TIMES JAKARTA, BUKITTINGGI – Di Indonesia, madrasah lahir sebagai lembaga yang memadukan kecerdasan intelektual dengan kedalaman spiritual. Namun realitas sosial hari ini menghadirkan tantangan yang jauh lebih kompleks.
Fenomena perundungan di sekolah, maraknya ujaran kebencian di media sosial, hingga menguatnya intoleransi di kalangan generasi muda adalah alarm bahwa pendidikan kita perlu lebih dari sekadar melatih kemampuan akademik. Peserta didik butuh dibimbing menjadi manusia yang berhati lembut, berpikiran terbuka, dan siap hidup rukun dalam keberagaman.
Di titik inilah gagasan kurikulum cinta dan moderasi beragama menjadi sangat penting dan mendesak. Kurikulum berbasis cinta bukan konsep romantik yang penuh jargon, melainkan pendekatan pendidikan yang menanamkan empati, menghargai sesama, serta meneguhkan nilai kasih sayang sebagai fondasi interaksi sosial.
Sementara moderasi beragama adalah cara beragama secara adil, menghormati perbedaan keyakinan, menolak kekerasan, serta mendorong semangat saling memahami. Dua pendekatan ini saling menyempurnakan, cinta memperhalus akhlak, moderasi memperkuat cara pandang yang dewasa dan bijak.
Kementerian Agama RI telah mengembangkan konsep Kurikulum Cinta melalui sembilan nilai utama (9K): keberagaman, kebersamaan, kekeluargaan, kemandirian, kesetaraan, kebermanfaatan, kejujuran, keikhlasan, dan kesinambungan.
Nilai-nilai tersebut terimplementasi dalam enam jenis cinta: cinta kepada Allah SWT, Rasulullah, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa. Ini bukan sekadar daftar nilai, tetapi arah pembentukan karakter yang relevan dengan tantangan zaman.
Penelitian mutakhir dalam psikologi pendidikan menunjukkan bahwa sekolah yang menekankan empati dan kasih sayang cenderung memiliki tingkat kekerasan dan perundungan lebih rendah.
Lingkungan belajar yang hangat mendorong siswa merasa diterima apa adanya, lebih percaya diri, dan lebih mampu mengelola emosi. Dengan kata lain, ketika cinta masuk dalam kurikulum, ruang kelas berubah menjadi tempat yang aman untuk tumbuh menjadi pribadi utuh bukan sekadar objek evaluasi akademik.
Namun nilai tidak akan bermakna bila hanya tertulis dalam dokumen kurikulum. Penerapannya harus hadir dalam pengalaman belajar siswa sehari-hari. Semua bisa dimulai dari hal sederhana: tadarus pagi yang menenangkan hati, salat berjamaah yang meneguhkan kebersamaan, doa bersama yang menumbuhkan harapan, kegiatan sosial yang mengajarkan kepedulian, hingga budaya gotong royong yang menghapus sekat antarindividu.
Ritual keagamaan yang teratur pun mampu melatih disiplin spiritual, namun lebih penting lagi memastikan bahwa setiap aktivitas itu dipahami sebagai wujud nyata kasih sayang dan persaudaraan sesama manusia.
Di sisi lain, moderasi beragama menjadi tameng penting bagi dunia pendidikan dari bahaya pemikiran ekstrem. Moderasi bukan berarti mengaburkan akidah, melainkan menjalankan agama secara utuh tanpa menyakiti, tanpa merendahkan, tanpa merasa paling benar sendiri.
Ini bisa diterapkan dengan cara yang dekat dengan keseharian siswa: diskusi mengenai perbedaan dengan cara yang santun, mengajak mereka menghargai keragaman budaya lokal, serta memperkenalkan tokoh-tokoh Islam yang mengajarkan jalan tengah dan akhlak mulia.
Peran guru tidak bisa digantikan. Keteladanan mereka adalah buku pelajaran paling hidup. Ketika guru menyapa penuh hormat, mendengar keluhan siswa dengan empati, dan menyikapi perbedaan tanpa menghakimi, saat itu pula nilai moderasi tertanam lebih kuat daripada seribu ceramah.
Di sinilah pentingnya pelatihan guru yang berkelanjutan agar mereka memahami perspektif moderat dalam beragama dan mampu menerapkan pendekatan mengajar yang ramah terhadap keberagaman.
Madrasah juga dapat memperluas jejaring kerja sama dengan lembaga keagamaan, organisasi pemuda, komunitas sosial, hingga sekolah lintas agama untuk menghadirkan ruang perjumpaan. Semakin sering siswa mengalami dialog damai, semakin kecil peluang mereka terjebak dalam narasi kebencian.
Kurikulum cinta dan moderasi beragama bukan hanya strategi pendidikan untuk mencegah perilaku negatif. Itu adalah investasi peradaban. Ketika siswa dilatih untuk tidak mudah membenci, tetapi mudah mencintai, untuk tidak cepat menghakimi, melainkan cepat memahami, mereka akan tumbuh sebagai agen perubahan sosial. Mereka adalah generasi yang bukan hanya pintar berbicara tentang kerukunan, tapi mampu menyebarkan kedamaian dalam tindakan nyata.
Islam sendiri menegaskan nilai rahmah (kasih sayang), tasamuh (toleransi), dan ukhuwwah (persaudaraan) sebagai ajaran utama yang melekat dalam konsep Wasathiyyah atau jalan tengah. Maka mendidik dengan cinta dan moderasi bukan sekadar inovasi pendidikan modern tetapi justru kembali pada akar Islam yang penuh welas asih.
Dunia kita bergerak cepat, teknologi melesat, informasi berlimpah namun seringkali memecah belah. Generasi hari ini memerlukan panduan untuk tetap manusiawi di tengah derasnya perubahan.
Madrasah, dengan kurikulum cinta dan moderasi beragama yang dijalankan secara konsisten, dapat menjadi benteng harapan: tempat lahirnya generasi lembut hati yang kuat nilai, berani berbuat baik, dan siap menjadi penerang bagi masyarakatnya.
Di tangan mereka, masa depan bangsa bukan hanya membanggakan secara ilmu, tetapi juga menyejukkan dalam akhlak.
***
*) Oleh : Aslinda, M.Pd., Kepala MTsN 2 Tanah Datar, Mahasiswa Program Doktoral UMSB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |