TIMES JAKARTA, JAKARTA – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dividen adalah bagian laba atau pendapatan perusahaan yang besarnya ditentukan oleh direksi dan disahkan oleh rapat pemegang saham untuk dibagikan kepada pemegang saham.
Dalam konteks perpajakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Pasal 4 Ayat (1) tentang Pajak Penghasilan (yang telah beberapa kali diubah hingga terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008), penghasilan mencakup setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak, baik dari dalam maupun luar negeri. Penghasilan ini bisa digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan, tanpa melihat nama dan bentuknya.
Dividen sebagai Objek Pajak
Dividen merupakan objek pajak karena dianggap sebagai laba usaha yang dibagikan kepada pemegang saham sesuai jumlah saham yang dimiliki.
Bahkan, dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi termasuk dalam kategori ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Huruf g UU PPh.
Namun, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), pemerintah memberikan peluang bagi investor untuk memperoleh dividen bebas pajak. Kebijakan ini berlaku dengan syarat tertentu, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021.
Syarat Dividen Bebas Pajak
Melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021, dividen dapat dikecualikan dari objek pajak jika memenuhi beberapa syarat, antara lain:
- Dividen dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi wajib diinvestasikan di Indonesia minimal selama tiga tahun.
- Dividen luar negeri yang diterima wajib diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lain di Indonesia dalam periode tertentu, dengan ketentuan setidaknya 30% dari keuntungan setelah pajak diinvestasikan.
Jika syarat investasi tidak dipenuhi, Wajib Pajak Orang Pribadi harus membayar Pajak Penghasilan (PPh) final dengan tarif 10%.
Perubahan Sebelum dan Sesudah UU Cipta Kerja
Sebelum UU Cipta Kerja, dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dikenai PPh final sebesar 10 persen, yang langsung dipotong oleh perusahaan pemberi dividen. Perusahaan tersebut berkewajiban menyetorkan pajak tersebut dan melaporkannya melalui SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2) dengan bukti potong yang disiapkan.
Setelah UU Cipta Kerja, untuk dividen yang tidak diinvestasikan, Wajib Pajak Orang Pribadi harus menyetorkan sendiri PPh final tanpa potongan oleh perusahaan. Penerimaan dividen harus dilaporkan dalam SPT Tahunan, meskipun PPh final tidak perlu dilaporkan di SPT Masa.
Untuk mempermudah pengisian dan pelaporan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menyediakan aplikasi e-bupot unifikasi, yang mencakup pelaporan untuk Pasal 4 Ayat (2), Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26.
Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem perpajakan yang adil, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta mendorong pemulihan ekonomi melalui investasi. (*)
* Oleh: Isnani Hidayati, Penyuluh Pajak Ahli Muda KPP Pratama Pasuruan
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |