https://jakarta.times.co.id/
Opini

Pancasila Hanya Ornamen Kekuasaan

Minggu, 07 Desember 2025 - 20:32
Pancasila Hanya Ornamen Kekuasaan Ruben Cornelius Siagian, Peneliti dan Penulis Opini Mengenai Isu Sains-Politik.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Tragedi ekologis yang terjadi di Sumatera seolah membuka sisi gelap dari cara negara bekerja. Negara yang selama ini dipercaya sebagai pelindung rakyat justru tampak seperti mesin kekuasaan yang sibuk menjaga kenyamanan segelintir elite. 

Ratusan orang meninggal, ribuan kehilangan rumah, dan satu demi satu desa tersapu banjir dan longsor. Namun negara memilih menolak menetapkan status bencana nasional, seakan-akan duka seluruh masyarakat hanya gangguan kecil bagi narasi pembangunan yang ingin terus terlihat sempurna.

Dari titik inilah muncul kembali pertanyaan yang mungkin selama ini dianggap tabu: apakah Pancasila masih benar-benar menjadi pedoman negara, atau kini hanya menjadi hiasan seremonial? Apakah masih layak kita berbicara tentang “kemanusiaan” dan “keadilan sosial” jika negara bahkan tidak ingin mengakui luka rakyat sebagai sebuah bencana?

Dalam teori representasi modern, sejumlah pemikir seperti Ryden dan Salisbury menjelaskan bahwa pada titik tertentu sebuah negara dapat berhenti menjadi representasi rakyat. Negara dapat bergeser menjadi struktur kekuasaan yang bekerja terutama untuk kepentingan kecil di lingkaran elite. 

Penolakan status bencana bukan soal ketidakmampuan, tetapi ketakutan akan konsekuensi. Mengakui status tersebut berarti membuka pintu untuk mengevaluasi tata kelola lingkungan, praktik konsesi industri, relasi negara–korporasi, dan jejaring patronase politik. 

Dengan kata lain, mengakui bencana adalah mempertaruhkan kenyamanan kekuasaan. Diam akhirnya menjadi pilihan. Diam berarti aman dari tuntutan pertanggungjawaban. Tapi diam juga menunjukkan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan: negara berhenti mendengarkan rakyatnya.

Kerusakan ekologis yang memicu tragedi Sumatera bukanlah musibah alam yang datang tiba–tiba. Ia adalah akumulasi dari kebijakan ekstraktif yang dibiarkan berjalan selama bertahun–tahun. Berbagai penelitian WALHI, CIFOR, dan kalangan akademik menunjukkan bahwa ekspansi industri sawit, tambang batubara, dan pembalakan hutan menjadi faktor dominan meningkatnya risiko banjir dan longsor. 

Dalam pola pembangunan seperti ini, ukuran kemajuan direduksi menjadi angka investasi, panjang jalan yang dibangun, besarnya konsesi, dan grafik pertumbuhan ekonomi. Di tengah deru pembangunan, manusia dan lingkungan menjadi variabel sampingan.

UU Cipta Kerja menjadi simbol paling jelas dari arah kebijakan ini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa undang-undang tersebut menggeser peran negara dari pelindung publik menjadi fasilitator kepentingan modal. 

DPR pun akhirnya lebih terlihat sebagai lembaga yang menandatangani kebutuhan bisnis dibanding memperjuangkan suara rakyat. Tak mengherankan bila muncul pertanyaan: apakah hukum masih bekerja untuk manusia, atau kini manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan hukum yang dibuat untuk melayani modal?

Setiap kali terjadi bencana besar, kehadiran pejabat sering kali berubah menjadi panggung pencitraan. Publik melihat pejabat datang ke lokasi bencana, menunduk dramatis, memuji pemerintah, lalu membuat pernyataan hiperbolik. Padahal warga masih berkabung dan belum pulih dari trauma. 

Fenomena ini bukan sekadar soal pribadi pejabat, melainkan bagian dari pola politik pencitraan dalam demokrasi elektoral modern. Sistem politik kita menciptakan insentif bagi pejabat untuk tampil loyal dan komunikatif secara simbolik, ketimbang bekerja menyelesaikan masalah secara nyata. Di sinilah Pancasila mulai terasa hanya sebagai latar teatrikal. Kata “kemanusiaan” diucapkan, tetapi tragedi manusia diperlakukan sebagai dekorasi pemberitaan.

Pancasila hanya hidup sejauh ia dipraktikkan, bukan sejauh ia dihafalkan. Pertanyaan paling sederhana, tetapi paling menyakitkan pun muncul: bagaimana rakyat bisa percaya Pancasila masih hidup jika air mata mereka saja tidak cukup untuk menggerakkan negara? 

Bagaimana mungkin rakyat yakin pada sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” ketika hutan adat diserahkan kepada korporasi? Bagaimana mungkin “keadilan sosial” terasa nyata jika rakyat justru menjadi pihak yang harus menyesuaikan diri dengan pembangunan yang tidak mereka nikmati?

Ketika negara berhenti menghayati Pancasila, Pancasila turun kelas menjadi slogan. Ia berhenti menjadi kompas moral dan berubah menjadi retorika dalam pidato.

Kekecewaan publik terhadap negara sering kali memunculkan bisikan kelam: tentang revolusi, tentang penggulingan kekuasaan. Tetapi sejarah juga mengajarkan kita bahwa perubahan yang paling bertahan lama tidak lahir dari senjata, melainkan dari pergeseran legitimasi moral. 

Negara bisa bertahan dengan hukum, tetapi kekuasaan runtuh saat legitimasi moralnya hilang. Dan hari ini tanda–tanda erosi legitimasi itu terasa nyata di banyak tempat: di unggahan media sosial, di obrolan publik, di ruang keluarga para korban, di kota-kota besar yang mulai sadar bahwa bencana ekologis hanya soal giliran.

Bangsa ini tidak membutuhkan pengganti ideologi. Yang dibutuhkan adalah mengambil kembali Pancasila dari mereka yang menjadikannya ornamen kekuasaan. Ini bukan gerakan untuk menghancurkan negara, melainkan untuk memulihkan negara. Ini bukan pemberontakan kekerasan, melainkan keberanian moral. Revolusi warga yang percaya bahwa negara seharusnya bekerja untuk rakyat, bukan sebaliknya.

Tragedi Sumatera menunjukkan sebuah kenyataan pahit: negara hari ini beroperasi dengan prioritas menjaga stabilitas politik, melindungi jejaring ekonomi, dan mengelola persepsi publik melalui pencitraan. Tetapi nilai–nilai bangsa tidak pernah lahir dari istana. Nilai lahir dari rakyat dan hidup melalui tindakan.

Jika negara gagal menjalankan Pancasila, itu bukan berarti Pancasila mati. Itu berarti rakyatlah yang harus menjadi penjaga terakhirnya. Sebab ideologi hanya hidup sejauh ia diwujudkan. Dan bila negara berhenti merawatnya, maka rakyat harus memegang obor itu bukan untuk melawan negara, tetapi untuk mengingatkan negara kepada siapa kekuasaan itu seharusnya bekerja.

***

*) Oleh : Ruben Cornelius Siagian, Peneliti dan Penulis Opini Mengenai Isu Sains-Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.