Kopi TIMES

Perlawan Perempuan Ala RA. Kartini di Hari Kartini

Rabu, 21 April 2021 - 14:33
Perlawan Perempuan Ala RA. Kartini di Hari Kartini Ruchman Basori adalah Kasubdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI

TIMES JAKARTA, JAKARTABUKAN semata sanggul dan kebaya. Bukan pula balutan kain jarit yang melilit di pinggang, dengan jalan lemah gemulai representasi dari perempuan jawa yang mempesona. Tetapi jauh dari itu adalah sosok langka yang hidupnya layak menjadi suri tauladan, tidak hanya kaum perempuan tetapi siapa saja yang hidup di abad penuh perjuangan itu.

Mungkin di masa pandemi Covid-19 ini, tak ada pawai, tak ada baris berbaris dan tak ada kontes budaya ala aksesoris perempuan jawa. Saatnya melihat sisi substantif lain dari sosok priyayi jawa yang telah membuka kesadaran untuk bangkit melawan tradisi dan tirani.

142 tahun yang lalu, tepat pada tanggal 21 April 1879, tokoh pelopor kebangkitan perempuan Pribumi-Nusantara lahir. Diberi nama Raden Ayu Kartini yang sampai kine terkenal dengan nama Raden Ajeng Kartini.

Perempuan yang lahir di Rembang Hindia Belanda ini, tidak berumur panjang. Pada tanggal 17 September 1904, kira-kira berumur 25 tahun wafat, meninggalkan goresan tinta sejarah, yang memperjuangkan wanita agar mendapatkan kebebasan, otonomi dan persamaan.

Berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi Bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. 

Dalam Wikipedia disebutkan, Kartini mahir berbahasa Belanda. Di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Beberapa kali, Kartrini mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.

Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum.

Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Selain itu, Kartini juga membaca De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus dan karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda, demikian tulis ensiklopedi yang kita baca dengan apik.

Perlawanan Ala Perempuan

Zaman di mana kebebasan menjadi barang mewah, sosok Raden Ajeng Kartini sungguh telah menjadi simbol penting perlawanan seorang perempuan. Bukan senjata, meriam atau bambu runcing yang ia harus panggul, tetapi perjuangan untuk menyatakan bahwa kaumnya tidak layak dikekang, tradisi yang membelenggu dan nasib yang memberikan status hanya sebagai "konco wingking".

Baginya perempuan bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum lelaki. Termasuk perjuangan yang tertulis dalam prasasti sejarah adalah mendidik perempuan untuk membaca dan menulis. Sebuah revolusi pendidikan agar sesorang melek huruf, melek informasi dan kelak menjadi pencipta peradaban.

Buta huruf harus dilawan. Salah satunya dengan turun langsung melatih kaum perempuan yang waktu itu dianggap tak perlu harus mendapatkan layanan pendidikan seperti laki-laki. Huruf demi huruf dirangkai, kata demi kata dibaca dan akhirtnya mereka terampil membaca. Sebuah revolusi mentalitas yang sulit dicarikan padanannya.

Jika kita membaca surat-suratnya yang ditujukan kepada koleganya di Belanda yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang", jelas Kartini adalah seorang pejuang. Berjuang dengan tulisan, yang pada waktu seperti sekarang ini saja, menulis menjadi sesuatu yang dianggap sulit. Tradisi menulis tentu sebuah pilihan yang brilian, karena kemampuannya menguasai bahasa Belanda.

Bukan perjuangan yang mudah di tengah tekanan kebangsawanan. Tidak mudah merobohkan tembok keangkuhan, dimana seorang anak perempuan tidak boleh memilih pasangan hidupnya. Otonomi diri dan kaumnya benar-benar terampas pada sebuah keyakinan bahwa perempuan layak dipaksa dan tidak boleh menentukan nasibnya sendiri.

Harus Menitis

Perjuangan Kartini harus menitis pada perempuan millennial saat ini. Tentu dengan pemaknaan yang lebih substantif-strategis tidak semata-mata simbolik. Perjuangannya tidak boleh pupus, karena belenggu akan datang kapan saja dan dimana saja ketika tak ada keseimbangan dan perlawanan.

Apa yang diperjuangkan dengan susah payak oleh perempuan asli Jepara ini, tak boleh hanya lintasan sejarah yang kita baca berulang tanpa makna. Apalagi hanya menyederhanakan makna peringatan hari lahirnya dengan segala hal aksesoris budaya. Tetapi harus lebih dari itu sebagai sebuah kesadaran tentang emansipasi.

Kesadaran untuk melakukan perubahan bahwa perempuan tak boleh dinafikan eksistensinya dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan. Ketika Kartini mampu membangkitkan semangat kaumnya untuk membebaskan diri dari buta huruf, buta aksara yang akhirnya menjauhkan diri dari peradaban.

Semangat perjuangan Kartini juga harus diwujudkan dalam rangka melawan buta aksara, keterbelakangan dan kebodohan. Membaca dengan demikian menjadi kata kunci di tengah-tengah kita menghadapi daya baca bangs aini belum menggembirakan.

Kondisi minat baca bangsa Indonesia dinilai cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Namun demikian Hasil Kajian Indeks Kegemaran Membaca yang dilakukan Perpusnas (2020) yang melibatkan 10.200 responden di 34 provinsi, menunjukan hasil minat baca Indonesia masuk dalam poin 55,74 atau sedang. Hal ini tentu harus mendapatkan perhatian serius yang perlu diimbangi dengan peningkatan budaya literasi.

Dengan demikian sosok Kartini telah memberikan pelajaran yang sangat mendalam. Betapa bangsa ini harus terus melakukan perubahan, salah satunya melalui semangat membaca dan menulis dalam arti yang luas. Di era millennial seperti sekarang ini semangat dan nilai Kartini harus ditranformasikan ke dalam semangat kita untuk melakukan semangat literasi digital.

Kartini memang telah tiada, tetapi semangat dan nilai-nilainya tak boleh padam, di tengah persaingan yang penuh tantangan. RA Kartini harus menitis kepada jiwa generasi muda agar bangsa ini sadar, bahwa kita mempunyai pejuang hebat dizamannya untuk melakukan revolusi pendidikan dan emansipasi perempuan.Wallahu a’lam bi al-shawab.

***

 

* Penulis Ruchman Basori adalah Kasubdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI dan Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Kaderisasi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Imam Kusnin Ahmad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.