https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Konsesi Tambang Ormas Keagamaan antara Maslahat dan Mafsadah

Senin, 24 Juni 2024 - 12:33
Konsesi Tambang Ormas Keagamaan antara Maslahat dan Mafsadah Ridhwan Rais, Direktur Lembaga Ekonomi, Sosial, dan Budaya PMII Jakarta Selatan

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Semenjak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang isinya mengenai izin usaha pertambangan untuk ormas keagamaan, tapi gelombang protes dan penolakan banyak terjadi dimana-mana. Terutama dari kalangan aktivis lingkungan, LSM, akademisi, baik secara individu, maupun kolektif.

Di saat ormas keagamaan lain masih berpikir untuk menerima konsesi tambang tersebut-bahkan beberapa menolak, NU justru tanpa tedeng aling-aling menjadi ormas pertama yang mengajukan izin tambang. Dalam sebuah video Gus Yahya (12/6) menjelaskan bahwa pengelolaan tambang harus dilihat secara fiqh bagaimana cara pengelolaan dan penggunaannya.

“Jadi asal-usulnya, cara mengelolanya dan penggunaannya itu yang bikin haram. Tapi memanfaatkan batu bara itu tidak otomatis haram, Nah kalau soal asal-usul, cara dan penggunaannya itu bukan cuma batu bara. Ayam goreng itu bisa haram. Kalau ayamnya nyolong, menyembelihnya tidak benar.”

Belakangan persoalan fiqh tambang ini diperkuat oleh Gus Ulil (20/6) dalam tulisannya di Kompas dengan mengutip sebuah kaidah ushul fiqh, idza ta’aradlat al-mafsadatani ru’iya akhaffuhuma. Menurut Gus Ulil, “Dalam pengambilan kebijakan publik, kita sering berhadapan dengan situasi yang kompleks. Banyak kebijakan yang mengandung dua sisi 
sekaligus: maslahat dan mafsadah. Dalam situasi yang lain, bahkan kita tidak memilih antara maslahat dan mafsadah, tetapi harus menimbang dua kemungkinan mafsadat: mana kebijakan yang paling sedikit mafsadahnya.”

Urgensi Pengelolaan Tambang bagi NU

Apa urgensi dan korelasi NU sebagai ormas keagamaan untuk mengelola tambang? Jika untuk membiayai organisasi dengan dalih tidak meminta proposal ke pemerintah, pernyataan ini justru mendegradasi nilai NU. Selain itu juga bertentangan dengan prinsip perjuangan NU yang selama ini tanpa pamrih mengabdi untuk umat, agama, dan bangsa. NU yang seharusnya menjadi garda terdepan lokomotif perjuangan rakyat, untuk mengingatkan penguasa yang dzalim, malah menjadi kepanjangan tangan penguasa.

Padahal pada Muktamar ke-33 di Jombang (2015) NU pernah menyerukan moratorium perihal tambang. Kemudian pada Muktamar ke-34 di Lampung (2021) NU juga mengeluarkan rekomendasi untuk menghentikan PLTU batubara. Tentu hal ini menjadi momok besar bagi ormas sekaliber NU.

Belum lagi jika melihat dampak jangka panjang dari kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas tambang. Hal ini dapat menimbulkan butterfly effect, teori kekacauan yang disebut Edward Lorenz, “Bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.” Yang jelas, mafsadah yang ditimbulkan ke depan jauh lebih besar dari maslahat yang ada.

Menolak Kerusakan

Jika melihat dari kacamata ushul fiqh, kaidah yang dikutip Gus Ulil menurut penulis tidaklah relevan. Pertama, karena konsesi tambang bukanlah sesuatu darurat yang harus diambil oleh NU. Kedua, mafsadatani, 2 kerusakan, justru langkah NU menerima konsesi batubara dalam kapasitasnya sebagai ormas keagamaan, akan berpotensi membuat kerusakan (baca: konflik) yang lebih besar. Hal ini yang seharusnya dihindari.

Penulis mengutip satu kaidah ushul fiqh yang sepertinya terlupa, yakni dar’u al-mafasid muqoddamun ‘ala jalbi al-masalih. Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan. Berkaca dari kaidah 
tersebut, sudah sepatutnya NU menolak konsesi tambang yang kerusakannya lebih besar dari pada manfaatnya, apalagi dengan dalih manfaatnya hanya untuk kepentingan organisasi, bukan khalayak umum.

Terakhir, jika Gus Ulil menganggap persoalan tambang hanya masalah khilafiah, karena perbedaan cara pandang fiqh. Bukankah fiqh seharusnya memperhatikan masalah dengan komprehensif, melihat secara keseluruhan? Jika dalam konteks ini perihal tambang, maka sudut pandang yang digunakan bukan hanya halal-haram, lantas bagaimana kajian sosiologis dan ekologis, efek domino dari tambang tersebut.

***

*) Oleh : Ridhwan Rais, Direktur Lembaga Ekonomi, Sosial, dan Budaya PMII Jakarta Selatan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.