https://jakarta.times.co.id/
Opini

Ketika Kebijakan Berbicara Sendiri

Jumat, 26 Desember 2025 - 12:38
Ketika Kebijakan Berbicara Sendiri Tati, S.Pd., MPA., Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kebijakan publik sejatinya adalah bahasa negara untuk berbicara kepada warganya. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, bahasa itu terdengar seperti monolog yang bergema di ruang hampa. Publik menyimak, tetapi tidak sepenuhnya memahami. Negara bergerak, tetapi maknanya tak selalu sampai. Di titik inilah paradoks kebijakan muncul: negara bekerja, namun masyarakat bertanya-tanya.

Penanganan pascabencana di Aceh, Sumatera, dan Sumatera Barat menjadi cermin yang jernih. Luka alam belum sepenuhnya terjahit rehabilitasi infrastruktur tertatih, pemulihan ekonomi warga berjalan pelan, dan trauma sosial masih membekas. Namun di saat yang sama, program-program rutin negara tetap berjalan tanpa banyak penyesuaian konteks. 

Salah satunya Program Makan Bergizi Gratis yang terus beroperasi di tengah libur panjang Natal dan Tahun Baru. Bagi sebagian publik, kebijakan ini memantik tanya: mengapa negara seolah berlari di lintasan berbeda ketika sebagian warganya masih tertinggal di reruntuhan?

Pertanyaan itu penting, bukan sebagai bentuk perlawanan, melainkan sebagai ekspresi kebingungan. Di sinilah problem kebijakan publik hari ini menampakkan wajah aslinya: bukan semata pada substansi kebijakan, melainkan pada jurang pemahaman antara negara dan warga. Ketika masyarakat mempertanyakan relevansi, prioritas, dan urgensi kebijakan, sesungguhnya mereka sedang mengetuk pintu komunikasi yang belum terbuka sepenuhnya.

Maka pertanyaan krusialnya bergeser: ketika kebijakan tidak dipahami publik, siapa yang sesungguhnya bermasalah? Apakah masyarakat yang dianggap kurang literasi kebijakan, atau justru negara yang gagal menjelaskan arah dan makna dari keputusan yang diambilnya?

Dalam kajian administrasi publik, komunikasi kebijakan bukanlah sekadar pengumuman satu arah. Ia adalah proses dialogis, ruang perjumpaan antara negara dan warga. Kebijakan idealnya tidak turun dari langit dalam bentuk instruksi kaku, melainkan lahir dari percakapan sosial yang panjang. 

Pemerintah memang aktor utama, tetapi bukan satu-satunya. Media, akademisi, organisasi masyarakat sipil, aparat lapangan, hingga komunitas terdampak adalah simpul-simpul penting dalam jejaring komunikasi kebijakan. Tanpa mereka, kebijakan mudah kehilangan konteks, seperti peta tanpa legenda.

Teori komunikasi kebijakan menegaskan bahwa komunikasi seharusnya dimulai sejak tahap perumusan, bukan hanya setelah palu keputusan diketok. Negara perlu menjelaskan bukan hanya apa yang dilakukan, tetapi juga mengapa dan dengan konsekuensi apa. Ketika kebijakan disampaikan sebagai produk jadi tanpa ruang dialog, publik hanya menjadi penonton, bukan bagian dari kesepakatan sosial. Di sinilah jarak mulai terbentuk.

Masalah kian rumit ketika pesan kebijakan tidak konsisten. Di satu sisi, negara berbicara tentang empati dan pemulihan pascabencana. Di sisi lain, kebijakan rutin berjalan seolah krisis adalah catatan kaki. Publik membaca sinyal yang saling bersilangan, seperti kompas yang jarumnya berputar tanpa arah. Ketidaksinkronan ini membuat kebijakan tampak formalistik hadir di atas kertas, tetapi terasa asing di realitas.

Komunikasi pemerintah pun sering kali bersifat reaktif. Penjelasan baru datang setelah kritik membesar, klarifikasi muncul setelah polemik mengeras. Dalam konteks kebijakan publik, pola ini membuat komunikasi menyerupai pembelaan, bukan penerangan. Padahal, kebijakan membutuhkan cahaya sejak awal, bukan sekadar tameng setelah disorot.

Persoalan lain adalah bahasa. Bahasa kebijakan kerap terjebak dalam labirin teknokratis: istilah administratif, indikator kinerja, dan logika anggaran. Bagi masyarakat awam, bahasa ini terasa seperti teks asing. Kebijakan akhirnya diketahui, tetapi tidak dipahami. Padahal, kebijakan yang baik seharusnya mampu diterjemahkan ke dalam bahasa keseharian, bahasa yang menyentuh pengalaman warga, bukan sekadar memuaskan laporan.

Keberhasilan kebijakan tidak cukup diukur dari terserapnya anggaran atau tercapainya target administratif. Kebijakan baru benar-benar hidup ketika dipahami, diterima, dan dirasakan manfaatnya. Pemahaman publik adalah fondasi, karena tanpa itu, kebijakan mudah disalahartikan, ditolak, bahkan dilawan.

Untuk menjembatani jurang ini, negara perlu membangun narasi kebijakan yang relevan dengan denyut kehidupan masyarakat. Dalam situasi bencana, misalnya, publik perlu tahu bagaimana kebijakan nasional termasuk program rutin berkaitan dengan pemulihan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Narasi ini bukan kosmetik komunikasi, melainkan jembatan makna.

Selain itu, peran aktor perantara harus diperkuat. Media, akademisi, tokoh masyarakat, dan organisasi sipil adalah penerjemah antara bahasa negara dan bahasa warga. Tanpa mereka, kebijakan rawan dipahami secara parsial. Konferensi pers resmi tidak selalu cukup untuk menjangkau kompleksitas masyarakat yang beragam.

Akhirnya, evaluasi kebijakan harus mencakup dimensi komunikasi. Negara perlu bertanya: apakah kebijakan dipahami sesuai tujuan awal? Survei persepsi, dialog komunitas, dan forum partisipatif bukan pelengkap, melainkan instrumen penting.

Dalam negara demokratis, ketika kebijakan tidak dipahami publik, tanggung jawab utama ada pada negara. Kebijakan yang baik bukan hanya yang dirancang dengan cerdas, tetapi yang mampu berbicara, mendengar, dan menyesuaikan diri. Tanpa komunikasi yang inklusif dan empatik, kebijakan akan terus berbicara sendiri sementara publik mendengarkan dengan jarak.

***

*) Oleh : Tati, S.Pd., MPA., Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.