TIMES JAKARTA, JAKARTA – Transformasi teknologi yang pesat telah menggiring kemajuan dalam berbagai sendi kehidupan. Perdagangan menjadi salah satu aspek yang tidak terlepas dari kemajuan sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Transaksi jual beli yang mulanya dilakukan dengan metode konvensional pada era hari ini dapat dilakukan secara online.
Begitupun dengan metode pembayaran yang sudah tidak membutuhkan lagi pihak ketiga secara tidak langsung. Sekarang, metode pembayaran dapat dilakukan secara langsung melalui uang elektronik (e-money). Mengutip apa yang disampaikan oleh (Makarim, 2013) transaksi perdagangan kita polanya mengarah pada one-step shopping. Ditujukan dengan kesepakatan transaksi mencakup: arus informasi, arus uang dan arus barang.
Sementara dari sudut pandang historis kekuatan platform digital dimulai dari adanya kolonialisasi virtual. Dimana pada Desember 1991 High Performance Computing Act, mengubah internet yang sebelumnya terbebas dari akumulasi kapitalistik, menjadi arena dimana ada penciptaan nilai. Fenomena tersebut yang kemudian disebut Greenstein sebagai “Komersialisasi Internet” (O’Mara, 2020).
Menariknya model bisnis platform digital berkembang pesat kurang dari dua dekade setelah adanya “shareholder revolution”. Seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi digital mendorong lahirnya platform kegiatan ekonomi berbasis jaringan internet yang disebut dengan Electronic Commerce (E- Commerce) (Remy, 2001).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Onno W. Purbo dalam (Purwaningsih, 2010) bahwa e-commerce adalah paket rangkaian dinamis antara aplikasi, teknologi dan proses bisnis yang didalamnya tergabung perusahaan dan konsumen melalui transaksi elektronik informasi dan perdagangan. Lalu kemudian disederhanakan sebagai suatu bentuk transaksi jual beli yang terjadi melalui jaringan internet.
E-Commerce menawarkan efektivitas dan kemudahan dalam menjalankan transaksi perdagangan. Karena sebab itu kemudian penggunaan e-commerce di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Realitas tersebut tentu juga memicu geliat tumbuhnya pelaku usaha pada sektor yang bersangkutan. Dengan kondisi yang demikian tentu juga berdampak pada aspek persaingan usaha menjadi semakin kompetitif.
Pada konteks ini persaingan usaha sebenarnya menjadi sebuah keharusan dalam dunia bisnis. Dengan begitu pelaku usaha akan terus berinovasi dalam menghasilkan produk dengan harga yang bersaing agar menguntungkan konsumen maupun produsen (Kagramanto dkk, 2017). Namun bentuk persaingan usaha menjadi penting diperhatikan agar tetap dalam koridor yang sehat dan wajar dan tidak menimbulkan praktik monopoli.
Monopoli menurut Pandangan Para Tokoh
Secara historis, monopoli telah diterjemahkan oleh para ekonom klasik sebagai suatu kutukan pasar, yang diperlihatkan dari apa yang disebut dengan kegagalan pasar. Dalam perjalanannya monopoli di cap sebagai sebuah kejahatan karena dapat merusak kekuatan ekonomi sama halnya dengan pencurian dan perpajakan. Namun sayangnya dengan rela memelihara monopoli secara tidak sadar dan tidak sengaja. Tanpa memperhatikan efek dari tumbuhnya ekonomi monopoli.
Sementara itu pada era kontemporer monopoli disebut sebagai suatu kondisi inefisiensi. Suatu kondisi yang memaksa adanya mis-alokasi sumberdaya, dengan terlalu sedikitnya sumberdaya dalam industry yang dimonopoli dan terlalu banyak sumberdaya yang digunakan untuk mengurangi pasar yang kompetitif.
Smith, serta ekonom klasik lainnya, tidak menggunakan kata monopoli secara eksklusif untuk mencirikan penjual tunggal barang atau jasa yang dilindungi. Sebaliknya,
Monopoli diterjemahkan secara lebih longgar ke perusahaan mana pun yang mampu menaikkan harganya di atas biaya produksi, atau pendapatan di atas apa yang diperlukan untuk mempertahankan sumber daya dalam pekerjaan mereka saat ini. Smith menggunakan monopoli untuk menggambarkan setiap perusahaan yang mampu membatasi penjualan dengan maksud menaikkan harganya, selain itu juga berlaku untuk perusahaan yang dilindungi oleh kebijakan pembatasan impor dan, sebagai akibatnya, mampu meningkatkan harga mereka di atas tingkat kompetitif.
Sementara itu Bastiat tidak lebih menghormati monopoli, terutama yang dibuat oleh pemerintah, seperti yang dilakukan Smith. Bastiat menempatkan monopoli di antara daftar “kejahatan masyarakat” yang terus berubah, bersama dengan perang, perbudakan, praktik tidak etis, teokrasi, kolonialisme, penipuan, perpajakan yang tidak adil dan hak istimewa. Bastiat berpandangan bahwa Perang memusnahkan banyak nilai, Perbudakan melumpuhkan banyak kemampuan. Teokrasi mengalihkan banyak energi ke arah tujuan yang kekanak-kanakan atau merugikan.
Monopoli juga memindahkan kekayaan dari satu kantong ke kantong lain, tetapi banyak yang hilang dalam prosesnya. Marx pun demikian, meski tidak banyak bicara tentang monopoli itu sendiri. Namun, ia berbagi keluhan layaknya Smith dan Ricardo bahwa banyak perusahaan mampu mengekstrak lebih dari nilai surplus kompetitif karena mereka sering dilindungi dari persaingan.
Sementara itu disisi lain Alfred Marshall sebagai salah satu pencetus prinsip ekonomi, menawarkan sebuah pandangan lain terkait monopoli. Marshall mengartikan suatu persaingan usaha sebagai economic freedom. Dimana kebebasan ekonomi diartikan sebagai sebuah makna positif persaingan usaha sebagai upaya mencapai titik equilibrium (Ningrum, 2004).
Senada dengan hal tersebut Bagi Schumpeter, monopoli adalah pengumpul dana investasi, yang menjadikannya sumber inovasi baru yang pada akhirnya memicu proses penghancuran kreatifitas bagi pesaing lainnya, yang sebagian di antaranya adalah pencomotan monopoli yang ada dengan yang baru.
Istilah Monopoli telah digunakan untuk menggambarkan suatu hak keistimewaan yang dimiliki suatu perusahaan. Dengan kondisi tersebut tidak ada orang lain yang memiliki akses hak-hak dengan tidak melalui pemilik akses tersebut. Atau dalam arti lain monopoli telah digunakan untuk mencirikan perusahaan bisnis besar yang dominan.
Kondisi tersebut yang kemudian memungkinkan kapasitas mereka untuk mencari keuntungan secara maksimum. Namun dalam perkembangannya kontemporer ini monopoli juga digunakan untuk menggambarkan perusahaan yang telah mampu menaikan harga mereka serta tingkat produksinya melalui perlindungan pasar berupa hak cipta, tarif dan merek.
Persaingan Usaha pada Era Industri Ekonomi Digital
Dalam konteks era ekonomi digital saat ini tentunya tidak terlepas dari praktik persaingan usaha secara umumnya. Beberapa perusahaan seperti Microsoft pernah melakukan praktek anti-kompetitif, terhitung Microsoft mampu memonopoli pasar OS untuk Personal Computer (PC) berbasis Intel (Putu, 2017).
Selain itu Microsoft juga melakukan pengikatan (tying) terhadap produk peramban internet dan sistem operasi miliknya. Ada juga Apple ketika meluncurkan iPad pada April 2010, menjalin kesepakatan Price Fixing dengan lima penerbit besar (Gilbert, 2015).
Jika mengacu pada pendapat (McKenzie, 2001) setidaknya ada dua keunikan ekonomi digital dibandingkan dengan micro-ekonomi lainnya. Pertama, adalah perihal Network Effect yakni suatu hubungan antara nilai inframarginal dan nilai marginal secara fungsional, serta jumlah satuan barang yang digunakan (Rogers, 2001). Network Effect secara tidak langsung memberikan pesan bahwa semakin banyak orang yang menggunakan produk, maka akan semakin banyak pula orang yang akan menggunakan produk.
Kedua, yakni persoalan Radical Scale Economics dalam hal produksi, yang berarti hampir semua biaya produksi adalah dimuka yang berarti harga marginal produksi nol (McKenzie, 2001). Sejalan dengan pendapat McKenzie (Jeffrey dan Thomas, 2001) memaparkan bahwa fundamental dari ekonomi digital adalah System and Network Effect, Biaya marginal rendah, software adalah barang tahan lama, dan transformasi teknologi yang pesat. Karena perbedaan karakteristik tersebut kemudian perlu metode khusus untuk mengukur kekuatan pasar memiliki varian yang berbeda-beda, serta model persaingan usaha yang berbeda-beda.
Sementara itu di sisi lain dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi besar tersebut membuka potensi terjadinya monopoli akibat dari penguasaan terhadap sistem jaringan seperti yang disampaikan diatas. (Evans and Gawer, 2016) menyatakan bahwa perluasan bisnis digital didasarkan pada penangkapan, penyimpanan, dan pemrosesan data dari jutaan pengguna melalui algoritma computer yang semakin canggih.
Dalam konteks ini dominasi platform digital didasarkan pada kontrol yang semakin meluas terhadap seluruh informasi yang relevan di masyarakat. Jika mengutip (Zuboff, 2015) monopoli yang terjadi merupakan hasil akumulasi aset yang bergantung pada dua faktor utama. Pertama Platform besar semacam Facebook, Google tiada hentinya berinvestasi dan menjaga domain pengetahuan dalam rangka memastikan dominasi dalam pemrosesan data, kecerdasan buatan dan komputasi.
Kedua, menjaga keunggulan teknologi secara terus menerus sehingga platform tersebut tidak terhindarkan bagi mereka yang memerlukan. Oleh sebab itu lah derajat dan keketatan kontrol atas ruang ekonominya pun meningkat secara pesat.
Fenomena inilah yang kemudian dalam analisis Schumpeter disebut sebagai suatu bentuk monopoli perusahaan melalui inovasi dengan memanfaatkan profit yang didapatkan untuk menggapai laba maksimum dan menghalangi pesaing lainnya yang ingin masuk ke pasar.
Sedangkan kacamata ekonomi kontemporer menyebutnya sebagai bentuk inefisiensi dimana terlalu banyaknya sumber daya yang digunakan sehingga berpotensi mengurangi keunggulan pesaingnya lainnya. Sehingga dalam konteks ekonomi digital monopoli bukan hanya menjadi cara untuk meraup laba saja, melainkan merupakan satu kunci utama pertumbuhan ekonomi untuk mendorong laju inovasi.
***
*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Publik FISIPOL Universitas Gadjah Mada, dan Pengurus PB PMII.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Platform Digital sebagai Potensi Pasar Monopoli Optimal
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |