TIMES JAKARTA, JAKARTA – Garuda Indonesia bukan sekadar maskapai penerbangan. Ia adalah simbol kebanggaan nasional, representasi layanan kelas dunia, dan wajah kehadiran Indonesia di mata internasional.
Selama puluhan tahun, nama Garuda mencerminkan komitmen Indonesia terhadap kualitas, keramahan, dan profesionalisme dalam layanan udara.
Namun, dalam lanskap industri aviasi yang semakin kompetitif, mempertahankan nama besar kadang berarti harus berani melepas beban perusahaan lama yang sudah terlalu berat.
Pada kuartal pertama tahun 2025, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatatkan kerugian sebesar Rp1,2 triliun. Angka yang bahkan melampaui kerugian sepanjang tahun buku 2024 yang tercatat Rp1,15 triliun.
Meskipun telah berhasil keluar dari proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), tantangan finansial dan operasional masih membayangi.
"Struktur utang yang besar serta rendahnya efisiensi menjadi hambatan serius bagi ruang gerak strategis perusahaan," kata Advokat, Kurator & Konsultan Hukum Pariwisata, Erick Herlangga, S.H., kepada TIMES Indonesia, Kamis (5/6/2025).
Di saat yang sama, InJourney holding BUMN pariwisata dan aviasi masih belum memiliki maskapai penerbangan di bawah naungannya. Padahal, sejak awal pembentukannya, InJourney dirancang untuk menjadi penghubung strategis antara industri pariwisata dan konektivitas udara nasional.
"Kekosongan maskapai dalam ekosistem ini menciptakan celah besar yang menghambat integrasi dan akselerasi sektor pariwisata Indonesia," tuturnya.
Kini adalah momen untuk bertindak. Alih-alih terus menyelamatkan entitas lama Garuda Indonesia yang terbebani, fokus semestinya diarahkan pada penyelamatan hal yang paling bernilai nama, reputasi layanan, dan kepercayaan masyarakat serta komunitas internasional terhadap Garuda.
Salah satu solusi realistis adalah memindahkan kepemilikan merek dagang "Garuda Indonesia" kepada perusahaan baru yang dibentuk di bawah InJourney. Menurutnya entitas baru ini akan membawa semangat yang sama namun dengan struktur organisasi yang lebih ramping, profesional, dan kompetitif.
Dengan dukungan modal baru, sistem manajemen modern, dan pengelolaan merek yang kuat, perusahaan ini bisa menjadi wajah baru Garuda.
Selain itu, pengajuan pengelolaan rute-rute strategis yang sebelumnya dioperasikan Garuda dapat dilakukan oleh entitas baru ini dengan tetap mengikuti ketentuan dari Kementerian Perhubungan.
Meskipun rute secara hukum tidak bisa langsung dialihkan, percepatan perizinan dapat menjadi jalan keluar administratif.
Sementara itu, PT Garuda Indonesia yang lama tetap bisa beroperasi secara terbatas dengan membayar lisensi penggunaan nama kepada entitas baru.
"Dana dari transaksi lisensi atau akuisisi merek ini dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki posisi keuangan perusahaan lama, memberi waktu bagi penyesuaian dan restrukturisasi lebih lanjut," ujarnya.
Kemudian agar skema ini berjalan efektif, pemerintah harus memberikan dukungan politik dan hukum secara penuh dan tegas.
Pemerintah dapat mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), bahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), bila dibutuhkan, untuk memberikan kepastian hukum terhadap proses restrukturisasi ini.
Langkah serupa pernah dilakukan oleh pemerintah Malaysia dalam penyelamatan Malaysia Airlines, dengan mengalihkan kepemilikan kepada Khazanah Nasional Berhad dan membentuk entitas baru Malaysia Airlines Berhad (MAB).
Hal serupa juga terjadi di berbagai negara lain Swiss International Air Lines lahir dari keruntuhan Swissair, ITA Airways menggantikan Alitalia, dan sejumlah merek legendaris industri hospitality seperti Hilton, Ritz-Carlton, Stouffer, serta Howard Johnson tetap hidup meski kepemilikannya telah berganti entitas.
Inilah cetak biru yang layak diikuti oleh Garuda Indonesia. Biarkan InJourney memimpin kelahiran kembali maskapai nasional dengan semangat dan nama yang sama, namun dalam format baru yang lebih sehat dan adaptif terhadap masa depan.
Dalam waktu yang tepat, Garuda Indonesia bisa bangkit kembali bukan sebagai beban sejarah, tetapi sebagai simbol kebangkitan industri penerbangan nasional yang unggul dan relevan.
"Garuda tidak perlu menghilang. Ia hanya perlu dilahirkan kembali lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih sesuai dengan kebutuhan masa depan Indonesia," tandasnya. (*)
Pewarta | : Wandi Ruswannur |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |