TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kebutuhan dasar masyarakat terhadap energi listrik dan bahan bakar bersubsidi masih menjadi persoalan serius di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk di Provinsi Kalimantan Barat.
Saat ini, sekitar 700 desa di provinsi tersebut belum teraliri listrik dari PLN. Situasi ini menjadi perhatian serius anggota DPR RI Komisi VII, DR. (H.C.) Cornelis, MH, yang berasal dari daerah pemilihan Kalbar 1.
Dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang digelar di Senayan pada Selasa (2/7/2025), Cornelis secara tegas mendesak pemerintah untuk mengalihkan fokus kebijakan energi kepada masyarakat kecil yang masih kesulitan mengakses layanan dasar tersebut.
"Saya minta Kementerian ESDM betul-betul memperhatikan kondisi di daerah pemilihan saya, Kalimantan Barat, terutama masyarakat kecil yang belum tersentuh aliran listrik dan energi terjangkau lainnya," ujar Cornelis.
Politisi senior PDI Perjuangan itu menyoroti bahwa masih banyak rumah tangga di Kalbar, khususnya di wilayah pedalaman dan perbatasan, yang belum terjangkau listrik PLN.
Menurutnya, ketimpangan akses ini tidak hanya menghambat aktivitas ekonomi warga, tetapi juga memperlebar kesenjangan pembangunan antarwilayah.
“Jangan sampai masyarakat di daerah terpencil dibiarkan terus dalam kegelapan, sementara pembangunan di kota-kota besar terus dilipatgandakan. Pemerintah harus hadir di tengah-tengah rakyat kecil,” tegasnya.
Cornelis juga mengusulkan tiga langkah konkret yang perlu segera direspons oleh Kementerian ESDM dan stakeholder energi lainnya:
Pertama, Penambahan sambungan listrik ke rumah tangga tidak mampu, terutama di desa-desa yang belum teraliri listrik sama sekali.
Kedua, Penambahan kuota BBM bersubsidi di SPBU-SPBU wilayah pedalaman guna menghindari antrean panjang yang kerap terjadi akibat pasokan terbatas.
Ketiga, Pembangunan pangkalan gas LPG 3 kg di desa dan kecamatan terpencil agar masyarakat memiliki akses yang lebih mudah terhadap energi masak yang murah.
“Kalau negara ini ingin maju dan berkeadilan, kebutuhan energi rakyat kecil harus dipenuhi dulu. Jangan hanya fokus ke pembangunan sektor besar, sementara rakyat di bawah masih kesulitan masak dan belajar karena tidak ada listrik,” imbuh Cornelis.
Pernyataan Cornelis sejalan dengan data yang disampaikan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, yang sebelumnya menyebut bahwa hingga pertengahan 2025 masih terdapat lebih dari 700 desa di Kalbar yang belum menikmati listrik PLN.
“Angka ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat Kalbar merupakan salah satu provinsi dengan potensi energi baru terbarukan yang besar, termasuk dari mikrohidro dan biomassa. Tapi kalau tidak ada kebijakan afirmatif dari pusat, ya tetap saja gelap,” ujar Krisantus dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Ia juga berharap ada koordinasi intensif antara pemerintah pusat, PLN, dan pemerintah daerah untuk mencari solusi percepatan elektrifikasi desa-desa tertinggal di Kalbar.
Dengan luas wilayah dan karakter geografis yang menantang, seperti pegunungan, sungai besar, dan kawasan hutan lindung, Kalbar memang membutuhkan pendekatan pembangunan infrastruktur yang berbeda dari daerah lain.
Cornelis menilai, keberpihakan pemerintah terhadap daerah seperti Kalbar harus lebih nyata, terutama dalam penyediaan akses energi murah dan adil.
“Kami tidak minta mewah, cukup rakyat bisa hidup dengan layak: ada listrik, ada BBM bersubsidi yang cukup, dan ada gas untuk memasak. Itu saja. Tapi tolong jangan terus dilupakan,” pungkas Cornelis dengan nada prihatin.
Isu keterbatasan akses listrik di Kalbar bukan hal baru, namun data 700 desa tanpa aliran PLN menjadi alarm keras bagi pemerintah.
Di tengah sorotan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek besar lainnya, suara masyarakat di pedalaman seperti yang disuarakan Cornelis ini perlu mendapat porsi perhatian yang setara dalam skema pembangunan nasional.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |