https://jakarta.times.co.id/
Opini

Pesantren Bangkit di Tengah Badai Pemberitaan

Minggu, 19 Oktober 2025 - 12:42
Pesantren Bangkit di Tengah Badai Pemberitaan Abdurrahman Wahid, Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN & Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Belakangan ini publik kembali ramai memperbincangkan pesantren dan para kiai. Bermula dari musibah robohnya musala di Pesantren Al-Khoziny, lalu disusul tayangan Expose Uncensored di Trans7 yang menyorot kehidupan pondok dengan gaya sensasional.

“Santrinya minum susu saja kudu jongkok. Kiai kaya raya, umatnya yang kasih amplop,” begitu narasinya. Kamera berputar, suara narator menggema, seolah pesantren adalah panggung kemunafikan dan kiai menjadi tersangka sosial.

Pihak televisi tentu paham risiko. Mereka tahu, mengangkat isu pesantren besar dan nama kiai ternama akan mengguncang publik. Namun begitulah hukum industri media: semakin heboh, semakin deras arus iklan. 

Dalam logika rating, kegaduhan adalah keuntungan. Sayangnya, yang dirugikan adalah nalar publik dan perasaan umat yang melihat guru spiritualnya dipotret dengan lensa yang menyudut.

Yang tersakiti bukan hanya santri Al-Khoziny atau Lirboyo, tetapi seluruh keluarga besar pesantren di negeri ini. Sebab ketika satu pesantren dijatuhkan, yang tercoreng bukan hanya nama lembaga, tapi juga nilai keikhlasan dan pengabdian yang diwariskan turun-temurun.

Padahal, kalau mau jujur, pesantren tidak lahir dari kemewahan. Ia tumbuh dari keikhlasan dan kesederhanaan. Sejak masa penjajahan, ketika rakyat kecil terpinggirkan dari pendidikan, para ulama pulang dari Tanah Suci membawa ilmu dan semangat pencerahan. 

Mereka mendirikan pesantren di tanah desa, di bawah pohon, di rumah bambu. Bayarannya bukan rupiah, tapi segenggam beras, hasil bumi, atau ucapan terima kasih. Sebagian bahkan tidak dibayar sama sekali, kecuali keyakinan bahwa ilmu adalah amal jariyah yang tak pernah putus.

Semangat itu belum mati. Sampai hari ini, banyak pesantren masih berdiri dengan modal tulus dan gotong royong. Santri membayar semampunya kadang seratus ribu sebulan, kadang hanya doa. 

Maka jangan heran bila asramanya sederhana, dapurnya bergantian, dan temboknya mulai lapuk. Tapi di balik kesederhanaan itu ada cinta, ada doa, ada keteguhan untuk menjaga cahaya ilmu.

Ketika bangunan roboh, sebenarnya bukan hanya pesantren yang diuji, tapi juga kita: apakah publik masih peduli pada lembaga yang telah mendidik bangsa ini dalam kesunyian? Pesantren membangun dengan tenaga sendiri. Arsiteknya santri, bukan sarjana teknik. Kalau bangunannya tak megah, bukan karena malas, tapi karena dana terbatas.

Namun dari reruntuhan itu justru lahir tuduhan: feodalisme, perbudakan, eksploitasi santri. Tuduhan yang beredar secepat jempol menggeser layar ponsel. Padahal, kiai bermobil mewah hanyalah segelintir, dan banyak di antaranya berusaha keras agar pesantren tidak membebani santri. Tapi yang diangkat media bukan kerja kerasnya, melainkan fotonya di balik setir, dijadikan simbol kemewahan.

Kita hidup di zaman post-truth, ketika kamera lebih dipercaya daripada kenyataan. Sekali kamera menyorot dengan nada sinis, kiai bisa tampak seperti raja kecil; sekali narator menurunkan intonasi, pesantren terdengar seperti kerajaan feodal. Padahal, yang disebut “feodalisme” itu sering kali hanyalah adab.

Mencium tangan kiai bukan bentuk perbudakan spiritual, melainkan penghormatan atas ilmu. Dalam dunia pesantren, ilmu adalah cahaya, dan guru adalah lentera. Santri menghormati bukan karena takut, tapi karena cinta.

Mari jangan keliru memahaminya ini bukan semata perkara santri atau pesantren. Ini soal arah moral bangsa yang kini berdiri di persimpangan, diombang-ambingkan oleh logika pasar yang gemar menukar nilai dengan rating, dan kesalehan dengan sensasi. Bila penghormatan kepada guru mulai dijadikan bahan olok-olok, itu tanda bukan hanya sopan santun yang mundur, tapi jiwa kita yang mulai kehilangan rumahnya.

Sebentar lagi, mungkin kasih sayang kepada orang tua akan ditertawakan atas nama konten lucu, dan doa akan dikemas dalam paket iklan “premium spiritual experience.” Lalu bangsa ini akan sibuk berdebat tentang siapa yang paling religius, sambil lupa bagaimana menjadi manusia yang tahu malu. 

Di titik itulah, santri, guru, dan siapa pun yang masih percaya pada kesantunan batin, mesti berdiri tegak bukan untuk marah, tapi untuk mengingatkan: bahwa tidak semua yang bisa dijual, pantas diperjualbelikan.

Biarlah mereka gelisah. Biarlah mereka merasakan panasnya tudingan dan pahitnya direndahkan. Sebab mungkin di sanalah tersimpan pelajaran yang tak pernah diajarkan di ruang redaksi atau studio: pelajaran tentang adab. 

Adab tak lahir dari gemerlap panggung atau sorot lampu yang menyilaukan, melainkan dari luka kecil yang menumbuhkan empati. Dari pengalaman disalahpahami, manusia belajar menundukkan ego dan memahami arti hormat.

Barangkali hanya melalui getir semacam itu dunia hiburan yang kian riuh bisa bercermin, bahwa tawa yang tumbuh dari penghinaan bukanlah lucu melainkan isyarat bahwa nurani kita sedang kehilangan keseimbangan.

Tentu, pesantren bukan lembaga suci tanpa cela. Ia tetap ruang manusiawi, tempat guru dan murid tumbuh dalam proses panjang pencarian ilmu dan adab. Karena itu, kritik bukanlah musuh. Justru tanda bahwa pesantren masih hidup dan diperhatikan. Sejak dulu, tradisi kritik dan perdebatan ilmiah telah hidup di pesantren. Maka menuduh pesantren anti kritik adalah keliru.

Ada garis halus yang membedakan kritik dari fitnah. Bila pesantren digambarkan tanpa riset, tanpa tabayyun, dan tanpa memahami denyut kehidupannya, maka narasi yang lahir pasti timpang ramai, tapi tak jernih; keras, tapi kehilangan empati. Kritik yang lahir dari ketidaktahuan hanyalah prasangka berwajah ilmiah. 

Pesantren tidak menuntut pujian, hanya keadilan dalam cara diberitakan. Sebab bila pesantren terus diframing dengan lensa curiga, yang rusak bukan hanya citranya, tapi juga kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan moral bangsa.

Sayangnya, sebagian media lebih suka menjual sensasi daripada solusi. Mereka lupa, di balik dinding lusuh pesantren tersimpan sejarah panjang peradaban bangsa. Dari pesantrenlah lahir para ulama pejuang kemerdekaan, guru-guru yang mencerdaskan rakyat kecil, dan penjaga nilai kesetiaan pada tanah air.

Namun pesantren juga harus berbenah. Dunia berubah, cara berkomunikasi pun berubah. Pesantren perlu belajar berbicara kepada publik modern tanpa kehilangan ruhnya. Jangan menutup diri di balik tembok “ketersinggungan”. Sebab ketersinggungan yang berlebihan hanya akan membuat pesantren tampak anti kritik sesuatu yang sesungguhnya bukan jati dirinya.

Kekecewaan para santri terhadap pemberitaan Trans7 merupakan hal yang wajar. Tapi jangan berhenti di amarah. Jadikan amarah itu energi untuk memperbaiki diri menata ulang pesantren agar lebih aman, lebih transparan, dan lebih layak menjadi rumah ilmu bagi anak-anak bangsa.

Masih banyak persoalan besar menunggu keberanian santri untuk turun tangan: korupsi yang mencederai nurani bangsa, ketimpangan sosial-ekonomi yang melebar, demokrasi yang kian rapuh, dan pendidikan yang kehilangan arah kemanusiaannya.

Sudah saatnya santri tampil bukan hanya sebagai pengamat, tapi penggerak. Seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah yang menjawab tantangan zaman dengan karya: mendirikan Nahdlatul Ulama sebagai benteng moral umat, Nahdlatut Tujjar untuk menggerakkan ekonomi rakyat, dan Taswirul Afkar sebagai ruang berfikir yang mencerdaskan. 

Begitu pun yang pernah dilakukan Gus Dur. Di masa ketika negara begitu represif terhadap masyarakat sipil, beliau tidak memilih diam atau berteriak tanpa arah. Ia justru mendirikan Forum Demokrasi Fordem sebuah ruang kecil bagi nurani untuk bernafas di tengah sesak kekuasaan. 

Di situ, Gus Dur menanam keyakinan bahwa kebebasan berpikir dan menyuarakan kebenaran bukanlah musuh negara, melainkan vitamin bagi kemanusiaan.Dari mereka santri belajar, bahwa cara terbaik menghadapi zaman bukan dengan mengeluh, melainkan menyalakan pelita.

Atau, jika mau berpikir lebih jauh, mengapa tidak membeli saham Trans7 saja? Bayangkan bila suatu hari stasiun televisi itu dimiliki oleh pesantren. Para santri bisa patungan saham, mengelolanya untuk syiar Islam dan pendidikan publik. Daripada memusuhi media, lebih baik memilikinya. Dengan begitu, pesantren tak hanya menjadi objek berita, tetapi subjek yang ikut menulis narasi dalam industri media.

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, pesantren harus tetap menjadi penuntun: tempat yang menyeimbangkan akal dan hati, ilmu dan adab, kritik dan kasih. Pesantren tak perlu ikut menari di panggung rating, karena kekuatannya justru terletak pada pengabdian dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Pesantren adalah pelita yang lahir dari ketulusan. Ia berdiri bukan dari megahnya gedung, tetapi dari doa yang tak pernah putus. Ia tetap menyala meski diterpa badai pemberitaan. 

Selama masih ada santri yang belajar dengan hati bersih, dan kiai yang mengajar dengan niat tulus, pesantren akan tetap berdiri. Bukan karena kuatnya tembok, tapi karena kuatnya keyakinan. Sebab yang mereka bangun bukan gedung, tapi jiwa.

***

*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Pengurus Depertemen SDI DPP HEBITREN & Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.