https://jakarta.times.co.id/
Opini

Ilusi Pelayanan Kerja Fleksibel ASN

Kamis, 19 Juni 2025 - 16:36
Ilusi Pelayanan Kerja Fleksibel ASN Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kebijakan pemerintah mengenai penerapan sistem Work From Anywhere (WFA) atau kerja fleksibel bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sedang menjadi sorotan. Langkah ini diambil sebagai bagian dari transformasi birokrasi, dengan dalih mendorong efisiensi, keseimbangan kehidupan kerja, dan adaptasi terhadap era digital. 

Di balik narasi modernisasi ini, tersimpan banyak keraguan. Apakah birokrasi kita memang sudah cukup siap menghadapi lompatan kerja fleksibel ini tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik yang menjadi tugas utama negara?

Penting untuk diingat bahwa ASN bukanlah pekerja biasa. Mereka bukan hanya menjalankan tugas administratif di balik meja, melainkan juga menjadi garda depan layanan publik. 

Di kantor-kantor pelayanan masyarakat, kehadiran fisik ASN kerap kali sangat dibutuhkan. Ketika seorang ASN bekerja dari rumah atau bahkan dari luar kota, siapa yang akan menyambut masyarakat yang datang membawa persoalan mendesak ke kantor pelayanan? 

Kebijakan WFA, jika diterapkan secara merata tanpa mempertimbangkan karakteristik masing-masing posisi kerja, justru berpotensi melahirkan ketimpangan baru antara ASN yang bersifat administratif dan mereka yang bersifat fungsional di lapangan.

Kritik berikutnya menyasar pada persoalan pengawasan dan akuntabilitas. Sistem birokrasi kita belum sepenuhnya berbasis hasil atau output-based, melainkan masih kental dengan budaya kehadiran fisik sebagai indikator kinerja. 

Di tengah sistem evaluasi kinerja ASN yang lemah dan kadang hanya formalitas, WFA dapat menjadi celah baru bagi penyalahgunaan kewenangan. Bekerja dari mana saja tanpa pengawasan yang ketat bisa berubah menjadi “liburan terselubung” yang dibungkus dengan jargon produktivitas. 

Tanpa reformasi mendalam terhadap sistem monitoring kinerja berbasis target yang transparan dan terukur, kebijakan WFA justru dapat memperlebar jurang antara ekspektasi publik dan realitas birokrasi.

Selain itu, ada soal kesenjangan infrastruktur teknologi yang tak bisa diabaikan. Tidak semua ASN bekerja di kota besar dengan akses internet stabil, perangkat digital yang memadai, atau lingkungan rumah yang kondusif. 

ASN yang bertugas di daerah terpencil justru bisa semakin tertinggal dalam sistem kerja fleksibel ini. Alih-alih menyamaratakan, penerapan WFA harus mempertimbangkan disparitas teknologi antarwilayah. 

Jika tidak, alih-alih mendekatkan ASN dengan masyarakat, kebijakan ini malah bisa menciptakan birokrasi yang makin elitis-mereka yang nyaman bekerja dari kafe dan coworking space di kota, sementara yang lain tertatih-tatih di balik sinyal yang terseok-seok.

Lebih jauh, kerja fleksibel juga menuntut adanya perubahan budaya kerja. Ini bukan perkara teknis semata, melainkan juga persoalan mindset. Selama ini, birokrasi kita masih berorientasi pada rutinitas dan instruksi, bukan inovasi dan inisiatif. 

Budaya kerja kolaboratif yang diperlukan dalam sistem fleksibel belum terbentuk dengan baik. Bahkan dalam kondisi kerja normal pun, tak sedikit ASN yang masih bergantung pada hierarki kaku dan sikap birokratis klasik. Lalu, bagaimana mungkin kerja fleksibel bisa berjalan optimal jika mentalitas kerja belum bertransformasi?

Pemerintah memang harus terus berinovasi, termasuk dalam hal tata kelola sumber daya manusia. Namun inovasi yang baik adalah yang berpijak pada realitas, bukan euforia. WFA bukanlah solusi instan untuk reformasi birokrasi. 

Ia membutuhkan kerangka hukum yang jelas, sistem digital yang kokoh, dan pengawasan publik yang kuat. Tidak bisa hanya mengandalkan “trust” di atas kertas, tapi perlu “control” berbasis data dan capaian.

Di sisi lain, masyarakat sebagai penerima layanan tidak boleh dikorbankan dalam proses transisi ini. Layanan publik harus tetap menjadi prioritas utama. ASN bekerja bukan untuk kenyamanan pribadi semata, tapi untuk melayani warga negara. 

Jangan sampai fleksibilitas kerja ASN berujung pada kekakuan layanan bagi publik. Jika ini terjadi, maka bukan efisiensi yang kita peroleh, melainkan erosi kepercayaan terhadap negara.

Karena itu, kebijakan WFA sebaiknya tidak diterapkan secara serampangan dan generalis. Harus ada pembedaan yang tegas antara jenis pekerjaan yang memang memungkinkan untuk dilakukan dari mana saja, dan yang memang menuntut kehadiran langsung. 

Evaluasi berkala, uji coba terbatas, dan keterlibatan publik dalam proses perumusan kebijakan harus menjadi bagian dari mekanisme agar WFA tidak menjadi eksperimen gagal dalam sejarah birokrasi kita.

Di tengah tantangan reformasi birokrasi yang belum sepenuhnya tuntas, WFA ibarat dua sisi mata uang. Ia bisa menjadi inovasi yang mempercepat kemajuan, tapi juga bisa menjadi ilusi yang memperdalam masalah. 

Maka, pertanyaannya bukan hanya “siapkah ASN bekerja dari mana saja?” tetapi juga, “siapkah negara memastikan pelayanan tetap ada di mana-mana?”

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

_________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.