagai upaya meningkatkan Ketahanan Pangan.
Gotong-Royong Ruh Asta Cita
Sebagai bagian prioritas dalam Asta Cita, Ketahanan Pangan dan Koperasi menjadi contoh kongkrit dalam upaya mewujudkan ekonomi Pancasila yang memiliki semangat gotong-royong.
Secara Eksplisit Presiden Prabowo dalam beberapa pidatonya menyebutkan bahwa, Bangsa Indonesia memiliki ciri khas sifat gotong royong, bentuk gotong royong dalam ekonomi adalah dengan menghidupkan koperasi.
Akhirnya, dalam momentum bulan Juni sebagai bulan Soekarno kali ini, patut kita renungkan perjalanan konsep gotong royong. Berakar dari perenungan Soekarno di Ende hingga perwujudannya dalam bentuk ekonomi kerakyatan seperti Koperasi Desa Merah Putih, menunjukkan bahwa kekuatan sejati Indonesia terletak pada solidaritas rakyat dan semangat kolektif masyarakat desa.
Desa adalah ibu kandung Indonesia, tempat hidup mayoritas rakyat, sumber kekayaan alam, sekaligus basis budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu, membangun desa adalah membangun Indonesia. Desa Terdepan menuju Indonesia Emas 2045. (*)
***
*) Oleh : Dr. H. M. Afif Zamroni, Lc., M.E.I., Staf Khusus Menteri Desa & PDT.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Koperasi Merah Putih, Gotong Royong Masa Kini
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |