https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Hadiah Jokowi untuk 79 Indonesia: Hancurnya Demokrasi Kekuasaan, dan Eksploitasi

Minggu, 18 Agustus 2024 - 22:56
Hadiah Jokowi untuk 79 Indonesia: Hancurnya Demokrasi Kekuasaan, dan Eksploitasi Farid Abdullah Lubis, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jurnalis TIMES Indonesia

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Mungkin setiap tanggal 17 Agustus sejak 1945 sampai saat ini, bahkan beberapa tahun yang akan datang akan selalu hadir berbagai kritikan yang ditujukan untuk mengevaluasi kinerja para pejabat pemerintahan. Namun, pada 17 Agustus 2024 ini begitu benar-benar seperti berada di persimpangan jalan.

Di satu sisi, kemerdekaan merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Karunia ini bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, melainkan hasil dari perjuangan panjang yang berlangsung selama ratusan tahun. Setelah melalui berbagai penderitaan dan peperangan di berbagai wilayah, bangsa Indonesia akhirnya merasakan kebebasan pada 17 Agustus 1945.

Sejak saat itu, gegap gempita kemerdekaan meluas ke seantero Nusantara. Tentu tidak ada manusia Indonesia yang tidak senang dengan dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta, mengingat panjangnya penantian. Bahkan satu persatu bangsa-bangsa di dunia juga turut bahagia, serta mendukung dan mengakui kedaulatan Indonesia. 

Adakah negara lain yang merasa tidak puas dengan kemerdekaan Indonesia? Bukan hanya merasa tidak puas, tetapi kemerdekaan Indonesia dianggap sebagai bencana besar oleh beberapa pihak. Dalam hal ini, Belanda adalah negara yang tidak bisa menyembunyikan kecemasannya terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. 

Terlepas dari itu semua, perlu kita bermuhasabah diri, sebab, sejak hadirnya pembahasan tentang eskalasi politik yang cukup besar, sehingga mempertontonkan betapa bobroknya kualitas para pejabat pemerintahan saat ini. 

Mulai dari tingkatan daerah hingga Nasional, masyarakat dan beberapa kalangan telah menerka seperti apa ending dari kontestasi ditingkat Daerah pasca Pilpres 2024 lalu. Ya, bisa kita lihat dengan berbagai bumbu cawe-cawe yang dilakukan oleh oknum petinggi/elit pemerintahan.

Anomali Jokowi dan Pemerintahannya

Teruntuk Tuan dan Puan, Frasa "Kotak Kosong" saat ini menjadi sebuah konotasi yang mulai akrab ditelinga khalayak. Bukan sebuah hal baru, namun bisa jadi frasa itu membuat konotasi baru dalam dunia politik Indonesia.

Hemat analisis, dalam pemilihan kepala daerah, Kotak kosong sendiri adalah istilah untuk menyebut munculnya calon tunggal yang tidak memiliki lawan dalam pemilihan umum. Sehingga, dalam surat suara posisi lawan berbentuk kotak kosong. 

Namun, problematikanya adalah jumlah Pilkada dengan data kosong semakin meningkat. Dari hanya tiga daerah pada Pilkada 2015, jumlah tersebut meningkat menjadi sembilan daerah pada Pilkada 2017, kemudian 16 daerah pada Pilkada 2018, dan mencapai 25 daerah pada tahun 2020.

Ya, sepertinya kita akan melihat lebih banyak kotak kosong dalam Pilkada 2024 ini, sesuai arahan dan pesanan, mungkin. Bahkan, hal tersebut bisa menghadirkan antipati dari masyarakat sipil yang menolak praktik siasat kotak kosong. Tapi saat ini, banyak perbincangan mengenai upaya membentuk koalisi besar untuk mendukung calon gubernur dan wakil gubernur di berbagai daerah, terhangatnya di DKI Jakarta.

Fenomena itu membuat Jakarta tidak sendiri; peningkatan jumlah kotak kosong menunjukkan bahwa fenomena ini telah menjadi pola, yang mengindikasikan adanya kemungkinan rekayasa melalui pembentukan strategi besar, mungkin melibatkan pertukaran, tekanan, atau insentif antar kelompok berkepentingan.

Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana jika suara yang kosong tersebut mendapatkan lebih banyak dukungan? Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018, "jika suara untuk kolom kosong lebih besar, maka KPU akan mengatur penyelenggaraan pemilihan ulang pada pemilihan serentak berikutnya." 

Hemat penulis, jika mengacu dalam segmentasi pemilu hari ini, boleh jadi tujuan dari pemilu seyogianya bukan untuk menemukan yang paling baik, namun mencegah sesuatu hal buruk.

Tentu, itu akibat dampak dari para aktor politik yang semata berorientasi serta nafsu pada liang kekuasaan yang bisa jadi, nantinya kekuasaan itu disalahgunakan. Terlebih lagi, akan condong kearah kultur feodal. Apalagi, jabatan kepala daerah saat ini acap kali melahirkan bibit-bibit korupsi akibat jubah mewah kekuasaan yang dimilikinya.

Peristiwa saat Kemensetneg menyewa sedikitnya 1.000 unit Alphard seharga 25 Juta untuk kebutuhan pergerakan tamu negara dan dan tamu VVIP saat peringatan HUT ke-79 RI di IKN pun juga menimbulkan prahara dikhalayak. Sementara itu, di Ende, Nusa Tenggara Timur, para guru honorer hanya digaji Rp 250 ribu/bulan. 

Padahal guru-guru ini adalah aktor yang sangat penting peranannya untuk membentuk cikal-bakal sebuah generasi emas yang sejak debut ditelinga masyarakat Indonesia perihal gagasan Indonesia Emas 2045, sekitar pada tanggal 15 Juni 2023 lalu yang berlangsung di Djakarta Theater, Presiden Jokowi menekankan betapa pentingnya mengarahkan kapal besar bernama Indonesia untuk meraih visi besar Indonesia Emas 2045. 

Lantas, apa sebenarnya makna Indonesia Emas 2045? Sehemat pengetahuan penulis, hal tersebut merupakan sebuah visi ideal di mana bangsa Indonesia, setelah mencapai 100 tahun kemerdekaan dari tahun 1945, menjadi negara maju dan termasuk dalam ekonomi terbesar dunia, serta memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Tentunya, gagasan ini bukanlah sekadar mimpi belaka. Menurut prediksi dari Pricewaterhouse Coopers (2017), Bank Dunia (2020), dan Goldman Sachs (2023), Indonesia diperkirakan akan menjadi negara terbesar keempat di dunia pada tahun 2050, setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Dengan catatan, semua pihak harus menerapkan idealisme “Gotong Royong” dengan baik dan berkomitmen disatu topik tersebut. 

Dikoridor lain, beberapa sumber yang didapat, ternyata selama tiga tahun menjabat sebagai Mendikbutristek, Nadiem Makarim memiliki kekayaan yang naik cukup signifikan sebesar Rp. 3,6 Triliun. Hal itu berbanding terbalik dengan 107 guru honorer yang diputus kontrak secara sepihak oleh DISDIK melalui sistem cleanshing.

Selama menjabat 10 tahun terakhir, Presiden Jokowi telah menggunakan kewenangannya untuk menerbitkan berbagai undang-undang yang pada nyatanya, dilaksanakan dengan serampangan dan melanggar berbagai prinsip demokrasi dan konstitusi. Seperti Penetapan Perppu Ormas, dimana siasat pembubaran ormas melalui Perppu merupakan praktek nyata abuse of power yang mengancam demokrasi. Dampaknya, terindikasi dengan pemberangusan kebebasan berpendapat dan hak untuk memeluk agama semakin terkekang. 

Kemudian, Pengesahan KUHP 2023 dan Pengesahan Revisi UU ITE, pengesahan KUHP baru yang katanya mendorong semangat baru sistem penegakan hukum pidana, nyatanya masih mempertahankan pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi dan mengkriminalisasi warga negara, terlebih lagi proses pembahasan tersebut KUHP ini berlangsung tertutup. 

Merdeka Adalah Ilusi

Jika membahas tentang “Kemerdekaan”, dari berbagai pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, apakah kita benar-benar merdeka? Rasanya tentu tidak. Pada pelaksanaan Upacara Kemerdekaan di Ibu Kota Nusantara lalu, Presiden Jokowi beserta para menteri yang hadir, elit pemerintahan, dan seluruh tamu undangan memamerkan berbagai pakaian adat dari semua daerah di Indonesia. 

Cukup menarik memang, dengan Presiden mengenakan baju adat Nusantara yang terinspirasi dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, yakni baju adat Kustim. Pakaian adat tersebut memiliki makna dalam sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara, yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur.

Namun, secara eksplisit, Simbol tersebut sama sekali tidak mencerminkan dukungan pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, terhadap masyarakat Dayak. Pemerintah tampaknya enggan melibatkan masyarakat Dayak dalam upacara kemerdekaan, yang biasanya hanya dihadiri oleh kalangan elit dan selebriti. Dengan demikian, apakah upacara tersebut benar-benar dapat disebut sebagai perayaan “Kemerdekaan” jika masyarakat yang merupakan pemilik tanah tidak dilibatkan dan tidak mendapatkan hak-haknya?

Masyarakat Adat Dayak suku Belik, yang telah mendiami wilayah Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sejak zaman penjajahan Jepang, kini harus kehilangan tempat tinggal mereka akibat pembangunan Ibu Kota Nusantara. Situasi serupa juga dialami oleh masyarakat Adat Dayak suku Paser, salah satu suku asli Kalimantan selain Kutai, Tidung, Banjar, dan Melayu. 

Lahan pertanian yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat adat Paser kini telah digusur oleh alat berat dan diubah menjadi kawasan pembangunan megah yang menyedot banyak dana rakyat. Di tengah proyek ambisius tersebut, masyarakat tetap menjadi korban.

Tidak hanya mengusir masyarakat adat Dayak Paser dan Dayak Belik, tetapi juga mengeksploitasi kebudayaan mereka dalam upacara kemerdekaan pertama yang diadakan di IKN. Pemerintahan Jokowi tampak menggunakan simbol-simbol budaya Dayak, seperti kesenian dan pakaian adat, sementara sekelompok masyarakat tersebut diabaikan demi kelancaran pembangunan IKN. 

Dalam konteks ini, Jokowi bisa dianggap seperti Mimikri Agresif, mirip dengan predator yang menyamar sebagai mangsanya untuk mempermudah aksi brutalnya. Kita perlu merefleksikan apakah bertambahnya usia kemerdekaan kita sejalan dengan penguatan hak-hak kemerdekaan kita atau justru sebaliknya. Jika kita cermat dalam menganalisis, di hadapan kekuasaan dan modal rezim Jokowi, sebenarnya kemerdekaan ini diperuntukkan bagi siapa?

Nawa Dosa Jokowi

Terakhir, disini penulis yang merupakan seorang pemuda dari Medan, Sumatera Utara yang mengenyam pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, merasa jika layak kita sematkan jika Presiden Jokowi benar-benar berhasil menyandang gelar 'King of Lip Service' karena Jokowi dan komplotannya dinilai sering mengobral janji manis tanpa realisasi nyata.

Sudah bukan rahasia umum, bahwa ada perubahan dari pemimpin kita dibandingkan dengan janji-janji awal pemerintahannya. Memang, seseorang bisa mengalami perubahan sikap ketika menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda. Dalam bahasa Jawa, perubahan sikap yang tiba-tiba ini dikenal dengan istilah Walik Grembyang.

Kita hidup di zaman di mana seseorang yang awalnya memiliki sifat mulia bisa tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sangat berbeda, fenomena ini dikenal dalam bahasa Jawa sebagai Walik Grembyang. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan perubahan drastis ini adalah kekuasaan. Ketika seseorang terlalu berkuasa, mereka mungkin menghadapi situasi di mana rakyat atau pendukungnya mulai menjauh, dan bahkan orang-orang yang berpotensi menjadi penerusnya pun bisa meninggalkannya.

Dikutip dari laman mahkamahrakyat.id, sidang ini digelar untuk mengadili pemerintahan Jokowi. Mulai dari perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat, komersialisasi, penyeragaman, dan penudukan sistem pendidikan. Lalu ada sistem kerja yang memiskinkan dan menindas pekerja, kekerasan, persekusi, kriminalisasi dan diskriminasi. 

Praktik KKN serta tindakan perlindungan koruptor. Selain itu ada pembajakan legislasi, kejahatan manusia, eksploitasi sumber daya alam dan program solusi palsu untuk krisis iklim. Serta yang terakhir praktik militerisme dan militerisasi. 

Untuk itu, Dirgahayu untuk Indonesia yang sudah menginjak usia 79 tahun. Namun, kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan oleh mayoritas masyarakat, dari hukum yang tumpul dan cenderung hanya memihak kepada penguasa, para petani yang belum mendapatkan hak dan masih jauh dari kata makmur, para guru honorer yang masih belum mendapatkan haknya, hutang negara yang terus melonjak, hutan-hutan terus digerus dan di eksploitasi sekelompok pemangku kekuasaan.

Para pegiat HAM yang juga belum menemukan jawaban dari makna sebuah Keadilan, dan semua kejahatan yang diwariskan oleh rezim jokowi beserta jajarannya. Lekas sembuh Ibu pertiwi, Tetaplah terbang tinggi garuda, semoga pada periode selanjutnya, Indonesia bisa menjadi negara yang kokoh dan mandiri, serta bisa mensejahterakan masyarakatnya, tanpa pilih kasih. 

***

*) Oleh : Farid Abdullah Lubis, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Jurnalis TIMES Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.