TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kekerasan demi kekerasan yang berujung pada kematian santri di Pondok Pesantren terus terjadi. Kematian seseorang dengan cara dianiaya dan disiksa, berpengaruh buruk pada mental orang tua yang telah melahirkan, membesarkan, mengajarkan dan mendidik selama ini.
Lebih dari itu, meninggalkan situasi dan kondisi mencekam di lingkungan Pesantren. Bahkan, psikologi dan traumatik berpotensi membekas pada para santri yang belajar ilmu agama dan sumber utamanya: kitab klasik dan kontemporer.
Pada 14 November 2023, misalnya, seorang santri di Kabupaten Tebo, Jambi, meninggal dunia diduga karena adanya penganiayaan di Pesantren. Kemudian, tak sampai 1 bulan kemudian, tepatnya tanggal 4 Desember 2023, seorang santri di Kabupaten Malang, Jawa Timur, dianiaya dengan cara disetrika oleh seniornya hingga meninggal dunia.
Baru-baru ini, 4 Februari 2024, seorang santri di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, meregang nyawa pasca disiksa oleh 4 orang seniornya. Kini, ketiga kasus tersebut di atas bergulir di kepolisian setempat. Pesantren, yang pada 25 tahun lalu hampir tak bersinggungan dengan pihak berwajib, kini mulai familiar.
Peristiwa yang sangat memilukan ini, sungguh menyesakkan dada. Apalagi, jika korban dan keluarganya tidak mendapatkan keadilan. Hukum justeru berpihak pada pelaku, yang sejatinya diberikan sanksi sebagai efek jera!
Salah satu contoh hukum berpihak pada pelaku kekerasan, korban berinisial DZ, yang telah dibuat patah tulang hidungnya oleh KR sehingga kekerasan pada anak kian marak, dapat disimak pada putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Malang, Nomor: 3/Pid.Sus-Anak/2023/PN Kpn.
Dalih Jaksa dan Hakim adalah Pasal (69) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang menyebutkan tidak di pidananya pelaku karena ia belum genap berumur 14 tahun. Padahal, Pasal (70) tegas mensyaratkan bahwa, keberlakuan Pasal (69) itu harus mendasarkan pada ringannya perbuatan pelaku.
Untuk itu, penulis mendorong para penegak hukum untuk bekerja secara profesional dengan mentaati UU SPPA seperti tersebut di atas. Jika penegak hukum tidak profesional maka kejadian kekerasan serupa dapat dimungkinkan akan terus terjadi.
Menteri Agama harus segera mengambil inisiasi progresif. Mendiagnosis, apa gerangan yang salah dan memerlukan tindakan preventif, protektif, dan antisipatif.
Caranya, lakukan langkah maju dengan mengundang seluruh pimpinan Pesantren di Indonesia ke Kantor Kementerian Agama, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta. Agenda utamanya, melakukan evaluasi terhadap sistem pengawasan yang terencana, terukur, dan terprediksi agar santri nyaman belajar dan orang tua tidak was-was: tenang memondokkan anak.
Terhadap Pesantren-Pesantren yang tercatat bahkan berulangkali telah terjadi kasus perundungan (bullying), penganiayaan dan penyiksaan yang membuat cidera, cacat tetap dan/atau mengancam jiwa, kehilangan nyawa sebagian santri-nya, diundang secara khusus untuk diberikan pembinaan agar membuat sistem pengawasan secara operasional sebagaimana dimaksud.
Bagi Pondok-Pondok yang tidak mentaati hasil evaluasi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam dan arahan Menteri Agama dalam tempo yang ditentukan dapat dipertimbangkan untuk dicabut izin pendirian Pesantren selama beberapa semester.
Setelah dilakukan pembinaan namun tetap mengabaikan pentingnya sistem pengawasan itu, tentu setelah diberikan peringatan secara bertahap, jalan pencabutan izin pendirian Pesantren secara permanen (tetap) dapat ditempuh.
Sikap tegas ini penting diambil agar menjadi pelajaran bagi Pondok-Pondok di tanah air. Lebih dari itu, sebagai kawah chandradimuka ilmu pengetahuan, situasi dan kondisi Pesantren yang kondusif dan ramah anak akan tercipta dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Jika Gus Yaqut selaku Menteri Agama responsif dan mampu mengurai serta menyuguhkan solusi alternatif (sebelum 20 Oktober 2024) terhadap problem Pesantren yang satu ini: perundungan, penganiayaan, penyiksaan (kekerasan) yang sudah meninggalkan cerita pilu: kematian, ia akan dikenang atas warisan (legacy) yang menyentuh kemanusiaan yang asasi dan hakiki.
"Adalah suatu kemuliaan ketika ikhtiar pencegahan akan maraknya perundungan, penganiayaan dan penyiksaan, yang berakhir dengan kematian dengan cara tragis: dibunuh pada usia muda, lebih-lebih saat menuntut ilmu di Pesantren".
Dalam hal kematian, Al-Quran Surat Al-An'am (162) menegaskan: _Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil alamin_. "Sesungguhnya shalat-ku, ibadah-ku, pengorbanan-ku, hidup dan mati-ku hanyalah untuk (kepunyaan) Allah, Tuhan semesta alam." (*)
*) Oleh: ABD. AZIZ, Advokat, Legal Consultant, Mediator Non Hakim, dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW, Jakarta. Kini, Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menteri Agama Ambil Inisiasi Progresif, Stop Kekerasan di Pesantren!
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |