TIMES JAKARTA, YOGYAKARTA – Sebuah perjalanan visual yang hangat dan kontemplatif dihadirkan melalui pameran foto bertajuk “Lenggang-lenggok Jogjakarta” yang resmi dibuka pada Minggu (20/4/2025) sore di Omah Petroek Karang Klethak, Sleman, Yogyakarta.
Sebanyak 43 karya dari 12 fotografer terkemuka Indonesia mempersembahkan potret kehidupan yang kadang luput dari perhatian orang yang tinggal di Yogyakarta.
Selain itu pameran foto ini juga menghadirkan narasi visual tentang kota yang kaya akan tradisi, manusia, dan kenangan kolektifnya.
Pameran ini bukan sekadar rangkaian gambar diam. Ia menjadi ruang reflektif yang membuka kembali pintu-pintu kenangan akan hal-hal kecil yang membentuk denyut nadi Yogyakarta.
Kinanti Sekar Rahina, menari di depan foto foto sang ayah karya Arief Sukardono, dalam pembukaan pameran foto "Lenggang lenggok Jogjakarta, Minggu, 20/4/2025. (Foto: EKo Susanto/TIMES Indonesia)
Para fotografer: Agus Leonardus, Aji Wartono, Arief Sukardono, Bimo Pradityo, Budi ND Dharmawan, Danu Kusworo, Dwi Oblo Prasetyo, Eddy Hasbi, Ferganata Indra Riatmoko, Novan J Andrea, Oscar Motuloh dan Sonia Prabowo.
Mereka menangkap berbagai peristiwa, dari peristiwa-peristiwa kasual yang sering kita jumpai namun mudah kita lupakan, hingga momen-momen monumental yang mencatat sejarah kecil di ruang-ruang publik Yogyakarta.
Dalam sambutannya, budayawan dan tokoh pers senior, Romo Sindhunata, menyampaikan dalam pengantarnya, bahwa karya-karya tersebut menjadi pengingat atas pentingnya memperhatikan detail kecil dalam kehidupan.
“Foto-foto ini membawa kita kembali pada momen-momen, di mana kita boleh mengalami lagi kemanusiaan di Yogyakarta. Di tengah banjir informasi hari ini, justru yang kecil dan sepele itu sering lebih membekas dan berarti,” ujarnya.
Pameran ini dibuka secara resmi oleh Telly Liando dari Ohana Gallery. Usai pemotongan tumpeng menjelang memasuki ruang pameran, suasana menjadi hening saat Kinanti Sekar Rahina menampilkan sebuah pertunjukan tari.
Sekar, putri dari maestro pantomim almarhum Jemek Supardi, itu menari dengan mengenakan topeng putih yang menyerupai wajah sang ayah. Sekar menari dalam keheningan, menghadirkan interpretasi visual dari karya foto Arief Sukardono yang merekam aksi Jemek di tengah keramaian Kota Jogja.
“Bersamadi tidak harus selalu di tempat sunyi. Dalam hiruk-pikuk kota pun, manusia bisa menemukan keheningan batin. Itulah tapa ngrame,” ujar Romo Sindhunata, atas foto Arief Sukardono tentang Jemek Supardi. Ia menggambarkan bagaimana manusia diuji untuk tetap tenang dan sadar di tengah dunia yang terus bergerak cepat dan bising.
Pameran ini akan berlangsung hingga Juni 2025. Foto-foto yang dipamerkan mengangkat tema luas; keheningan kota, kesenian rakyat, rumah rumah tinggal di Benteng Kraton yang dirobohkan karya Bimo Pradityo, hingga prosesi kematian.
Salah satu karya yang paling menyentuh adalah milik Oscar Motuloh, yang menampilkan keranda jenazah diangkat dalam prosesi pemakaman. “Hanya dengan tujuh langkah, kita menuju keabadian,” kata Romo Sindhu dalam pengantarnya, peristiwa itu menggambarkan betapa singkat dan misteriusnya perjalanan hidup manusia.
Melalui pameran ini, para pengunjung diajak untuk tidak sekadar melihat Yogyakarta, tetapi merasakannya kembali. Dalam lenggak-lenggok visual yang ditampilkan, terdapat ajakan untuk berhenti sejenak, menyimak, dan merenungkan ulang tentang makna kebersahajaan, kemanusiaan, serta kefanaan.
Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, “Lenggang-lenggok Jogjakarta” menghadirkan napas lambat; mengajak kita mengingat bahwa di balik segala dinamika kota, selalu ada ruang untuk kembali hening dan manusiawi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Wajah Lain Yogyakarta dari 12 Fotografer Hiasi Pameran Foto 'Lenggang-lenggok Jogjakarta'
Pewarta | : Eko Susanto |
Editor | : Ronny Wicaksono |