https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Konflik Israel-Palestina dalam Kacamata Gabor Mate (1)

Kamis, 06 Februari 2025 - 11:18
Konflik Israel-Palestina dalam Kacamata Gabor Mate (1) Sunarko, Freelance Writer

TIMES JAKARTA, SURABAYA – Saat menelusuri pandangan ahli jiwa Dr. Gabor Mate tentang trauma melalui artikel-artikelnya, ulasan atas buku-bukunya serta sejumlah podcast yang mewawancarainya, tiba-tiba perhatian saya tersedot ke pandangan dia mengenai konflik Israel-Palestina.

Gabor Mate adalah psikiater berkewarganegaraan Kanada. Dia dikenal sebagai ahli jiwa tingkat dunia untuk terapi trauma, kecanduan, dan perkembangan jiwa anak-anak (childhood development).

Tentu sudah banyak pakar yang mengulas konflik Palestina-Israel. Namun, menurut saya, analisis Gabor Mate tentang konflik tersebut agak berbeda bahkan unik.

Pertama, dia menggunakan lensa psikologis, bukan politis, dalam melihat konflik tersebut. Kedua, Gabor Mate memiliki kedekatan emosional dan historis dengan konflik itu, sehingga bisa dikatakan analisisnya mencakup sekaligus luar dan dalam.

Dilahirkan di Budapest (ibukota Hungaria, Eropa Timur) dari ibu dan bapak Yahudi pada 6 Januari 1944, Gabor Mate beserta keluarga besarnya merupakan korban Holocaust.

Disebut Shoah di Israel, Holocaust adalah tragedi pembantaian massal warga Yahudi Eropa oleh pasukan Nazi-Hitler selama Perang Dunia II.

Kakek dan nenek Gabor Mate dari pihak ibunya meninggal di kamp konsentrasi Nazi-Hitler di Auschwitz (Polandia); bibinya juga diambil pasukan Hitler dan tidak diketahui nasibnya hingga kini. Ayah Gabor pun dibawa menjalani kerja paksa, namun kemudian berhasil selamat. Hanya Gabor Mate dan ibunya yang terhindar dari cidukan Nazi.

Namun, ketika usianya baru sekitar 1 tahun, Gabor Mate sempat dititipkan oleh ibunya ke seorang perempuan tak dikenal guna menyelamatkan nyawanya, menghindari perburuan oleh pasukan Nazi.

Perpisahan terpaksa dari ibunya dan tragedi Holocaust secara umum  telah menggoreskan trauma pada diri Gabor Mate.

Demikian kuat dampak trauma tersebut dalam membentuk sikap mental dan perilaku Gabor hingga dewasa. Sehingga, dia sempat berpandangan bahwa hanya melalui berdirinya suatu negara untuk bangsa Yahudi, maka kaum Yahudi baru bisa menemukan keamanan setelah berabad-abad mereka sering mengalami persekusi.     

Namun yang sangat mengesankan, pada akhirnya Gabor Mate dan keluarganya justru berbalik menentang Zionisme.

Bagaimana Gabor Mate berproses dari semula sempat jadi aktivis gerakan Zionisme hingga akhirnya menentang Zionisme, pada dasarnya adalah kisah perjalanan dirinya sendiri dalam menyembuhkan luka traumatiknya.

Kelak, kisah itulah yang antara lain mengilhami lahirnya metode terapi trauma Compassionate Inquiry (CI) yang dipelopori Gabor Mate.

Trauma di Atas Trauma

Seperti diketahui, Zionisme adalah sebuah gerakan kontroversial yang mencita-citakan berdirinya negara Yahudi di “tanah yang dijanjikan Tuhan” berdasarkan klaim kitab suci mereka (biblical right).

Cita-cita itu sudah terwujud dengan berdirinya negara Israel pada 1948. Namun, gerakan ini memakan korban besar sampai sekarang, yakni penghancuran rakyat dan wilayah Palestina, yang diikuti oleh terusirnya secara massal mereka dari tanah airnya –yang disebut sebagai Peristiwa al-Nakba.

Gabor Mate menegaskan, negara Israel didirikan di atas landasan trauma. Terutama trauma tragedi Holocaust. Namun, yang sangat disesalkan Gabor Mate, cara Israel dalam “menyembuhkan” traumanya justru menciptakan trauma baru yang tak kalah horor dari Holocaust. Bahkan, dengan korban bangsa lain yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Nazi-Hitler. Yakni, bangsa Palestina.

Konflik Israel-Palestina saat ini, menurut Gabor Mate, tidak bisa diisolasi hanya terkait dengan persoalan Hamas. Sebab, kata dia, sebelum kelompok Hamas mulai berkuasa di Palestina (tahun 2006), penindasan Israel juga telah terjadi secara berlanjut terhadap warga Palestina.

Bahkan saat Otoritas Palestina di bawah Yasser Arafat, yang dikenal sebagai dovish sehingga meraih penghargaan Nobel Perdamaian pada 1994, pemerintahan Israel dari kubu garis keras sudah menerapkan kebijakan yang menindas warga Palestina.

Intinya, warga Israel terutama pemerintahnya, harus mengakui bahwa sesungguhnya psike (psyche) kolektif mereka masih sakit akibat trauma. Trauma, kata Gabor Mate, tidak hanya dialami oleh individu. Trauma juga bisa dialami secara kolektif oleh suatu bangsa.

Trauma serius Israel tersebut, dalam analisis Mate, belum tersembuhkan sampai sekarang. Sikap dan tindakan Israel yang menindas dan melampaui batas terhadap rakyat Palestina menjadi indikator jelas bahwa Israel masih mengidap gangguan tersebut.

Dalam ilmu psikologi, trauma yang belum tersembuhkan merupakan sumber masalah bagi kesehatan jiwa. Sebab, dari pikiran traumatik (traumatized mind) inilah tumbuh dan berkembang berbagai jenis gangguan sikap dan perilaku. 

Menurut hasil riset neurosains (ilmu tentang otak), trauma menyebabkan perubahan pada struktur dan fungsi otak. Salah-satu wilayah otak utama yang terdampak trauma adalah Amigdala, yang disebut sebagai “pusat rasa takut” (fear center).(baca: https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3181836/?utm_source=chatgpt.com)

Akibat trauma, Amigdala menjadi hiperaktif, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan persepsi terhadap ancaman dan bahaya, bahkan dalam situasi dimana sebetulnya tidak ada hal yang mengancam dan membahayakan.

Mentalitas Korban

Israel sebetulnya mengakui adanya trauma Holocaust itu pada dirinya. Namun, bukan menyadari secara komprehensif dampak yang ditimbulkan oleh trauma itu, Israel malah secara berlebihan jatuh pada sikap untuk terus minta dimengerti dan dikasihani sebagai korban. Israel hingga kini menderita victim mentality atau mentalitas korban.

Keinginan Israel untuk dikasihani sebagai korban ini membuat mereka merasa dibenarkan untuk memperoleh perlakuan istimewa atau rasa berhak khusus (special entitlement). Rasa berhak inilah yang kemudian akan merendahkan atau melibas siapa pun yang tidak memberinya pengakuan dan validasi khusus sebagai korban.

Karena penekanan yang berlebihan sebagai korban (victim claim) tersebut, langkah Israel malah tidak mengarah pada solusi atas trauma. Mentalitas korban ini meningkatkan kecenderungan si  pengidap trauma untuk mengembangkan sifat narsistik tertentu, antara lain apatisme dan kebencian, sebagai cara pertahanan dirinya.

Inilah yang membuat Israel merasa tak bersalah (bahkan merasa bermoral) meskipun nyata-nyata jutaan orang Palestina dimusnahkan dan menderita akibat kebijakannya selama ini.

Berulangkali dalam berbagai kesempatan, PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang beroperasi di wilayah pendudukan Palestina adalah tentara paling bermoral di dunia.

“IDF adalah tentara paling bermoral di dunia, karena terus berjuang untuk melenyapkan teroris Hamas,” kata Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu. (baca: https://www.telegraph.co.uk/world-news/2023/12/28/idf-most-moral-army-in-the-world-says-netanyahu/)

Victim mentality Israel ini tak berbeda jauh dengan kecondongan yang terjadi pada sejumlah kasus korban pelecehan seksual, yang kelak justru menjadi pelaku pelecehan seksual.

[catatan: Di Indonesia, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 70 persen kasus menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami pelecehan seksual saat kecil kelak justru menjadi pelaku pelecehan saat dewasa. Ini terjadi karena adanya distorsi kognitif dalam mekanisme pertahanan mental korban pelecehan, sehingga korban menyimpulkan bahwa untuk mencegah terulangnya rasa sakit/trauma, dia harus menjadi orang kuat, menjadi orang dominan yang tanpa disadarinya itu membuat korban akhirnya jadi pelaku]

Dalam kasus Israel, awalnya dia adalah korban penindasan (Nazi-Hitler), namun kemudian dia berubah jadi penindas (Palestina).

Menurut Gabor Mate, tanda-tanda dari pikiran traumatik adalah merasa melihat adanya bahaya pada hal-hal dimana bahaya itu sebetulnya tidak ada, sehingga pikiran seperti itu membenarkan tindakan apapun (bahkan yang ekstrem) atas nama proteksi diri dari bahaya.

Gabor Mate mengungkapkan, studi neuroimaging (penginderaan otak) telah menunjukkan bahwa bagian otak bernama Amigdala, yang berbentuk kacang almond, berukuran lebih besar pada orang-orang dengan pandangan politik-ideologis sayap kanan (fasisme) seperti Hitler dan Benito Mussolini (diktator Italia).

PM Israel saat ini Benjamin Netanyahu dan para sekutu pendukungnya di pemerintahan saat ini disebut BBC.com sebagai kelompok sayap kanan dan kanan ekstrem (far-right wing).

Gabor Mate bahkan menyebut sikap dan perilaku Donald Trump mencerminkan banyak kemiripan dengan ciri-ciri mentalitas fasistik, yang antara lain merasa memiliki keagungan (grandiositas), kebohongan yang menghipnotis, impulsif tak terkendali, oportunisme yang licik, raja tega, dan penghinaan yang sangat besar terhadap negara lemah.

JD Vance, senator AS yang kini jadi wakil Trump, delapan tahun lalu pun pernah mengatai Trump sebagai Hitler-nya Amerika (baca: https://www.reuters.com/world/us/jd-vance-once-compared-trump-hitler-now-they-are-running-mates-2024-07-15/)

“Struktur Amigdala lebih aktif pada orang yang lebih menyukai otoritas protektif dan menyimpan kecurigaan terhadap orang luar dan orang yang berbeda,” demikian Gabor Mate.    

Semua Berpotensi Nazi

Ia pun mengingatkan bahwa mentalitas fasisme tidaklah lenyap seiring runtuhnya Nazi-Hitler. Fasisme juga tidak secara spesifik hanya terjadi di Jerman atau Italia dengan tampilnya Hitler dan Benito Mussolini.

“Berkembang suburnya fasisme juga bukan semata-mata karena pengaruh iklim politik-ekonomi-ideologis yang ganas di suatu negara.  Tapi, munculnya fasisme bisa terjadi juga karena peran faktor-faktor psikologis. Sebab, dinamika emosional fasisme dapat terjadi dalam jiwa sebagian besar manusia. Dalam jiwa kita masing-masing terdapat potensi (jadi) Nazi ,” demikian ungkap Gabor Mate, mengutip pernyataan Edith Eger, seorang penyintas Holocaust.

Psikologi fasisme yang antara lain ditandai dengan adanya ekstremitas dalam kebencian, kemarahan, ketakutan, narsisme dan penghinaan terhadap pihak lain, menurut Gabor Mate bersumber dari trauma berat.

Gabor Mate menilai, sesungguhnya ada persamaan pengalaman pahit antara yang menimpa kaum Yahudi selama Holocaust dengan yang terjadi pada warga Palestina selama ini. Artinya, kondisi tersebut semestinya membuka mata Israel, dan menyadarkannya untuk berempati serta proaktif menciptakan perdamaian dengan Palestina.

"Orang-orang Palestina (Hamas) menggunakan terowongan? Begitu juga para pahlawan saya, para pejuang (Yahudi) di Ghetto Warsawa yang bersenjata seadanya (saat melawan Nazi-Hitler)," kata Gabor Mate.

Tentu saja, penyelesaian masalah Israel-Palestina harus melibatkan dua belah pihak. Namun, Gabor Mate memberi penekanan pada Israel, karena –menurutnya-- Israel dan Palestina tidak bisa dibandingkan secara berhadap-hadapan.

Pertama, komparasi kekuatan Israel dan Palestina sangatlah jomplang. Palestina ibarat si kecil David, dan Israel adalah raksasa Goliath. Kedua, Gabor Mate melihat Israel yang memulai konflik itu lewat gerakan Zionisme-nya, sehingga negara itu seharusnya lebih dulu proaktif mengambil langkah perdamaian.

Namun kenyatanyaanya, sampai sekarang Israel terus menggunakan alasan pengalaman historis yang traumatik itu untuk membenarkan bahwa mereka justru korban yang harus dipedulikan. 

“Perasaan (sebagai korban) tersebut dibangun (Israel) dengan menggunakan Holocaust dan penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi di masa lalu sebagai pembenaran moral sikap keras mereka terhadap Palestina,” kata Emad S. Moussa, pakar psikologi politik dan konflik sosial Israel-Palestina dari Bournemouth University, Inggris.

Identifikasi berlanjut sebagai korban ini jadi makin absurd jika melihat kondisi di lapangan bahwa sebetulnya justru kian banyak warga Palestina yang nyata-nyata jadi korban Israel. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa warga Palestina direnggut, terluka parah, terusir dan hidup menderita oleh pendudukan Israel hingga sekarang.

Selama ini Israel mengatakan bahwa yang dilakukannya terhadap rakyat Palestina adalah pembelaan diri; sedangkan perlawanan rakyat Palestina yang wilayahnya dirampas, dipandang Israel sebagai kelanjutan dari sentimen Antisemitisme –sebagaimana yang dulu dikobarkan oleh Nazi-Hitler terhadap warga Yahudi.

Antisemitisme adalah prasangka buruk, kebencian, atau diskriminasi terhadap orang Yahudi sebagai kelompok etnis, agama, atau ras.

Intinya, Israel menganggap berbeda nyawa warga Yahudi yang melayang akibat Holocaust dan nyawa warga Palestina yang direnggut akibat pendudukannya. 

“Israel dibutakan oleh fakta betapa sesungguhnya sangat jomplang kekuatan militer yang dimiliki Israel dan yang dimiliki Palestina, sehingga tak masuk akal jika Israel masih saja menyebut sebagai korban, sedangkan perjuangan Palestina dianggapnya sebagai kelanjutan dari Antisemitisme,” ungkap Emad S. Moussa.

Bagaimana perjalanan Gabor Mate terbebas dari trauma berat Holocaust, dan bahkan berhasil melampaui trauma itu dengan  membongkar ”jeroan” trauma beserta dampaknya melalui studi intensnya dalam ilmu kejiwaan?

Ikuti ulasannya di tulisan berikutnya.(bersambung)

Referensi:

1. https://drgabormate.com/beautiful-dream-israel-become-nightmare/

2. https://newmatilda.com/2023/12/07/holocaust-survivor-dr-gabor-mate-on-israel-and-its-ongoing-atrocities/

3. https://blogs.timesofisrael.com/reflections-on-israels-victim-mentality/

4. https://www.theguardian.com/commentisfree/article/2024/sep/06/authoritarianism-roots-origin

5. https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2023/apr/12/the-trauma-doctor-gabor-mate-on-happiness-hope-and-how-to-heal-our-deepest-wounds
6. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3181836/?utm_source=chatgpt.com

7. https://www.youtube.com/watch?v=aakyE1Ulci8 (Gabor Maté: Gaza, Zionism, and the ‘exploitation’ of Jewish trauma | The Take – Al Jazeera English)
 

*) oleh: Sunarko, Freelance Writer.

 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.