https://jakarta.times.co.id/
Berita

Perjalanan Hidup Buya Hamka, Sosok Ulama Besar yang Kembali di Filmkan 

Minggu, 24 Desember 2023 - 13:15
Perjalanan Hidup Buya Hamka, Sosok Ulama Besar yang Kembali di Filmkan  Buya Hamka saat masih hidupnya. (FOTO: Tempo)

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Nama Buya Hamka kembali menjadi buah bibir masyarakat. Meski sudah lama berpulang, ulama besar Indonesia ini masih diingat oleh publik. 

Apalagi, kini kisahnya di angkat ke layar lebar. Judulnya adalah Hamka dan Siti Raham Vol.2. Film ini disutradarai oleh Fajar Bustomi dan dibintangi oleh beberapa aktor seperti Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella, Donny Damara, Anjasmara, Reza Rahadian, Ayu Laksmi hingga Desy Ratnasari.

Perjalanan Hidup Buya Hamka 

Dikutip TIMES Indonesia dari bukunya berjudul Dari Hati ke Hati, Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah.

Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaruan yang membawa reformasi Islam (kaum muda).

Hamka merupakan akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. 

Hamka menempuh pendidikan formal hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, saat usianya menginjak 10 tahun, Hamka lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Mekah sekitar tahun 1906. Di sekolah itu, Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab. 

Sejak kecil, Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Selain di sekolah, ia juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo. 

Pada tahun 1924, Hamka yang ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke Pulau Jawa. Di Jawa ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia, di antaranya Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Fakharudin, bahkan pada Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri. 

Selanjutnya pada 1927, berbekal ilmu agama yang didapatnya dari berbagai tokoh Islam berpengaruh tadi, Buya Hamka memulai kariernya sebagai guru agama di Perkebunan Tebingtinggi, Medan. 

Dua tahun kemudian, ia mengabdi di Padang masih sebagai guru agama. Masih di tahun yang sama, Buya Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin. Bukan hanya dalam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. 

Yang menarik, semua ilmu tadi dipelajarinya secara otodidak tanpa melalui pendidikan khusus. John L. Espito dalam Oxford History of Islam bahkan menyejajarkan sosok Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan, dan Muhammad Asad. Hamka juga pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit sejak awal tahun 1920-an. la tercatat pernah menjadi wartawan berbagai surat kabar, yaitu Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. 

Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan menjadi anggota Partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bid'ah, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. 

Selanjutnya, Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953. Bersama dengan K.H. Fakih Usman (Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo 1952), Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. 

Majalah ini kemudian diberedel pada 17 Agustus 1960 dan baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967. Hamka sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya. 

Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Buya Hamka pindah ke Medan. Kemudian di tahun 1945, ia kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh. 

Buku pertama yang dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yang kemudian disusul dengan sederet judul lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.

Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1951-1960, Hamka mendapat mandat dari Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama. Namun belakangan, ia lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada waktu itu Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadipegawai negeri atau berkiprah di dunia politik. 

Buya Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi diangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang. Kariernya sebagai pendidik terus menanjak, setelah ia terpilih sebagai rektor pada Perguruan Tinggi klam, Jakarta, kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Di samping sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi. Hamka juaga menyampaikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu.

Tahun 1964, Buya Hamka pernah mendekam di penjara selama dua tahun karena dituduh pro-Malaysia. Selama di penjara tersebut Hamka mahakarya, yaitu Tafsir al-Azhar. Sampai hari ini Tafsir al-Azhar adalah satu-satunya tafsir Al-Qur'an yang ditulis oleh ulama Melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna. 

Di antara ratusan judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasawuf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini, bisa dibilang Tafsir al-Azhar adalah karya Hamka yang paling fenomenal.

Di samping dikenal sebagai ulama dan politisi berpengaruh, sejarah juga mencatat Buya Hamka sebagai seorang sastrawan yang cerdas. (*)

Pewarta : Moh Ramli
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.