https://jakarta.times.co.id/
Berita

Soal Pro-Kontra Politik Identitas, Ini Pandangan Komarudin Hidayat 

Senin, 28 November 2022 - 16:35
Soal Pro-Kontra Politik Identitas, Ini Pandangan Komarudin Hidayat  Komaruddin Hidayat. (FOTO: dok pribadi)

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perdebatan politik identitas menjelang Pemilu 2024 kian nyaring dan pro-kontra. Beberapa pihak mengatakan, hal tersebut tak salah karena identitas adalah sebuah keniscayaan dalam politik. Pihak lain menilai, itu tak diperbolehkan karena akan memecah belah.

Komaruddin Hidayat, dalam bukunya berjudul "Agama untuk Peradaban" mengatakan, sesungguhnya tak ada yang salah dengan identitas primordial seperti kesukuan ataupun keagamaan. 

Buku-Komarudin-Hidayat.jpgBuku Komarudin Hidayat (FOTO: dok pribadi)

Keduanya, kata dia, merupakan desain Tuhan. Di muka bumi ini terdapat beragam suku dan agama yang tak lepas dari kehendak Tuhan. 

"Sungguh tidak menarik andai kata manusia bumi ini seragam warna kulit, bahasa, wajah, serta tradisi dan agamanya. Tak ubahnya nanti bagaikan miliaran domba yang seragam dan mendominasi planet bumi," tulis Komaruddin, dikutip TIMES Indonesia, Senin (28/11/2022).

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk masa jabatan dua periode 2006-2010 menyampaikan, keragaman adalah ciptaan Tuhan, maka sangat tidak dibenarkan mengutuk seseorang semata-mata karena beda etnis dan agama. 

Ia menjelaskan, masyarakat Nusantara yang sedemikian majemuk sangat menyadari perbedaan, sehingga motonya pun berbunyi Bhinneka Tunggal Ika. 

"Kita saling mengakui, menerima, dan merajut perbedaan identitas suku dan agama, namun sepakat pada satu tujuan, yaitu membangun NKRI demi terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang merdeka, rukun, damai, cerdas dan sejahtera, di atas prinsip keadilan. Dengan demikian, kita tidak mungkin menghilangkan identitas kesukuan dan keagamaan," jelasnya.

Manipulasi Agama RI 

Saat ini, kata doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey itu mengatakan, kini yang menjadi menjadi persoalan ketika isu dan sentimen etnis dan agama dimanipulasi dan dipolitisasi untuk menjaring massa demi memenangkan kontestasi politik, sehingga menggeser prinsip fairness, kompetensi, dan integritas calon. 

Ia menilai, memilih pemimpin tidak cukup hanya mengandalkan kesamaan etnis dan agama, jika kualitas calon diabaikan. Akibatnya, yang akan rugi adalah rakyat sebagai pemilih. 

"Martabat agama juga akan ternodai, bahkan dikhianati. Sekali lagi, orang mencari kesamaan identitas dalam berkawan, berbisnis dan berpolitik, itu sangat wajar dan sah. Tetapi, ketika yang terjadi adalah manipulasi dan politisasi, sama saja dengan membohongi rakyat dan merendahkan martabat agama," katanya.

"Mengapa itu terjadi? Mungkin seorang calon tidak cukup percaya diri dengan modal integritas, popularitas dan kompetensi, sehingga mesti mencari cara lain untuk membeli suara rakyat," jelasnya.

 Yang mudah adalah, kata dia, dengan membeli suara dan menggoreng isu keagamaan. Menurutnya, ini mudah dilakukan, karena tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat masih rendah. Kalau ini terjadi, dan menang sudah terjadi, maka ongkos politik sangat mahal. 
 
"Jago yang menang kualitasnya mengecewakan, agama dinodai, rakyat dibodohi, masyarakat tersegregasi, serta pembangunan budaya demokrasi yang sehat menjadi mundur," ucapnya.

Karena itu, menurutnya, jajaran elite parpol punya tanggung jawab politik dan moral yang sangat besar dan mulia untuk memperkecil kemungkinan terjadinya politisasi identitas yang akan merusak kehidupan politik dan berbangsa. 

Kebangkitan dan semarak agama seharusnya membangkitkan optimisme bagi kemajuan dan persatuan bangsa, karena misi agama adalah memberikan pencerahan moral masyarakat serta penguatan karakter. 

Menurutnya, agama adalah rahmat, anugerah, dan kegembiraan, bukan ancaman yang menakutkan. Begitu pun politik, pada dasarnya adalah ilmu, seni dan aktivitas sangat mulia untuk meraih kekuasaan guna melindungi dan menyejahterakan rakyat.

"Jadi, jika dua entitas yang pada dasarnya baik, yaitu agama bertemu politik, mestinya terjadi akselerasi bagi pembangunan dan kemajuan bangsa, bukan pertengkaran, saling fitnah dan saling jegal tanpa panduan moral hanya semata-mata demi memenuhi ambisi serta kepentingan kelompok dan para pemodal dalam hajatan pilkada," ujarnya. (*)

Pewarta : Moh Ramli
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.