Kopi TIMES

Papua Kepingan Surga yang Diperebutkan

Selasa, 20 April 2021 - 17:00
Papua Kepingan Surga yang Diperebutkan Edi Junaidi DS, Jurnalis TIMES Indonesia.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Monolog Cak Nun selalu kuat saat dirinya memberikan perumpamaan “jika surga sebentuk kantong air yang menetes, maka tetesannya itu adalah Indonesia,”. Kita tak usah ulas satu-satu mengenai kekayaan masing-masing daerah kita, itu akan melelahkan.

Satu kepingan yang paling menyita mata dunia itu adalah Papua. Ada banyak keragaman budaya di antara orang-orang ini. Bahkan penelitian Profesor California Univerisity Paul Ekman dalam rilis penelitiannya menghasilkan bawah Papua adalah The last honest person on earth atau Papua adalah manusia terjujur terakhir yang disisakan di muka bumi ini. Dengan pola itu dia memetakan wajah seluruh bangsa di dunia ini, dan ternyata cocok.

Entomolog Asal Universitas Harvard Edrwad O. Wilson mengutarakan Papua, merupakan tantangan sekaligus firdaus bagi para pakar antropologi dan biogeografi. Daerah bergunung­ gunung yang kompleks telah memilah penduduknya, yang telah menghuninya selama sekitar 40.000 tahun, menjadi kelompok budaya dan bahasa yang paling beragam  di dunia.

Jauh sebelum manusia tiba, lokasi dan geologi pulau di katulistiwa ini telah menjadikannya satu dari beberapa wilayah yang secara biologis terkaya di bumi, baik di daratan, terumbu karang dan di pesisir lautannya. Bahkan Penjelajah Ricard Burton pada Tahun 1865 menuliskan satu puncak kebahagiannya saat dirinya bisa menyambangi pulau Papua, bagi dirinya merupakan berkah dari puncak semua karir penelitian dan penjelajahannya. 

Marshall (2012) mendata Papua merupakan habitat bagi 15.000-20.000 jenis tumbuhan (55% endemik), 602 jenis burung (52% endemik), 125 jenis mamalia (58% endemik), dan 223 jenis reptilia (35% endemik). Binatang dan tumbuhan endemik ini mencakup burung cenderawasih, kangguru pohon, ikan pelangi, beragam kupu-kupu dan ribuan tumbuhan dan binatang lainnya.

Di Papua Barat saja, ada lebih dari 250 bahasa yang berbeda lisan. Terlepas dari pertalian antara kedua sisi New Guinea, sebuah perbatasan ditarik ke tengah oleh kolonialis Eropa pada tahun 1895 dan 1910 secara resmi pisahkan mereka. Meskipun Inggris dan Jerman mengklaim bagian timur dan Belanda di barat, itu membuat sedikit perbedaan bagi penduduk asli.

Saltford (2003) mengutip sejarawan Belanda, Tulisan Meinisma pada tahun 1870-an, dasar klaim Belanda itu bertumpu pada hak atas wilayah yang diajukan oleh Sultan Tidore. Sejak Sultan adalah "pengikut" Belanda "yang bagian pulau itu diperhitungkan milik Hindia Belanda ”.

Pada kenyataannya, pengaruh Sultan hanya sebatas beberapa pemukiman pesisir di Semenanjung Kepala Burung, dan menurut  memorandum rahasia Inggris tentang masalah ini pada tahun 1884. Baru pada tahun 1898 sebuah administrasi nominal didirikan di bawah Residen Belanda di Ternate di Maluku.

Keputusan untuk mengelola wilayah dari Ternate dibuat hanya karena kehadiran Belanda dapat diabaikan di New Guinea tidak memerlukan administrasi terpisah di sana. Namun, pada tahun 1902 terjadi perdebatan sengit di parlemen Belanda apakah New Guinea harus memiliki anggaran terpisah dari Hindia Timur dan seterusnya dengan alasan bahwa itu adalah bagian dari "Polinesia" sedangkan yang terakhir adalah milik Asia.

Polemik di atas menjadi bukti otentik hahwa Papua istimewa dari era kolonialisme. Setelah mendeka lewat peran PBB hingga saat ini nuansa bahwa Papua dianggap terpisah dari entitas masyarakat Indonesia seolah melambung tinggi. Bermuara pada titik pengelolaan Sumber Daya Alam, wacana ketidakadilan seolah masih berembus.

Padahal pemerintah berusaha untuk menjawab keraguan tersebut. Salah satu mencengangkan ialah keberanian Pemererintahan Jokowi dalam membuka akses jalan Papua Barat sepanjang 1.070,62 Km, dan di Papua dengan panjang total 3.259,46 Km.

Pembangunan jalan ini telah diresmikan pada 2018 lalu. Secara berangsur distribusi barang yang menjadi satu kunci ketidak berimbangan harga dan pendapatan mulai terkurangi.

Mozaik dalam Pertentangan

Papua berpotensi menjadi lumbung pangan dunia, jika suatu ketika kondisi global kacau maka daerah otonomi khusus ini mampu membentuk cawan cadangan pangan dunia. Tetapi alasan ini justeru membuat Indonesia memiliki tanggung jawab luar biasa kepada Papua. Langkah pemerintah Indonesia selalu diserang dan dikoreksi oleh banyak media Asing.

Seolah pemerintah Indonesia dianggap salah mengambil langkah. Dari sisi ini ada pengertian yang tidak sampai ke publik bahwa posisi Indonesia dijadikan pertaruhan agar lalai dalam melakukan penjagaan atas wilayahnya yakni Papua. 

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP) seringkali menjadi narahubung pada media asing yang menguapkan isu bahwa pemerintah Indonesia melakukan tindakan ketidakadilan. Saat pihak keamaan Indonesia mencoba melakukan preventif pengurangan akses jaringan agar pemberitaan miring soal penaganangan dan pengamanan Papua tidak dipelintir sejumlah media asing dan aktifis kemanusia mengkritik dengan dasar HAM. 

Kita mesti melihat lebih terang bahwa kita tidak boleh hanya berpatri pada aspek yang dibicarakan dari luar mengani Papua. Kita juga harus mengerti bahwa ikatan nasionalisme jauh lebih dalam sudah berada di Papua. Saat posisi kedaulatan diragukan, maka wacana untuk memisahkan mozaik Papua dari pangkuan Indonesia seolah direstui padahal pendapat itu bertolak belakang dari keinginan kita sebenarnya untuk melihat NKRI tetap utuh.

Perbedaan pandangan itu hal biasa, jika kita merunut pada peritiwa kembalinya Papua Barat ke Bumi Pertiwi, masyarakat Papua sudah memilih jalannya sebagai daerah yang akan tetap Istimewa. Saat tekanan kolonialisme Belanda bersikukuh tetap memegang Papua, Indonesia meyakinkan Papua bahwa kekayaan alamnya hanya akan jadi objek ketamakan sebenarnya bukan merawat manusianya. Jaya selalu Papua, Kukuh terus NKRI!

***

*)Oleh: Edi Junaidi DS, Jurnalis TIMES Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Edy Junaedi Ds
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.