https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Politik Martabat Pegawai Mantan KPK Tidak Lolos TWK

Kamis, 07 Oktober 2021 - 13:13
Politik Martabat Pegawai Mantan KPK Tidak Lolos TWK George da Silva, Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Hingar bingar pemberitaan selama ini di televisi nasional, sejumlah media cetak, Media Sosial (Medsos), maupun pemberitaan media online tentang 57 mantan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Mereka berakhir pengabdian di KPK tanggal 30 September 2021. Berbagai polemik pro dan kontra, terlebih Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bersedia merekrut bagi 57 orang pegawai mantan KPK sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di kepolisian. Apakah pemberhentian ini, tidak ada rentetan/campurtangan politik yang dimainkan oleh aktor atau elite politik, elite Partai Politik (Parpol), elite birokrasi, dan elit masyarakat lainnya.

Mantan pegawai KPK, Hotman Tambunan mengatakan 57 pegawai KPK siap berdikusi dengan Polri mengenai tawaran menjadi ASN. Tentu penawaran ini, atas persetujuan Presiden merupakan solusi atas permasalahan TWK di Lembaga Antirasuah. Mantan pegawai KPK menunggu mekanisme dan prosedur perekrutmen sebelum mengambil sikap. Sedangkan Kepala Divisi Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan pembahasan mekanisme perekrutmen membutuhkan waktu. Polri sedang berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) untuk merumuskan mekanisme perekrutan.

Timbul pertanyaan apakah 57 pegawai mantan KPK diperlakukan khusus sebagai bentuk jalan terbaik atau soslusi agar pemerintah jangan kehilangan muka dan berkeinginan tetap mendapat dukungan dari mereka yang tidak lolos TWK serta kalangan masyarakat, akademisi, yang terkesampingkan oleh pemerintah memberikan kritik tentang seleksi TWK. Kelompok ini, menilai sebagai jalur pemotong atau pemangkas agar mantan pegawai KPK tidak lagi bertugas/berkarya di KPK, karena alasan yang dikemukakan berbalut tidak lolos TWK, sehingga harus tersingkir dan tidak sejalan lagi dengan keinginan pimpinan KPK.

Bagaimana dengan sedang ramai seleksi ASN di serentak di seluruh tanah air, apakah mereka yang tidak lolos dalam seleksi dikemudian hari bisa diterima di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebagai honor, untuk menutupi kekurangan ASN di lingkunan Pemerintah setempat. Tibul lagi demo dan keberatan dari mereka yang tidak lolos seleksi ASN meminta diperlakukan sama dengan 57 pegawai mantan KPK. Akhirnya, pemerintah dan pemerintah daerah sibuk dengan hanya mengurus rekrutmen ASN. Hentikanlah, janji dan kebijakan yang dinilai sebagai solusi, tetapi membawa dampak domino di kemudian hari tidak menguntungkan.

Gugatan ke MK

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak perkara gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diajukan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch, Yusuf Sahide terkait Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C yang mengatur peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Hakim MK berpandang alih status pegawai KPK menjadi ASN, seharusnya di lihat sebagai peralihan, bukan seleksi pegawai baru.

Sementara Ombudsman dan Komnas HAM menyatakan seleksi TWK atas 57 pegawai matan KPK melanggar prosedur dan mekanismen serta bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua lembaga tersebut meminta kepada pimpinan KPK dan pemerintah agar membatalkan keputusan memutus hubungan kerja, dan menerima kembali mereka, karena ditemukan sejumlah kejanggalan. Tetapi pimpinan KPK telah memutuskan seperti hasil seleksi yang berlaku dan mereka tidak bekerja lagi di KPK per tanggal 30 September 2021. Para pegawai KPK ini, bertekat akan mengajukan gugatan ke berbagai instansi agar mereka bisa diterima kembali bergabung dengan KPK.

Pemberhentian mereka dari lembaga KPK berarti sudah terlepas ikatan kerjanya, tetapi muncul ide baru dari Kapolri untuk menerima sebagai pegawai ASN di lingkup kepolisian. Hal ini,  dipertanyakan yang belum bisa terurai benang merahnya. Apakah ini, hanya melakukan trik-trik untuk meredam aksi mereka, atau sungguh-sungguh niat dari pemerintah melalui kepolisian. Hal ini, belum bisa diprediksi lebih mendalam. Apakah Kemenpan dan RB, serta BKN bisa menerima usulan ini. Kedua lembaga ini, harus mencari landasan hukum yang bisa menerima mereka di lembaga kepolisian. Padahal sudah dinyatakan tidak lolos seleksi TKS.

Politik Kebencian

Bermula diduga pemerintah menerapkan politik martabat atau politik identitas keberadaan di mata para pegawai yang tidak lolos TWK. Mereka merasa penolakan terhadap lapangan kerja, dan merupakan identitas  57 pegawai mantan KPK yang telah lama berkarya dan sudah mapan di lembaga ini. Hal ini, termotivasi yang lebih mendalam kondisi sudah berbeda pada saat lalu dan pada saat sekarang. Kondisi ini, menimbulkan politik kebencian terhadap pimpinan KPK dan pemerintah, bahwa posisi martabat kelompoknya sudah dihina, diremehkan atau diabaikan dengan tidak melihat jasa-jasa mereka terhadap lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi.

Menurut Francis Fukuyama dalam bukunya Identitas Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian (2020), identitas bisa dan sangat bervariasi berdasarkan agama, suku, etnis, kedaerahan atau gender. Pada mulanya identitas tumbuh sebagai pembeda antara diri seseorang dengan orang lain, sehingga mengenal akan martabat diri sesorang dalam kedudukannya. Misalnya sebagai pegawai mantan KPK akan memberi rasa kebanggaan tersendiri, dan mereka dikelompokan sebagai orang-orang yang tidak tercela terutama dalam hal Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Stempel ini, sudah terpatri sejak mereka berkarya di lembaga KPK. Akan tetapi dengan adanya kasus tidak lolos TWK, membuat mereka merasa malu dan seolah-olah diperlakukan oleh pimpinan KPK dan Pemerintah tidak adil.

Martabat atau identitas ini, bervariasi dan berubah seiring dengan waktu. Mereka sering mempertaruhkan nyawa dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan berbagai operasi lainnya, sehingga menimbulkan kebencian kepada mereka oleh keluarga para tersangka, terdakwa, bahkan terpidana. Martabat ini, akan mempengaruhi keanggotaan seseorang dalam sebuah kelompok yang memiliki pengalaman, suka dan duka yang sama dialami dalam memberantas korupsi di negeri ini.

Para pimpinan KPK tidak bisa mencari solusi dalam bentuk sistem konstitusional dengan prinsip pengawasan dan keseimbangan. Dengan demikian mendistribusikan kekuasaan dan menghalangi pemusatan kekuasaan atau kewenangan di tangan kelompok atau beberapa orang dan yang memiliki pengikut karena mereka merasa senasib.

Apakah 57 pegawai mantan KPK dinilai tidak lagi berjiwa nasionalisme dan wawasan berkebangsaan, sehingga mereka harus menerima nasib yang tidak mereka bayangkan. Pada saat diterima sebagai pegawai di lembaga KPK sikap, idiologi, berwawasan kebangsaan di atas nilai rata-rata. Tetapi, berjalannya waktu yang sedemikian lama dan telah berutak atik di bidang korupsi, dan kemungkinan sudah terpengaruh oleh situasi, siapa saja bisa wawasan kebangsaan mulai memudar. Hal ini, muncul dari hasil melalui seleksi TWK yang mengakibatkan 57 pegawai KPK tidak lolos.

Timbulah kebencian terhadap penghinaan yang merupakan kekuatan yang ampuh untuk membangun kelompok yang berseberangan dengan pimpinan KPK, pemerintah, bahkan kepada Parpol sedang berkuasa atau Parpol pengusung pemerintah. Kita ketahui bahwa perasaan akan martabat bisa memicu pencarian pengakuan, karena indentitas atau martabat itu datang dari pengakuan publik. Tetapi, juga bisa indentitas dan martabat itu muncul pengakuan dari orang lain atau sekelompok orang. Kelompok yang berseberangan KPK dan pemerintah, isu ini bisa menjadi senjata untuk menyerang KPK dan pemerintah.

Tuliasan ini, walaupun sudah terjadi mereka telah diberhentikan oleh lembagaKPK RI, tetapi sebagai refleksi dan cermin bermakna politik martabat, identitas dan kebencian yang dimainkan para aktor/elite bermain di belakang layar. Semoga 57 pegawai KPK bisa menerima dengan lapang dada kasus ini, sebagai introspeksi diri untuk ke depan bisa berbuat lebih baik bagi negara, bangsa, dan masyarakat. Tempat pengabdian tidak hanya di lembaga KPK, tetapi bisa di mana saja. Apalagi ada tawaran yang baik dari Kapolri mengabdi di kepolisian, karena telah berpengalaman sebagai penyidik ataupun staf penyidik, sehingga lebih memudahkan bagi kepolisian merekrut. Semoga.

***

*) Oleh: George da Silva, Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.