https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Menyoal Tunjangan Kinerja Dosen ASN dan Ketidakberpihakan Pemerintah Menuju Indonesia Emas 2045

Senin, 20 Januari 2025 - 12:35
Menyoal Tunjangan Kinerja Dosen ASN dan Ketidakberpihakan Pemerintah Menuju Indonesia Emas 2045 Adiguna Sasama Wahyu Utama, Dosen Akademi Komunitas Negeri Putra Sang Fajar, Blitar

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Visi Indonesia Emas 2045 merupakan impian kolektif yang diharapkan menjadi puncak dari perjalanan panjang bangsa ini menuju kemajuan dan kesejahteraan. Tahun tersebut menjadi momen penting di mana kita merayakan satu abad kemerdekaan, sebuah tonggak sejarah yang seharusnya diisi dengan prestasi dan pencapaian yang membanggakan.

Namun, jalan menuju cita-cita itu tidaklah mulus. Sebagai pendidik, hati kami dipenuhi dengan kegelisahan yang mendalam mengingat berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai visi tersebut. 

Salah satu tantangan utama dalam upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih belum merata. Di tengah harapan akan terjadinya transformasi pendidikan yang mampu mencetak generasi penerus yang unggul, kita justru dihadapkan pada fenomena brain drain.

Talenta-talenta terbaik bangsa, yang seharusnya menjadi harapan masa depan, justru memilih untuk pergi ke luar negeri demi mengejar kesejahteraan yang lebih baik. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Ketidakjelasan masa depan bagi mereka yang berkarir di dalam negeri, ditambah oleh tawaran yang lebih menarik dari negara lain, membuat mereka merasa tidak punya pilihan lain. 

Ketika kita melihat potensi yang hilang ini, kegelisahan semakin menggelora. Masyarakat Indonesia yang seharusnya berdaya saing global justru terancam kehilangan daya tariknya. Investasi yang semestinya mengalir untuk pembangunan negeri ini menjadi terhambat. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing di kancah internasional jika kualitas SDM kita terus menurun? Dengan kondisi seperti ini, visi Indonesia Emas 2045 bisa jadi hanya sebuah angan-angan belaka.

Ironisnya, meskipun tantangan ini semakin nyata, kebijakan pemerintah tampak kontradiktif terhadap upaya mencapai visi tersebut. Sebagai pendidik, kami sangat mengharapkan adanya dukungan nyata dari pemerintah, namun yang kami lihat justru sebaliknya. Kurangnya apresiasi terhadap SDM berprestasi membuat kami merasa tidak dihargai. Para pendidik, khususnya dosen, yang memiliki peran penting dalam mencetak SDM berkualitas, sering kali diperlakukan tidak adil. 

Kenyataan pahit bahwa gaji dosen berkisar antara 3 hingga 4 juta per bulan sangat mengecewakan. Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam menciptakan generasi intelektual yang diharapkan dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang cerah.

Dalam sebuah wawancara, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro, pernah mengungkapkan bahwa Indonesia belum mampu menyediakan lapangan kerja untuk tenaga kerja berkualitas. Ironisnya, pekerjaan sebagai dosen yang seharusnya menjadi salah satu solusi untuk masalah ini justru dihargai sangat rendah. 

Kita tidak bisa berpaling dari kenyataan bahwa pemerintah mampu menaikkan tunjangan kinerja ASN di berbagai sektor dengan sangat cepat. Kita sudah melihat tunjangan yang melonjak hingga 300 persen untuk ASN di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai, serta kenaikan tunjangan kinerja untuk ASN Hakim yang langsung dibayar lunas dalam bentuk vonis 6,5 tahun bagi pelaku korupsi timah Rp300 triliun dan vonis bebas bagi WNA China yang mencuri 774 kg emas dari Indonesia. Namun, ketika berkaitan dengan tunjangan bagi dosen dan guru seolah-olah ada tembok tebal yang menghalangi ruang dialog. 

Dosen hanya meminta agar hak mereka, berupa tunjangan kinerja yang tertunggak selama 5 tahun, dibayarkan. Ini bukanlah tuntutan untuk kenaikan gaji, melainkan pengakuan atas jasa dan kontribusi yang telah mereka berikan. Akan tetapi, kenyataan yang ada justru jauh dari harapan. Kesejahteraan guru yang juga berada dalam posisi serupa sering kali dianggap remeh, bahkan dalam beberapa kasus, menjadi bahan lelucon di media sosial. 

Minimnya penghargaan terhadap intelektual menciptakan dampak yang jauh lebih besar dari yang terlihat. Penurunan motivasi di kalangan generasi muda untuk berkontribusi di dalam negeri menjadi salah satu akibatnya. Ketika mereka melihat pemimpin dan pengambil kebijakan tidak memberikan apresiasi yang seharusnya, apa yang mereka harapkan dari masa depan mereka? Kegelisahan ini bukan hanya dirasakan oleh para pendidik, tetapi juga oleh setiap lapisan masyarakat yang peduli akan masa depan bangsa. 

Ada rasa putus asa yang muncul ketika generasi muda memilih untuk mencari peluang di luar negeri, sementara di dalam negeri, mereka justru dihadapkan pada kenyataan yang tidak menarik. Jika situasi ini terus berlanjut, bisa jadi kita akan kehilangan generasi emas yang seharusnya menjadi penopang kemajuan bangsa kita. 

Kami masih percaya bahwa harapan bisa menjadi pendorong untuk mengubah keadaan. Untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret. Pembayaran tunggakan tunjangan kinerja dosen harus menjadi prioritas, bukan sekadar janji-janji yang diucapkan tanpa tindakan nyata. Apresiasi terhadap pendidik harus ditingkatkan, karena mereka adalah arsitek masa depan negeri ini. 

Program-program pelatihan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan kualitas SDM harus diperkuat. Selain itu, perlu ada dialog yang konstruktif antara pemerintah dan para pendidik untuk merumuskan kebijakan yang lebih adil dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan. 
Sebagai pendidik, kami tidak pernah kehilangan harapan. Kami terus berjuang untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak bangsa.

Namun, kami juga berharap suara kami didengar. Jika pemerintah ingin mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045, saatnya untuk bertindak dan memberikan perhatian lebih kepada pendidik. Hanya dengan menghargai mereka yang berperan penting dalam mencetak generasi unggul, kita dapat berharap untuk mencapai impian bersama. Jangan biarkan Visi Indonesia Emas 2045 menjadi sekadar wacana tanpa makna. Saatnya kita beraksi, untuk masa depan yang lebih baik dan cerah! (*)

* oleh: Adiguna Sasama Wahyu Utama, Dosen Akademi Komunitas Negeri Putra Sang Fajar, Blitar

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : xxx
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.