TIMES JAKARTA, JAKARTA – Putu Bambu merupakan masakan traditional yang sudah lumayan sulit ditemukan. Di sebuah kota mungkin anda bisa menemukan beberapa penjaja putu bambu, namun di kota lain nihil. Di Malang anda akan merasa cukup beruntung karena masih ada beberapa penjaja putu bambu berkeliaran di kota ini.
Layaknya Pak Narto. Pria berusia sekitar 60 tahunan ini menjajakan putu bambu setiap hari dengan memikul gerobak putu miliknya. Dia harus berjalan sejauh 15 km setiap harinya demi menghidupi keluarnya yang tinggal di dekat area Pasar Gadang, Malang.
Pak Narto menyiapkan dagangannya mulai jam 8 pagi. "Saya berangkat jam 11 siang, pulangnya kadang tengah malam pokok hingga dagangan habis. Kalau gak habis ya pulang aja," ungkap Pak Narto sambil melayani terus melayani pembeli.
Pak Narto, penjaja putu bambu memasak kue tradisional terseut pada gerobak pikul yang dibawanya. (Foto: Khodijah Siti/TIMES Indonesia)
Putu Bambu selalu memiliki keunikan tersendiri, saat tak dipakai alat yang digunakan untuk mengukus akan berbunyi, menandakan si penjual sedang kosong tanpa pembeli. Suara ini juga menjadi salah satu suara khas yang memanggil orang sekitar untuk datang dan membeli.
Rasanya pun tak kalah dengan jajanan atau kue-kue masa kini. Teksturnya lembut, creamy dan gurih dari parutan kelapanya, dipadu lumer dan manisnya gula kelapa membuat makanan ini menjadi pengganjal perut terbaik terutama saaat perut keroncongan di malam hari.
Tak mahal, Pak Narto hanya menjual putu bambu ini Rp. 1000 per bijinya. Cukup dengan menggelontorkan uang Rp.10 K perut anda yang keroncongan sudah tak terdengar lagi. Andapun bisa tidur dengan pulas.
Rasa khas yang ditinggalkan dari cetakan bambu juga membuat putu bambu terasa lebih nikmat. Sajian khas terbuat dari tepung beras ini memang layak untuk diburu. Disajiakan hangat dengan taburan parutan kelapa, membuat putu bambu serasa membawa kita ke masa lalu. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Putu Bambu, Cara Tradisional Menikmati Olahan Tepung Beras
Pewarta | : Khodijah Siti |
Editor | : Khodijah Siti |