Kopi TIMES

Dilema Banjir Kalimantan

Selasa, 16 Februari 2021 - 19:17
Dilema Banjir Kalimantan Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Apa yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel) baru-baru ini menjadi bukti bahwa wilayah tutupan hutan di Kalsel semakin berkurang sehingga banjir sangat mudah menguasai lingkungan kota dan desa. Alasan ini sangatlah rasional sebab salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air sehingga air hujan yang turun akan terserap ke dalam tanah.

Meskipun sebagian orang menganalisa banjir Kalsel ini disebabkan anomali cuaca dalam bentuk curah hujan yang ekstrim, tapi akar masalah banjir Kalsel awal tahun 2021 ini tetap memiliki relevansi kausalitas yang kuat dengan tindakan destruktif dari perusakan hutan yang masif terjadi.

Adanya penurunan daya serap permukaan tanah yang berakibat banjir ini disebabkan karena alih fungsi lahan hutan untuk kawasan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang terjadi di wilayah Kalsel. Dalam catatan sejarah lingkungan di Kalimantan, kegiatan penebangan atau penggundulan hutan untuk dialihgunakan untuk penggunaan selain hutan (deforestasi) di Kalimantan sudah terjadi selama puluhan tahun. 

Kolonisasi Ekonomi

Hampir selama puluhan dekade berlalu, kebijakan deforestasi yang ada di Kalimantan sangat begitu masif terjadi selama puluhan tahun. Dalam kajian Peter Boomgard (1999) pada dekade 1840 para ilmuwan dan para pegawai Hindia Belanda telah mulai memperingatkan ancaman bahaya deforestasi yang dapat mengurangi jumlah pasokan air untuk irigasi dan menyebabkan terjadinya banjir.

Peringatan tersebut secara spesifik diberikan kepada seluruh Gubernur Jendral Hindia Belanda yang diperingatkan jika tindakan deforestasi akan dapat menimbulkan perubahan iklim, penurunan curah hujan, yang menyebabkan kegagalan panen dan menimbulkan kerugian besar bagi ekonomi Hindia Belanda.

Sayangnya teguran keras masa Hindia Belanda tersebut sepertinya tak diperhatikan sampai hari ini. Karena faktanya tanah hutan masih kehilangan daya tampung air. Luas tutupan hutan Kalsel mengalami penyusutan, dari 1,18 juta hektar pada 2005 menjadi 0,92 juta hektar pada 2019. (Walhi, 17 Januari 2021).

Mirisnya, beberapa dekade terakhir pengurangan area hutan di daerah aliran sungai (DAS) Barito telah mencapai 62,8%. Hutan – hutan di Kalimantan yang harusnya terpelihara dengan baik justru harus tersingkir karena kepentingan besar ekonomi para elite politik dan pengusaha yang gemar mengejar keuntungan praktis. Kondisi ini nyatanya membuat masyarakat lokal menanggung akibat buruk dari deforestasi.

Alam yang dirusak kini membawa petaka bagi banyak ruang kehidupan manusia. Banjir menjadi muara dari lingkaran krisis ekologis berskala besar yang sudah lama dan mungkin akan terus terjadi kedepannya.

Faktor ekologis lain yang turut memicu terjadinya banjir besar Kalsel adalah kerusakan lingkungan yang dibentuk oleh banyaknya lubang tambang yang dibiarkan begitu saja tanpa ditutup kembali. Tercatat ada sebanyak 814 lubang tambang di Kalsel yang aktif digunakan maupun yang ditinggalkan. Selain itu ada sebanyak 700 hektare lahan tambang yang keberadaannya tumpang tindih dengan kawasan pemukiman warga. Ironisnya lahan tambang berada dalam kawasan pertanian dan hutan tropis yang dilindungi. Tentu ini semakin membuat miris masyarakat.

Masalah eksploitasi alam nyatanya masih menjadi anomali kekinian dari pelaksanaan pembangunan. Mudahnya pemerintah daerah dan pusat memberikan izin tambang menjadi pemicu pokok yang membuat konsep pembangunan makin tak ramah lingkungan. Data empiris sudah memberi catatan penting jika banyak perusahaan tambang di Indonesia yang memiliki izin tambang illegal bahkan mengarah pada tindakan korupsi.

Ketatnya izin tambang karena analisa dampak lingkungan nyatanya makin membuat banyak perusahaan tambang Indonesia yang lebih memilih jalan suap sebagai cara untuk mendapatkan izin tambang. 

Bila melihat sejarah panjang pertambangan di Indonesia. Sejak tahun 1966 sampai tahun 1987, eksplorasi dan produksi batubara di Indonesia memang mengalami peningkatan sangat pesat. Pada tahun 1966, produksi batubara Indonesia sudah menyentuh pada angka 319.829 ton dan tahun 1987 melonjak menjadi 2.813.533 ton.

Apalagi ketika undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada masa reformasi mulai diberlakukan. Penerbitan izin tambang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten sehingga hal ini praktis menjadikan para elite lokal sebagai kuasa penentu dari banyak izin tambang.Adapun soal hasil pembagian royalti penambangan akan menjadi penerimaan daerah provinsi dan kabupaten.

Tambang batubara pada dasarnya mempunyai kegunaan yang sangat strategis utamanya sebagai sumber devisa negara, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal ini pajak dan royalti menjadi sumber pembangunan infrastruktur. Namun, aktivitas pertambangan juga dinilai telah merusak sumber-sumber mata air dan sungai digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.

Tak jarang sumur warga mengalami perubahan warna dan mengalami kekeringan karna dalamnya galian tambang batubara lebih dalam dari galian sumur mereka. Tanah menjadi gersang, tandus dan bekas galian batubara yang belum atau tidak direklamasi juga tidak dapat digunakan sama sekali karna mengandung sisa-sisa atau limbah. Masifnya praktik komersialisasi batubara secara berlebih ini jelas menkhawatirkan. Karena merugikan habitat ekosistem alam lingkungan dan manusia. 

Rasional Pembangunan

Dengan peristiwa banjir besar yang menerjang Kalsel awal tahun 2021, maka semestinya kejadian ini mampu membangunkan kembali kesadaran kolektif kita sebagai masyarakat akan urgensinya pelestarian lingkungan alam. Persoalan banjir Kalsel harusnya mendorong sikap tegas negara terhadap pihak yang selama ini berkuasa merusak hutan Kalimantan. Negara tidak boleh kalah melawan pengusaha dan elite politik yang haus kepentingan ekonomi pribadi tapi turut berpartisipasi aktif dalam menyengsarakan kehidupan masyarakat luas.

Dalam konteks bencana banjir di Kalsel, tanggung jawab negara tidak boleh sebatas pada tata kelola penanggulangan bencana saja, tapi juga harus menyentuh pada aspek yang lebih mendasar, yakni bagaimana Negara memfasilitasi kebijakan pembangunan berdasarkan tata alam.

Hadirnya musibah bencana banjir besar yang menerjang Provinsi Kalsel idealnya tak hanya menggugah solidaritas sosial para elite politik pusat dan daerah terhadap korban banjir, tapi menuntut keutamaan langkah sistematis yang lebih serius untuk mencegah terjadinya bencana alam lebih besar di waktu mendatang. Pada titik ini, kebijakan reforestasi haruslah menjadi kebijakan penting yang wajib untuk segera dilaksanakan. Kebijakan ekologis (eco-justice policy) harus menjadi sentrisme baru yang merekonstruksi pembangunan Negara berbasis kontekstual kehidupan masyarakat. Karena itu, tantangan pembangunan Indonesia ke depan bukan hanya pemerataan peningkatan hidup warga, melainkan kesadaran pengembalian keseimbangan ekosistem alam untuk kehidupan masyarakat terus menerus. Bila keseimbangan ekosistem alam terjaga maka kesejahteraan hidup masyarakat pastinya dapat terus terjaga.

***

*)Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.