TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah gejolak global saat ini, eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China menimbulkan konsekuensi serius yang meluas hingga Indonesia. OECD pada 3 Juni 2025 memangkas proyeksi pertumbuhan global dari 3,3% menjadi 2,9% untuk 2025 dan 2026, karena kebijakan tarif yang memberatkan inflasi, mengganggu rantai pasokan, dan menciptakan ketidakpastian kebijakan terutama AS di bawah Trump era.
Penurunan ini diperparah oleh efek buruk pada ekonomi Amerika yang kini diproyeksikan hanya tumbuh 1,6% di 2025 dan 1,5% di 2026, dari sebelumnya di kisaran 2,2%–2,4%. OECD juga memperingatkan bila proteksionisme berlanjut, tekanan struktur inflasi dan disrupsi investasi global akan semakin parah.
Dampak tersebut merembet ke Indonesia. Bank Indonesia (BI) pada akhir April 2025 merevisi proyeksi pertumbuhan ke angka di bawah 5,1%, pertengahan kisaran 4,7–5,5% sebelumnya, dalam menanggapi ketegangan bilateral AS–China.
Pada Mei 2025, BI mengambil langkah preemptive dengan menurunkan suku bunga acuannya 25 basis poin ke tingkat 5,50%, sekaligus meredam pelemahan rupiah dan menopang pertumbuhan. Namun strategi ini hanya mampu menjaga pertumbuhan pada kisaran 4,6–5,4%, sementara risiko resesi global masih membayangi.
Komoditas unggulan Indonesia seperti nikel, batu bara, CPO, dan karet terkena dua tekanan global: menurunnya permintaan dari China dan kenaikan tarif AS terhadap rantai nilai utama. Ditambah lagi, kenaikan tarif hingga 32% terhadap produk Indonesia sempat ditunda namun masih membayangi hingga Juli 2025.
Kelonggaran ini menimbulkan kekhawatiran terhadap industri manufaktur dan ekspor, terutama sektor tekstil, plastik, dan komponen elektronik yang menyerap cukup banyak tenaga kerja.
Namun di tengah ancaman, muncul jeda peluang strategis. Merkel relokasi manufaktur dari China ke Asia Tenggara menempatkan Indonesia sebagai salah satu kandidat penerima investasi baru.
Pemerintah merespon dengan melonggarkan izin impor bahan baku khususnya plastik dan kimia sebagai persiapan negosiasi tarif dengan AS per 9 Juli 2025.
Selain itu, tawaran kerjasama dalam sektor mineral kritis EV dengan Dana Tanah Air Danantara menunjukkan dorongan kebijakan untuk memanfaatkan peluang strategis dalam rantai EV global.
Secara fiskal, pemerintah meluncurkan paket stimulus sebesar US$1,5 miliar pada awal Juni 2025, menyuntikkan insentif seperti potongan tarif transportasi, subsidi upah, dan bantuan sosial untuk menopang konsumsi rumah tangga dan menjaga pertumbuhan triwulanan mendekati angka 5%. Meskipun paket ini dinilai belum cukup untuk mencapai target 5%–8%, strategi ini penting untuk meredam tekanan pada mobilitas dan kepercayaan konsumen.
Namun respons kebijakan ini perlu dilengkapi strategi struktural. Negara harus mempercepat negosiasi bilateral dan regional seperti RCEP, I-EU CEPA, dan perundingan dengan AS untuk membuka akses pasar alternatif dan mengurangi ketergantungan pada Amerika maupun China.
Peta elektrifikasi dan hilirisasi nikel sebaiknya ditautkan pada nilai tambah dalam negeri, mendorong investasi manufaktur bernilai tinggi. Sistem logistik dan birokrasi yang efisien juga wajib didorong agar investasi relokasi lebih cepat terealisasi.
Bank Indonesia perlu mempertahankan kombinasi kebijakan makroprudensial, suku bunga yang kondusif, serta intervensi rupiah yang strategis agar ruang moneter tetap tersedia untuk mendukung sektor riil.
Transparansi dalam kebijakan, sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal, serta penguatan sektor digitalisasi menjadi penting dalam menjaga stabilitas di tengah gelombang eksternal.
Partisipasi swasta dan lembaga internasional dalam pembangunan infrastruktur dasar dan digital juga perlu ditingkatkan, agar peningkatan produktivitas jangka menengah lebih cepat tercapai.
Perang dagang bukan sekadar persaingan tarif, tetapi juga gesekan geopolitik yang mengubah konfigurasi ekonomi global. Bagi Indonesia ini adalah refleksi kemampuan beradaptasi jangka panjang.
Jika direspons dengan paradigma reaktif saja, maka negara hanya mengikuti gelombang, bukan menciptakan momentum. Yang dibutuhkan adalah transformasi struktural, dari negara bertumpu ekspor bahan mentah menjadi pemain rantai pasok global dengan nilai tambah tinggi, serta pemberdayaan ekonomi domestik yang tangguh.
Dalam konteks tersebut, langkah-langkah seperti relokasi industri, kebijakan perdagangan terbuka, efisiensi birokrasi, dan optimasi fiskal dapat membawa Indonesia melewati badai ketidakpastian.
Bukan sekadar bertahan, tetapi mengubah ancaman menjadi peluang strategis, merumuskan narasi baru bahwa Indonesia tidak hanya menjadi negara relokasi tetapi juga negara inovasi, mandiri, dan siap menghadapi persaingan global di dekade mendatang. (*)
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |