https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Toleransi dalam Ramadan

Selasa, 02 April 2024 - 09:59
Toleransi dalam Ramadan Mohamad Baihaqi Alkawy, LTN NU NTB

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Momentum puasa ini meski dilandasi semangat untuk melaksanakan ritual yang didasari oleh nilai yang hendak digapai. Tanpa nilai apalah arti sebuah ritual, suatu kemasan atau bentuk peribadatan. Bila diibaratkan sebagai buah, ritual hanya kulit sedang nilainya adalah isi yang hendak dicapai. Nilai puasa salah satunya sebagai momentum yang tepat untuk meneguhkan kembali komitmen terhadap toleransi antar pemeluk agama dan sesama warga negara.

Mengapa demikian? Kita tahu, ritual puasa mengajarkan bagaimana pentingnya cinta kasih dalam melihat sesama manusia yang diejawantahkan dalam anjuran untuk mengikis ambisi pribadi, mengasah kepekaan sosial dan melalui zakat fitrah. 

Puasa sejatinya juga merupakan manifestasi sikap egaliter dalam entitas kehidupan sosial. Ketika rasa lapar dan haus mendera, orang kaya maupun orang miskin merasakan keadaan yang sama.
Pada saat yang sama, puasa sebetulnya tengah mengasah sikap kasih terhadap sesama melalui proses penumbuhan dan penyuburan nurani kemanusiaan. Inilah yang mengikat kemanusiaan kita sebagai umat beragama. Sebagai simbol pengabdian, puasa melatih ketulusan dan totalitas kepada Sang Khalik sehingga muncul kepekaan nurani yang senantiasa peka menangkap rintihan suara kaum fakir. 

Momentum puasa juga memiliki peran yang menguatkan ukhuwah sekaligus dapat membangun ruang terbuka bagi pemeluk agama lain untuk terlibat. Pemeluk agama lain tak mesti bersikap pasif menghadapi momentum ritual setiap agama. Dengan begitu akan tercipta nuansa kekeluargaan dan persaudaraan yang menjadi landasan esensial warga negara yang sekaligus memiliki nilai spritualitas yang tinggi.

Secara sosial dampak pelaksanaan ritual suatu agama akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Misalnya hari libur nasional, suara peribadatan di corong-corong tempat ibadah, lebih-lebih suasana di setiap jalan raya. Di balik ritual puasa misalnya terbuka bagi umat muslim untuk melaksanakan buka puasa bersama, berbagai takjil bersama. Sikap semacam ini muncul ketika umat beragam mampu merangkul yang lain untuk bersama-sama merayakan setiap momentum ritual untuk kerukunan sebagai makhluk sosial.

Segala aktivitas di bulan puasa tak sekadar mengukuhkan solidaritas dan persaudaraan internal kelompok, tetapi secara luas persaudaraan yang universal. Kesejukan antar pemeluk agama yang mengikat jalinan kemanusiaan kita. Pada konteks itulah, momen puasa diharapkan mampu memberikan kesejukan yang dapat mendorong ke arah perdamaian. Tentu memperbaiki laku sosial merupakan kunci utama dalam membangun relasi sosial yang lebih hangat. 

Oleh sebab itu, yang dibutuhkan oleh setiap pemeluk agama tak lain adalah sebuah momentum untuk sama-sama bekerja atas nama persaudaraan. Tentu dengan kesadaran yang kuat dari setiap pemeluk agama untuk turun menyingsing lengan baju, menjadikan momentum ritual sebagai sarana menyatukan diri secara sosial. Lantas berdampak terhadap praktik toleransi yang selama ini diajarkan semenjak duduk di bangku sekolah dasar.

Dengan kata lain, puasa mengajarkan empati sebagai bagian dari totalitas ketakwaan. Relasi sosial dapat mencapai fase “paripurna” bilamana setiap manusia dalam kehidupan sosialnya mampu menumbuhkan kepekaan terhadap rasa sakit dan derita yang dialami sesamanya. Nilai semacam itu dapat dimaknai sebagai pelajaran “mahal” dari doktrin puasa. Karenya toleransi bukan sekadar konsep, melainkan laku yang mesti mengakar dalam nilai-nilai sosial-religius masyarakat. 

Dari itu, bentuk nyata secara praktis-implementatif dari praktek toleransi hanya mungkin terjadi bila secara langsung setiap pemeluk agama punya partisipasi aktif yang dilaksanakan ketika melaksanakan spiritualitas ibadah pemeluk agama yang berbeda. Pelaksanaan ritual keagamaan akan selalu bersentuhan dengan pemeluk agama lain. Pada titik ini, bulan puasa dapat diletakkan sebagai stimulus yang menguatkan kondisi psikologis umat Islam agar berbuat atau mengamalkan apa-apa yang diperintahkan serta meninggalkan apa-apa yang dilarang. 

Sikap toleran, menghargai dan menjaga kerukunan merupakan sikap yang mesti dijalankan dalam pergaulan sehari-hari. Keakraban sosial meniscayakan suatu pertemuan pelbagai budaya, agama, etnik, dan suku dalam satu arena. Karenanya, peringatan besar ini patut dijadikan suatu gerakan bersama untuk berdialog dan merayakan pluralisme. Ramadan menjadi semacam arena sekaligus metode untuk mendidik umat beragama menjadi baik dengan mengendalikan seluruh amarah dan nafsu. 

Ritual puasa memberikan kesadaran objektif khususnya bagi umat Islam untuk merajut toleransi dan kerukunan antar sesama manusia khususnya sebagai warga negara. Proses semacam ini lah yang dapat mengantarkan kita lebih dekat kepada apa yang disebut sebagai kesalehan sosial (antroposentis). Nilai-nilai universalitas puasa dapat meruntuhkan sekat-sekat eksklusif dalam beragama sekaligus memangkas pelbagai laku diskriminatif. 

***

*) Oleh : Mohamad Baihaqi Alkawy, LTN NU NTB

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.