TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setelah ditutup-tutupi, seorang perwira militer Israel buka suara, bahwa lebih dari 10.000 tentaranya mati dan terluka selama perang di Jalur Gaza.
"Kami kehilangan lebih dari 10.000 tentara karena mati atau terluka, dan beberapa ribu lainnya sering mengalami siklus gangguan stres pascatrauma," kata seorang komandan batalyon tentara Israel yang tidak mau disebutkan namanya seperti dikutip oleh surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth pada Selasa (3/6/2025).
Sementara itu seperti dilansir Al Jazeera, media Israel juga melaporkan terjadi peningkatan kritik di intern militer Israel mengenai cara sistem cadangan beroperasi.
Tentara Israel mengakui bahwa tiga prajuritnya, semuanya berpangkat sersan satu, mati dalam pertempuran di Gaza utara pada hari Senin, ketika kendaraan militer Hummer yang mereka tumpangi menjadi sasaran di Jabalia , sebelah utara Jalur Gaza . Dua petugas pemadam kebakaran juga terluka.
Militer Israel mengatakan dalam sebuah pernyataan singkat pada hari Selasa bahwa korban mati dan terluka itu adalah anggota Batalyon ke-9 Brigade Infanteri Givati .
Media Israel sebelumnya melaporkan bahwa tiga tentara mati dan 11 lainnya terluka, dua di antaranya kritis, ketika sebuah kendaraan militer Hummer menjadi sasaran di Jabalia, utara Jalur Gaza.
Sementara itu, Brigade Qassam mengumumkan bahwa para pejuangnya terlibat dalam bentrokan sengit dengan pasukan pendudukan dari jarak dekat di sebelah timur kamp Jabalia, yang mengonfirmasikan bahwa tentara Israel mati dan terluka.
Media Yedioth Ahronoth yang mengutip sumber militer mengatakan, bahwa tentara Israel telah menerima keluhan dan kritik dari para perwira dan komandan mereka dalam beberapa minggu terakhir mengenai cara sistem cadangan tentara beroperasi.
Dia menjelaskan bahwa para perwira mengeluhkan kebijakan baru yang memungkinkan prajurit dipanggil kembali ke tugas tempur setelah bertugas lebih dari 72 hari.
Surat kabar itu mengatakan kritik itu muncul setelah tentara tiba-tiba memanggil tentara cadangan karena kembalinya pertempuran di Gaza.
Sumber tersebut mengungkapkan bahwa banyak perwira cadangan juga mengeluh bahwa komandan mereka tidak hadir selama periode tugas tambahan.
Dalam persoalan itu, pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa mengatakan, bahwa keengganan tentara cadangan untuk bertugas di Israel merupakan bagian dari krisis yang lebih dalam yang sedang dihadapi militer Israel.
Ia mencatat, bahwa krisis ini bermula dari kurangnya konsensus sosial dan politik mengenai perluasan operasi militer di Jalur Gaza.
Mustafa mengemukakan dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera Net, bahwa tahun 2024 adalah tahun dimana tentara cadangan bertugas dalam jumlah hari terbanyak sejak perang tahun 1948, dan menggambarkan periode tersebut sebagai "tugas cadangan terlama dalam sejarah Israel setelah tahun Nakba".
Dimana jumlah rata-rata hari tugas mereka mencapai 130, meskipun hal ini membawa beban sosial, ekonomi, dan keluarga, terutama karena tentara cadangan merupakan bagian integral dari struktur sipil masyarakat Israel dan dipengaruhi oleh gerakan dan posisi politik didalamnya.
Ia juga menunjukkan bahwa setelah beban ini, prajurit cadangan menerima janji bahwa masa tugas mereka akan dibatasi hingga 75 hari pada tahun 2025, bersama dengan janji untuk merekrut Haredim (Yahudi religius) ke dalam tentara.
Namun, menurut Mustafa, yang terjadi justru sebaliknya.
Ia menjelaskan bahwa perluasan operasi militer di Gaza tidak didukung secara bulat, sehingga memengaruhi motivasi untuk berkomitmen dalam dinas.
Diperkirakan pula bahwa rata-rata lama dinas akan melebihi 75 hari, karena tujuan perang ditingkatkan menjadi pendudukan penuh Jalur Gaza, yang berarti potensi peningkatan hari dinas menjadi ratusan hari.
Menurut data militer Israel, jumlah tentara Israel yang mati sejak dimulainya perang telah meningkat menjadi 861, termasuk 419 yang mati dalam pertempuran darat di Gaza yang meletus pada 27 Oktober 2023.
Jumlah prajurit yang terluka juga meningkat menjadi 5.921, termasuk 2.987 yang terluka selama pertempuran di Gaza. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |