https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Anak-Anak Langit yang Melambai

Jumat, 07 April 2023 - 11:00
Anak-Anak Langit yang Melambai Ahmadul Faqih Mahfudz, Penulis dan pengelola Taman Baca Anak-Anak Langit Bali.

TIMES JAKARTA, BALI – Semua berawal dari bulan Oktober 2018. Saat itu saya putuskan untuk pulang kampung setelah sepuluh tahun tinggal dan belajar di Jogjakarta.

Tak lama setelah itu saya pun tinggal di kampung kelahiran saya, tepatnya di Dusun Sumber Wangi, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Namun, beberapa hari di kampung, saya mulai gelisah. Kegelisahan saya muncul karena beberapa hal.

Pertama, tidak ada seorang anak pun yang saya lihat membaca buku bacaan di luar waktu sekolah. Kedua, tidak ada satu taman baca pun di kampung saya yang bisa mempertemukan anak-anak dengan buku.

Ketiga, masyarakat kesulitan mengakses buku karena kampung saya jauh dari perpustakaan daerah yang letaknya di kota kabupaten. Keempat, tidak ada tempat bermain yang dapat menjadi ruang kreatif untuk memancing imajinasi dan mengembangkan kreativitas anak-anak.

Pada saat yang sama, empat hal ini diperparah oleh fenomena kelima: hampir semua anak di kampung saya memegang gawai dan menghabiskan waktu bersamanya.

Fenomena sosiokultural yang mencemaskan tersebut menggerakkan saya. Beberapa buku, majalah, dan bahan-bahan bacaan yang saya koleksi selama ini saya kumpulkan. Rak buku bekas yang saya pakai saat kuliah di Jogja saya ambil kemudian saya bersihkan. Buku-buku, majalah, dan bahan-bahan bacaan itu kemudian saya susun dengan rapi di rak butut itu.

Berbekal kegelisahan-kegelisahan tersebut, 11 November 2018, saya dirikan sebuah taman baca sederhana di teras rumah kami. Taman baca yang saya dirikan bersama Nihayah, istri saya, ini kemudian saya beri nama Taman Baca Anak-Anak Langit.

Hari itu pula saya memanggil lima orang anak yang sedang bermain di samping rumah kami. Kepada mereka, saya tunjukkan buku-buku di taman baca. Mereka berlari kegirangan. Mereka memilih, meraih, kemudian membuka halaman-halamannya. Dengan lahap mereka membaca buku-buku dan majalah-majalah tersebut.

Mereka terlihat larut dalam perjalanan imajiner bersama tokoh-tokoh di dalamnya. Mungkin, mereka sedang asyik menyusuri kota-kota asing, desa-desa nun jauh di benua lain, atau negeri-negeri yang baru mereka kenal namanya dari bacaan-bacaan itu.

Perkenalan pertama, melalui kata dan metafora itu pula yang, membuat mereka, tak ingin beranjak dari buku-buku dan bahan bacaan itu. Melihat pemandangan tersebut, saya makin tidak percaya pada riset yang menyatakan bahwa minat baca orang Indonesia rendah. Saya, justru makin percaya, bahwa orang Indonesia tidak membaca karena tidak tersedianya bahan-bahan bacaan di sekitar mereka.

Setelah itu, saya hubungi kawan-kawan saya yang berprofesi sebagai penulis, jurnalis, pekerja buku, maupun mereka yang perhatian pada pendidikan anak dan menyukai aktivitas literasi. Saya minta mereka menghibahkan buku koleksi mereka, atau buku karya mereka, untuk taman baca kami, untuk dibaca anak-anak di kampung kami.

Sambil menemani anak-anak di taman baca, juga sambil menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka saat membaca, diam-diam saya memotret aktivitas mereka. Foto-foto itu kemudian saya unggah di media sosial facebook dan whatsApp. Saya sertakan tulisan sebagai pelengkap foto-foto itu. Tentang anak-anak kampung kami yang jauh dari akses buku; tentang semangat mereka dalam membaca; juga tentang buku-buku koleksi kami yang sangat sedikit atau masih terbatas. Saya tulis semua itu dengan gaya bercerita (story telling).

Konon, menurut salah satu riset yang pernah saya baca, manusia akan berempati pada sesuatu yang ditulis dengan gaya bercerita. Ternyata benar. Saya membuktikannya.

Unggahan-unggahan saya di “status” facebook dan whatsApp mendapat respons yang baik dari pembacanya. Beberapa saat setelah foto-foto dan tulisan itu terunggah, ada yang kemudian bertanya alamat lengkap taman baca kami untuk pengiriman buku. Ada yang membagikan unggahan saya di dinding facebooknya. Ada pula yang hanya berkomentar, “Mantap, Bung!” atau “Lanjutkan, Kawan.” Tidak apa-apa, komentar terakhir ini setidaknya menyemangati iktikad saya.

Namun setelah unggahan itu mendapat respons yang baik di media sosial, persoalan baru pun muncul. Bagaimana dengan biaya pengiriman buku? Kita semua tahu, buku punya berat yang lumayan bila ditaksir dengan ongkos jasa pengiriman. Untuk buku ukuran sedang, tak terlalu tipis dan tak terlalu tebal, berat tiga buku sudah 1 kilogram. Lantas bagaimana kalau ada yang mau mengirim 10 buku, 20 buku, atau lebih? Biaya kirimnya tentu sangat mahal, ‘kan?

Syukurlah, kemudian saya berjumpa dengan grup Pustaka Bergerak Indonesia di facebook. Setelah bergabung ke dalam grup para penggerak literasi yang militan itu, saya baru tahu bahwa ada gerakan “Pengiriman Buku Gratis” (Free Cargo Literacy) setiap tanggal 17 per bulan yang sudah direstui Presiden Joko Widodo. Gerakan ini diinisiasi oleh Pustaka Bergerak Indonesia bekerja sama dengan PT Pos Indonesia.

Syarat untuk mendapatkan fasilitas pengiriman buku gratis tersebut, taman baca yang akan menerima kiriman buku harus terdaftar sebagai simpul Pustaka Bergerak. Buku yang akan dikirim oleh donatur tidak boleh kurang dari 2 kilogram, tapi juga tidak boleh lebih dari 10 kilogram. Dan cukup dengan membubuhkan tulisan “Pustaka Bergerak” di sisi alamat pengiriman, paket itu sudah bisa diantar ke kantor pos terdekat tanpa harus membayar biaya kirim sepeser pun. Keren!

Tanpa pikir panjang, saya daftarkan Taman Baca Anak-Anak Langit untuk menjadi simpul Pustaka Bergerak. Kira-kira dua minggu setelah didirikan, Taman Baca Anak-Anak Langit akhirnya resmi menjadi salah satu simpul Pustaka Bergerak Indonesia di Bali. Setelah itu, langsung saya umumkan ke media sosial facebook dan whatsApp, bahwa taman baca kami sudah menjadi simpul Pustaka Bergerak, dan karena itu pula siapa pun yang akan mengirim buku ke taman baca kami tidak akan terkena biaya pengiriman. Tentu, dengan syarat-syarat yang disepakati Pustaka Bergerak dan PT Pos Indonesia.

Program pengiriman buku gratis setiap bulan tersebut sungguh sangat membantu gerakan literasi yang saya lakukan. Setelah kabar pengiriman buku gratis ini saya unggah di media sosial, kawan-kawan yang membaca unggahan itu merespons dan menyatakan kesiapan untuk mengirim buku-bukunya ke taman baca kami.

Setelah membagikan alamat Taman Baca Anak-Anak Langit, beberapa hari kemudian, paket-paket buku pun berdatangan. Ada paket buku yang datang dari Jogja, dari Jakarta, dari Banjarmasin, dari Palembang, dari Jember, dan dari kota-kota lain di Indonesia.

Buku-buku yang dikirim oleh mereka berupa novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, majalah anak, majalah sastra, jurnal, katalog pameran seni rupa, dan buku-buku catatan perjalanan. Buku-buku dan bahan bacaan bertambah. Rak butut yang saya pakai sebelumnya tak muat lagi menampung luapannya. Saya gembira sekaligus tak percaya semuanya berjalan secepat ini.

Kalau ada yang menyatakan bahwa media sosial membuat manusia tidak produktif, atau menghambat kreativitas manusia, tentu pernyataan ini tidak berlaku bagi saya. Sebaliknya, media sosial justru berperan besar terhadap gerakan literasi yang saya lakukan. Karena foto-foto dan tulisan-tulisan yang saya unggah atau saya jadikan “status” di media sosial, buku-buku berdatangan ke taman baca kami.

Dengan karakter media sosial yang tak bersekat, tidak hanya mereka yang saya kenal, mereka yang tidak saya kenal pun mengirim buku untuk Taman Baca Anak-Anak Langit. Inilah salah satu nilai positif yang saya dapatkan sekaligus saya manfaatkan dari media sosial.

Setelah buku-buku bertambah, apa yang saya lakukan agar anak-anak yang berkunjung ke taman baca kami semakin banyak? Setiap Minggu pagi, kami menggelar kelas menulis dan kelas melukis. Waktu pelaksanaannya selang-seling. Bila minggu ini melukis, minggu depannya menulis. Begitu seterusnya.

Dalam kelas menulis, kadang kami berikan satu tema, lalu kami biarkan anak-anak menulis sebebas-bebasnya. Entah kemudian tulisan itu jadi cerita pendek, entah jadi puisi, entah jadi potongan novel, atau entah jadi tulisan apa saja. Begitu pun di kelas melukis. Kadang ada satu tema yang akan kami berikan lalu kami biarkan mereka melukis sebebas-bebasnya, dengan alat lukis sebebas-bebasnya. Entah apakah kemudian lukisan itu jadi realis, jadi surealis, atau entah jadi bentuk dan gaya lukisan apa saja.

Dengan kelas-kelas mingguan ini, kami ingin mengajak imajinasi dan inteligensi mereka bertamasya agar mereka semakin kreatif. Dengan kegiatan ini, kami juga ingin melatih mereka berpikir terbuka terhadap apa dan siapa saja melalui metafora, juga garis dan warna, sebagai mediumnya.

Pada kelas melukis pertama, misalnya, kami berikan tema “Berangkat ke Sekolah” untuk mereka respons. Ada delapan anak yang saat itu datang ke Taman Baca Anak-Anak Langit. Karya mereka, ada yang biasa, tapi ada pula yang mengejutkan. Lukisan Cahyo dan Mila masih didominasi gunung, jalan, dan gedung sekolah. Lanskap ini mengingatkan kita pada guru-guru di zaman Orde Baru, yang setiap pelajaran melukis atau menggambar, hampir selalu menggambar gunung, lengkap dengan sawah dan jalan setapak di papan tulis.

Bangunan sekolah dan seorang gadis yang berdiri di sisinya ada pada lukisan Amel dan May. Meski warna, juga bentuknya berbeda, tapi lukisan mereka hampir sama. Mungkin karena mereka duduk berdekatan saat melukisnya. Karya Ayak tak jauh dengan lukisan keduanya. Kupu-kupu dan pohon yang rindang, ia tambahkan, untuk menambah kesan bahwa sekolah adalah tempat yang menyenangkan.

Lukisan Raihan dan Rizki seperti mewakili kelelakiannya yang menyukai dunia otomotif. Raihan menggambar mobil, Rizki menggambar anak yang sedang menyetir motor. Dalam karya Raihan, anak yang berangkat sekolah tidak tampak. “Anaknya di dalam mobil, dan kaca pintunya ditutup karena sedang hujan,” katanya.

Sedangkan karya Rizki, mungkin semacam kritik pada orang tua di zaman ini. Orang tua yang, tanpa rasa bersalah, membiarkan anak-anaknya menyetir motor ke sekolah. Padahal, anak-anak di bawah umur itu belum memiliki surat izin mengemudi (SIM). Dari sini kemudian banyak terjadi kecelakaan lalulintas, dan ini pula cikal bakal Geng Motor yang meresahkan itu.

Yang mengejutkan adalah karya Noval. Dia melukis kapal laut bertulis Indonesia dengan seorang anak di atasnya. Apa maksud Noval dengan lukisannya? Apakah anak dalam lukisan itu ada di pulau terpencil dan tertinggal, hingga harus naik kapal laut agar bisa bersekolah? Apakah anak itu adalah anak Indonesia yang ingin belajar di luar negeri? Atau, apakah itu pesan Noval, bahwa anak-anak Indonesia kelak harus tinggal di Indonesia, untuk membangun Indonesia?

Minggu pagi selanjutnya, Taman Baca Anak-Anak Langit menggelar kelas menulis. Kelas ini kadang juga disebut kelas mengarang. Berbeda dengan kelas melukis pada minggu sebelumnya, kali ini kami bebaskan anak-anak menulis apa saja yang ada dalam pikiran mereka. Dan mereka pun menulis.

Hasilnya, ada yang menulis catatan perjalanan ke berbagai tempat yang mereka kunjungi. Ada yang menulis tentang tanaman kesayangannya di rumah. Ada pula yang menulis impian-impiannya ke dalam bentuk cerita fiksi. Sejak awal, kelas menulis ini memang tidak kami batasi hanya pada menuliskan perjalanan tubuh mereka, tapi bisa juga menulis perjalanan imajinasi mereka ke mana saja atau kepada apa dan siapa saja.

Kami pun membebaskan mereka menulis sesukanya: panjang boleh, pendek boleh. Tulisan mereka pun benar-benar beragam. Ada yang panjangnya hanya satu halaman, ada yang pendeknya sebanyak tiga paragraf, dan ada yang sangat pendek: satu paragraf! Tak apa. Target kami memang bukan menulis panjang atau pendek, bukan pula harus sesuai tatabahasa. Target kami, mereka menuangkan apa yang mereka pikirkan ke dalam tulisan.

Setelah menulis, mereka pun membaca tulisannya. Ini juga bebas. Tidak setiap anak wajib membaca tulisannya karena kadang ada yang malu-malu. Bagi yang malu membaca tulisannya sendiri, anak yang beranilah yang mengajukan diri untuk membacakannya.

Begitulah, kelas-kelas kreatif ini berjalan begitu asyik dan guyub. Kelas kreatif mingguan ini ternyata ampuh membuat anak-anak kerasan bermain dan belajar di taman baca. Setiap hari Minggu pagi, mereka datang tanpa diminta, tidak sebagaimana ketika pertama kali kelas ini digelar.

Oh ya, rencana kami selanjutnya, kelas kreatif mingguan ini juga akan kami bawa ke alam bebas, tidak hanya bertempat di taman baca. Kami akan mengajak anak-anak berjalan-jalan. Mereka, akan kami ajak menulis dan melukis di alam bebas dimulai dari kebun, ladang, atau pantai di kampung kami.

Mengalami suasana pagi jelita; menyaksikan ombak dan menyimak deburnya; melihat burung-burung beterbangan atau memberi makan anak-anaknya; melihat petani merawat jagung atau cabai yang ditanamnya; menyaksikan para nelayan dan perahu-perahunya tiba; atau melihat sapi pembajak ladang bekerja.

Apa yang mereka alami dan mereka lihat di alam bebas akan kami minta kepada mereka untuk meresponsnya ke dalam tulisan atau lukisan.

Sebagaimana aktivitas membaca dalam keseharian, kelas kreatif menulis dan melukis setiap Minggu pagi di Taman Baca Anak-Anak Langit juga saya abadikan ke dalam foto. Saya potret momen-momen menyenangkan itu tahap demi tahap. Dan sebagaimana biasa, saya pun mengunggahnya di media sosial facebook dan whatsApp, tentu saja saya lengkapi tulisan dengan gaya bercerita.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. 24 Januari 2019, sepucuk surat elektronik dari Penerbit Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Kompas-Gramedia), Jakarta, tiba-tiba masuk ke telepon genggam saya. Saya terkejut membaca isinya: “Selamat! Taman Baca Anak-Anak Langit, Bali, terpilih menjadi salah satu penerima #BIPKadoTahunBaru2019. Mohon konfirmasikan alamat pengiriman taman baca Anda untuk pengiriman buku.”

Saya bingung, takjub, sekaligus gembira. Perasaan saya campur-aduk saat itu. Betapa tidak, taman baca kami mendapat kado tahun baru 2019 berupa 200 judul buku yang bila dirupiahkan semuanya seharga Rp7.488.000. Wow!

Barulah beberapa menit kemudian saya tahu. Seorang kawan di Jakarta, Andya, diam-diam ternyata merekomendasikan Taman Baca Anak-Anak Langit kepada tim Penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP) sebagai taman baca yang layak mendapatkan kado buku dari penerbit bergengsi tersebut. Andya, rupanya mengikuti dan mengamati aktivitas taman baca kami di facebook. Baik aktivitas membaca sehari-hari, maupun kelas kreatif menulis dan melukis yang kami gelar setiap Minggu pagi. Andya merekomendasikan taman baca kami ke Penerbit BIP saat penerbit tersebut membuka seleksi bagi calon penerima kado buku tahun baru.

Setiap awal tahun, Penerbit BIP memang menyeleksi dan memilih 30 perpustakaan atau taman baca se-Indonesia untuk mendapatkan kado 200 judul buku terbitannya. Beruntung sekali, tahun 2019 ini, Taman Baca Anak-Anak Langit menjadi satu-satunya taman baca di Provinsi Bali yang mendapat kado tersebut.

Aktivitas-aktivitas Taman Baca Anak-Anak Langit yang saya unggah di media sosial benar-benar membawa berkah. Setelah mendapat fasilitas pengiriman buku gratis juga kado buku dari Penerbit BIP, koleksi kami kini mencapai 400-an buku dan bahan-bahan bacaan lain.

Untuk siapa pun yang baru merintis taman baca, atau sudah merintis tapi koleksi buku-bukunya belum bertambah, manfaatkanlah media sosial. Dan apa yang kami lakukan di media sosial bisa dijadikan inspirasi untuk bergerak.

Karena suasananya dinamis dan egaliter, tidak bertingkat atau berkelas-kelas sebagaimana dalam satuan pendidikan, taman baca menjadi ruang kreatif yang mampu menyetarakan manusia. Taman Baca Anak-Anak Langit, misalnya, menjadi ruang kreatif tidak hanya bagi mereka yang lahir dalam kondisi tubuh sempurna, tapi juga bagi mereka yang lahir “istimewa” atau berkebutuhan khusus.

Inay, 17 tahun, hanya lulus sekolah dasar. Sedangkan Abel, 8 tahun, berhenti di kelas 2 sekolah dasar. Dua gadis ini sama-sama lahir dalam keadaan tunawicara sekaligus tunarungu. Keduanya tidak percaya diri untuk melanjutkan sekolah karena memiliki “keistimewaan” yang mereka bawa sejak lahir.

Setelah tidak bersekolah, keduanya nyaris menghabiskan waktu hanya dengan bermain, atau kadang mendekam saja di dalam rumah. Namun sejak Taman Baca Anak-Anak Langit berdiri di kampung kami, semangat belajar mereka kembali menyala.

Hampir setiap hari mereka datang ke taman baca: membaca, menulis, melukis, mewarnai, atau sekadar melihat-lihat buku dan bacaan-bacaan lain yang tersedia. Di taman baca, keduanya berbaur dengan anak-anak lain yang masih bersekolah untuk bermain dan belajar bersama.

Kesetaraan dalam mengakses pengetahuan di taman baca dialami pula oleh Jazila yang hanya lulusan madrasah aliyah. Setiap mengantar Ayak, anaknya, ke taman baca kami, perempuan berusia 31 tahun itu pun ikut membaca. Buku dan majalah-majalah yang tersedia dia baca begitu lahapnya. Karena berbagai faktor, ibu rumah tangga ini tidak sempat mencecap pendidikan di perguruan tinggi. Namun cintanya yang besar terhadap ilmu dan pengetahuan menemukan ruang yang tepat di taman baca.

Taman Baca Anak-Anak Langit juga kami dedikasikan untuk para orang tua yang tidak bisa membaca dan menulis. Mereka yang belum mengenal aksara latin dapat berkunjung kapan saja untuk belajar bersama. Kami ingin semua orang di kampung kami bisa membaca dan menulis serta mendapatkan bacaan-bacaan bergizi.

Meski demikian, keberaksaraan tidak sebatas mampu membaca dan menulis saja. Membaca dan menulis bukan tujuan akhir, melainkan tujuan awal.

Membaca dan menulis ibarat anak tangga pertama menuju anak tangga selanjutnya untuk menjadi manusia Indonesia yang berperadaban dan berkeadaban. Dengan keberaksaraan ini, kami ingin masyarakat jeli dan mahir dalam memilih bacaan, skeptis sekaligus kritis dalam merespons berita, serta memiliki imajinasi cemerlang untuk Indonesia masa depan.

Taman Baca Anak-Anak Langit telah menginspirasi banyak orang untuk bergerak bersama. Karena unggahan-unggahan aktivitas literasi kami di facebook, kerabat dan sahabat saya pun ikut mendirikan taman baca di kampungnya masing-masing.

Pertama, Rumah Baca Cinta Buku yang dirintis dan dikelola oleh Kafiyatun, keponakan saya, yang sama-sama tinggal di Desa Pemuteran, namun beda dusun. Kedua, Perpustakaan Gemar Baca yang dirintis dan dikelola oleh Silma, keponakan saya yang tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Dan yang ketiga, taman baca kami juga menginspirsai Taman Baca Anak Maca yang dirintis dan dikelola oleh Faza, sahabat saya di Sumenep, Jawa Timur.

Saya berharap, Taman Baca Anak-Anak Langit semakin menginspirasi banyak orang untuk mendirikan taman baca atau perpustakaan di daerahnya masing-masing. Karena dalam imajinasi saya, manusia adalah anak-anak langit. Langit, dalam hal ini, saya simbolkan sebagai manifestasi dari Yang Ilahi. Manusia berasal dari Yang Ilahi. Manusia adalah ciptaan yang diberi amanah untuk menjaga kelestarian dan keharmonisan dunia oleh Yang Ilahi.

Untuk menjalankan amanah ini, manusia memerlukan pengetahuan. Dan media yang memungkinkan manusia untuk mendapatkan pengetahuan adalah buku, atau dengan membaca.

Ironisnya, di tengah kebutuhan yang mendesak terhadap buku, puluhan ribu sekolah dari semua jenjang pendidikan di Indonesia mengalami krisis perpustakaan. Menurut laporan harian Kompas (Selasa, 30 Juli 2019), 70.116 sekolah atau 33 persen dari total sekolah di Indonesia belum memiliki perpustakaan.

Namun ini bukan saat yang tepat untuk saling menyalahkan. Mari bergerak bersama. Untuk yang belum merintis taman baca, mari mulai bergerak. Untuk yang sudah merintis dan mengelola taman baca, mari terus bergerak. Manusia-manusia Indonesia, anak-anak langit itu, sedang melambai-lambai kepada kita agar kita mengantarkan buku-buku dan bahan bacaan bermutu kepada mereka. Dekatkanlah buku kepada anak-anak atau kepada masyarakat kita. Jadikan buku sebagai teman baik mereka, kapan pun dan di mana pun.

“Suatu hari aku membaca sebuah buku dan sejak saat itulah hidupku berubah,” tulis Orhan Pamuk, di paragraf awal Yeni Hayat, novelnya yang terbit pada tahun 1994.

Buku akan membawa pembacanya bertualang dari satu manusia ke manusia lain; dari satu karakter ke karakter lain; dari satu kota ke kota lain; dari satu desa ke desa lain; dari satu pulau ke pulau lain; dari satu negeri ke negeri lain; dari satu benua ke benua lain; dari satu peradaban ke peradaban lain; dari satu planet ke planet lain; hingga dari satu dunia ke dunia lain. Sebuah petualangan imajiner yang seru, menawan, dan mendebarkan bersama kata-kata, bersama metafora.

***

*) Oleh: Ahmadul Faqih Mahfudz, Penulis dan pengelola Taman Baca Anak-Anak Langit Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.