Kopi TIMES

Praktik Pancasila Zaman Now

Jumat, 15 Oktober 2021 - 14:35
Praktik Pancasila Zaman Now Bery Manurung, Penulis buku Daya Ungkit Bonus Demografi dan pemerhati isu sosial.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pernahkan anda mencoba bertanya kepada generasi yang terlahir sekitar tahun 2000-an atau sering di sebut dengan generasi Z tentang apa sebenarnya Pancasila?

Kalau anda ingin sedikit lebih dalam menggali pikiran dan imajinasi mereka, mungkin coba bertanya, praktik Pancasila itu seperti apa. Pertanyaan ini pernah saya ajukan kepada siswa sekolah menengah dan mahasiswa baru. Dari sekitar 10 orang yang saya tanyai, generasi internet tersebut, tidak satupun tahu apa itu sesungguhnya Pancasila. Sebenarnya tidak masalah juga, karena toh praktik lebih krusial daripada definisi.

Namun, bagaimana jika ternyata kedua hal tersebut justru abai di pahami apalagi di laksanakan ? Inilah tampaknya akan menjadi bahaya tsunami gagal paham di masa depan, saat gaung 100 tahun Indonesia di proklamirkan sebagai penanda kemerdekaan hebat bangsa kita tahun 2045, namun nihil persatuan & progresivitas bangsa dalam mewujudkannya. Terserak dengan provokasi narasi dan isu pergeseraan ideologi.

Pertanyaannya sekarang, jika ratusan juta generasi Z tersebut gagal paham, bagaimana nasib peradaban bangsa kita di masa depan? Seberapa besar distribusi keadilan tercipta dan seberapa besar pendidikan & teknologi mendorong kemajuan bangsa ?

Rasanya muskil terwujud, jika pemahaman kesaktian Pancasila setiap tahun hanya di tandai dengan isu pembrontakan partai komunis, serupa kaset rusak dan ompong gagasan kepada generasi muda yang merupakan otak dan otot progresivitas keberlangsungan kehidupan bangsa yang seharusnya lebih kolaboratif dan menghapus dendam perilaku “buas” para oknum politikus masa lalu. Pancasila harus lebih di kenalkan dengan beradaptasi pada tantangan zaman now sekaligus perangkat-perangkat pendukung inovatif.

Krisis praktik persatuan 

Menoleh kebelakang sesaat, kita bisa menarik pembelajaran pahit dari beberapa permasalahan yang lebih relevan di angkat dan di selesaikan agar poin-poin Pancasila dapat di praktikkan, terlebih poin ke-3 yaitu Persatuan Indonesia. Sebut saja, peristiwa keributan yang terjadi belum lama ini di Jogkarta yaitu penolakan indekos mahasiswa berasal dari Papua. Atau yang lebih baru lagi, terkait penolakan tenaga kerja Tiongkok di Sulawesi Tenggara. Beberapa kasus Toa Mesjid. Dakwah yang menyesatkan salah satu agama. Riak-riak suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) masih belum musnah dari kedangkalan berpikir publik. Konklusinya, praktik poin ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia, sebenarnya terlihat luntur perlahan-lahan di tengah masyarakat.

Jika ini di biarkan terus tanpa adanya upaya sistematis dan serius dari pemerintah menjembatani perbedaan dalam bingkai Pancasila, bukan tidak mungkin , kita tinggal menunggu bom waktu meledak, dan berakibat fatal bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa di masa depan. Bangsa ini akan terpecah belah dan mudah di susupi kepentingan negara lain serta gerombolan politikus tak bermoral.

Generasi kita sekarang patut bersyukur, sesungguhnya para pendiri bangsa telah awas akan potensi perpecahan sesama anak bangsa yang memiliki ribuan etnis, karena itu dengan cermat dan bijaksana pendiri bangsa telah sepakat menjembatani perbedaan mencolok yang terangkum dalam ideologi Pancasila.

Hanya saja memang di butuhkan upaya baru dan progresif dalam menerapkannya secara komunal, khususnya lagi kepada generasi muda yang saat ini jumlahnya gigantis akibat fenomena bonus demografi. Kaum muda ini sering pula di label agent of change. Generasi penerus tersebut akan tergelincir jatuh dan mudah terprovokasi, jika tidak memiliki pemahaman komprehensif tentang bagaimana sejarah kolektivitas anak bangsa merebut kemerdekaan lintas SARA pada masa lalu.

Tugas berat tersebut sekarang berada pada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang belum lama ini di bentuk oleh pemerintah. Lembaga tersebut sangat krusial dan merupakan langkah jitu mempersatukan anak bangsa, apalagi khususnya jika mencermati terorisme dan radikalisme banyak memakan korban dan rentan mendorong kerusuhan massal. Hasil riset memaparkan, peristiwa tersebut memang cenderung bermula karena pemahaman kerdil kemanusiaan dan provokasi rasial. Hal tersebut jelas sangat jauh dari praktik Pancasila.

Pemerintah melalui lembaga BPIP harus serius berupaya mengedukasi masyarakat dengan wajib melibatkan generasi muda berkaca pada ledakan bonus demografi yang segera akan mengalami puncaknya di Indonesia pada tahun 2030. Ledakan generasi tersebut membutuhkan stabilitas politik, dunia kerja dan aktualisasi diri. Jika pemerintah abai, bukan tidak mungkin, di masa depan, Pancasila hanya sekedar simbol nihil praktik pada akar rumput. Pembangunan mandek. NKRI terancam eksistensinya.

BPIP perlu mendorong lahirnya kreatifitas dan inovasi dalam bentuk konten-konten dan gerakan positif yang di sebarkan luaskan melalui platform media sosial yang di gandrungi kaum muda agar karakter SARA terkikis bahkan musnah dalam alam pikiran kaum muda tanpa terkesan menggurui. Jangan sampai, BPIP hanya sekedar menelurkan kurikulum atau seminar semata yang cenderung tidak aplikatif dan terasa rigid bagi kaum muda.

Praktik Pancasila bagi kaum muda

Estapet transformasi bangsa berada di pundak generasi muda. Sudah saatnya pula kaum muda menyadari peran besarnya di masa depan. Kaum muda perlu secara sadar memahami Pancasila, khususnya sila Persatuan Indonesia sehingga menjauhkan diri dari karakter bigot SARA dengan aksi produktif serta relevan seperti menghargai dan mengapresiasi budaya daerah lain dengan mengekspresikannya dalam bentuk konten musik, tulisan, video ataupun turut berpartisipasi memakai model busana daerah, nyanyian daerah pada perayaan tertentu. Harapannya, terjadi akulturasi budaya yang unik dan perlahan-lahan mengikis sifat inferior dan menumbuhkan karakter setara (persatuan) sesama anak bangsa.

Makin menarik, jika BPIP mendorong kaum muda menciptakan platform khusus yang terintegrasi dengan sekolah dan kampus, sehingga aktualisasasi diri (seni, budaya, dan segala bentuk karya kaum muda) dapat saling mendukung dan kolaboratif sehingga semakin mempererat persatuan. Sebagai contoh program, mengadaptasi gerakan Sabang Marauke yang menanamkan nilai toleransi, pendidikan dan nasionalisme. Ada juga program menarik dari yayasan Arah Pemuda Indonesia yaitu Ekspedisi Sapa Papua yang memfasilitasi generasi muda untuk menerapkan ilmunya langsung ke masyarakat di daerah 3 T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal).

Keterlibatan & aksi berupa kegiatan dan alat platform yang membangun semangat kolektivitas dengan cara-cara ala zaman now tersebut, boleh jadi bangsa kita optimis, mampu melunturkan sekat-sekat SARA serta eksklusivisme di tengah kaum muda. Lambat laun justru semakin mencintai keberagaman Nusantara dan menyadari ternyata banyak kebaikan, keindahan bahkan keseruan di balik perbedaan, bukan malah sebuah ancaman ataupun persaingan mana yang paling sempurna, paling hebat, paling benar, paling suci.

Sudah saatnya, pemahaman filosofi Pancasila sebaiknya digerakkan bukan sekadar berbentuk upacara bendera, teks buku dan cara-cara konvensional, tapi mengikuti perubahan zaman dengan tidak kehilangan hakikat pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Bung Karno pernah berpesan pada sebuah kesempatan: 'Jika rukun, kita kuat'.

Mudah-mudahan, dengan modal persatuan anak bangsa, karakter non produktif yang membawa-bawa isu SARA mampu kita kikis sampai habis sehingga visi pemerintah tahun 2045 menjadikan bangsa kita sejajar dalam percaturan geopolitik, ekonomi, teknologi, pendidikan, dapat terealisasikan. Jika program dan ide platform terwujud, boleh jadi ini adalah salah satu kado istimewa di tahun-tahun yang akan datang sebagai perayaan keberagaman dalam bingkai peringatan Kesaktian Pancasila ataupun kemerdekaan Indonesia.

Audaces fortuna iuvat. Nasib baik hanya menolong mereka yang berani. Semoga policy maker dan generasi muda kita berani bertindak lebih cepat, adaptif dan progresif.

***

*)Oleh: Bery Manurung,  Penulis buku Daya  Ungkit Bonus Demografi dan pemerhati isu sosial.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.