TIMES JAKARTA, SURABAYA – Wacana pemekaran Pulau Sumbawa kembali bergulir. Narasinya terdengar familiar: pemerataan pembangunan, percepatan layanan publik, dan penguatan identitas lokal. Namun, di balik idealisme itu, tersembunyi ambisi politik yang tidak bisa diabaikan perebutan kekuasaan baru oleh elit lokal.
Indonesia sudah kenyang pengalaman dalam hal pemekaran wilayah. Sejak era reformasi, lebih dari 200 daerah otonom baru terbentuk. Nyaris semuanya mengusung semangat desentralisasi dan kesejahteraan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemekaran sering gagal meningkatkan layanan publik, dan justru memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi.
Pulau Sumbawa, yang terdiri dari lima wilayah administratif (Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima), memang menyimpan potensi konflik kepentingan dan identitas. Ketimpangan alokasi anggaran antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa bukan isapan jempol. Tapi, apakah jawaban atas persoalan itu adalah menciptakan provinsi baru?
Pemekaran tidak otomatis menyelesaikan masalah. Ia justru sering memunculkan problem baru: duplikasi birokrasi, pembengkakan anggaran, tarik-menarik pusat pemerintahan, hingga konflik antarwilayah. Belum lagi risiko kooptasi birokrasi oleh oligarki lokal yang menjadikan daerah baru sebagai arena feodalisme modern.
Lebih problematik jika pemekaran didorong oleh sentimen identitas. Ketika pemisahan wilayah disokong oleh logika “kami” versus “mereka” antara Sumbawa dan Bima misalnya maka yang muncul bukan harmoni, melainkan fragmentasi sosial yang berbahaya.
Elit politik lokal tentu punya kepentingan dalam setiap pemekaran. Provinsi baru berarti jabatan baru: gubernur, ketua DPRD, hingga proyek-proyek pembangunan yang bisa dikapitalisasi secara politik. Di banyak daerah, pemekaran lebih menyerupai ladang kekuasaan ketimbang strategi pembangunan jangka panjang.
Pemerintah pusat seharusnya berhati-hati. Moratorium pemekaran wilayah yang sempat diberlakukan sebaiknya tetap dipertahankan hingga ada desain besar pembangunan daerah yang utuh dan berkelanjutan. Rakyat Pulau Sumbawa memang butuh keadilan, tapi keadilan tidak selalu harus datang dalam bentuk pemekaran. Yang lebih dibutuhkan adalah keberpihakan anggaran, investasi infrastruktur, dan birokrasi yang bersih serta hadir di tengah rakyat.
Tanpa itu, pemekaran hanya akan menjadi etalase demokrasi palsu indah dari luar, rapuh di dalam. (*)
Oleh: Arifudin (Mahasiswa S3 Unitomo Surabaya)
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : xxx |
Editor | : Deasy Mayasari |