TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dalam beberapa bulan terakhir, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia menggulirkan berbagai kebijakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran di sekolah. Salah satu pendekatan yang kini mulai dikembangkan adalah pembelajaran mendalam (deep learning).
Yakni model belajar yang tidak lagi berfokus pada hafalan dan ujian semata, tetapi pada pemahaman konsep, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah secara kontekstual.
Namun, pembelajaran mendalam tak bisa sekadar diperkenalkan sebagai jargon atau program pelatihan teknis. Ia hanya bisa tumbuh dalam ekosistem pendidikan yang sehat, yang memungkinkan guru bekerja dengan profesionalisme dan fokus penuh pada proses belajar.
Di sinilah persoalan mendasar pendidikan Indonesia kerap muncul: administrasi yang menumpuk, beban non-pembelajaran yang tinggi, dan ruang gerak guru yang sempit. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menegaskan bahwa tanpa reformasi sistem administrasi guru, pembelajaran mendalam tak akan bisa berjalan secara maksimal di lapangan.
Strategi Pendidikan
Sistem administrasi guru yang terlalu birokratis selama ini menyita energi para pendidik. Banyak waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk merancang pembelajaran kreatif justru habis untuk mengisi dokumen, laporan, dan pelaporan sistem yang berulang.
Jika ingin transformasi pendidikan betul-betul menyentuh ruang kelas, maka langkah awal yang tidak bisa ditawar adalah menyederhanakan beban administratif guru. Teknologi digital seharusnya menjadi alat bantu, bukan menambah keruwetan.
Lebih dari itu, guru perlu diberdayakan, bukan hanya sebagai pelaksana kebijakan, melainkan sebagai pembelajar seumur hidup. Di banyak negara, pengembangan profesional guru menjadi kunci keberhasilan reformasi pendidikan.
Di Singapura, misalnya, guru dibekali pelatihan berkelanjutan berbasis kebutuhan nyata mereka di kelas. Lembaga seperti National Institute of Education (NIE) bahkan menjadikan guru sebagai mitra dalam pengembangan kurikulum dan inovasi pembelajaran.
China juga menunjukkan arah serupa. Negeri itu tengah mendorong integrasi kecerdasan buatan dalam pendidikan dasar, termasuk dengan menjadikan pendidikan AI sebagai bagian dari kurikulum sejak usia dini.
Namun, yang lebih penting adalah bagaimana mereka memastikan pelatihan guru dilakukan secara nasional, masif, dan menyeluruh. Guru dilatih bukan hanya untuk mengoperasikan perangkat, tetapi juga memahami filosofi di balik penggunaan teknologi dalam pembelajaran.
Estonia, negara kecil di Eropa Timur, menjadi contoh bahwa skala bukan halangan untuk melakukan lompatan kualitas. Negara ini meluncurkan program AI Leap, yang tidak hanya mengedepankan integrasi digital, tetapi juga pemahaman kritis dan etis terhadap penggunaannya. Pembelajaran mendalam di Estonia disokong oleh kurikulum yang adaptif, infrastruktur digital merata, dan pelatihan guru yang kontekstual.
Indonesia tentu punya tantangannya sendiri. Kesenjangan kualitas dan akses pendidikan masih lebar. Di satu sisi, kita memiliki sekolah-sekolah dengan fasilitas lengkap dan guru yang cukup melek digital. Tapi di sisi lain, banyak sekolah di pelosok yang bahkan belum teraliri listrik dengan stabil, apalagi internet.
Dalam situasi seperti ini, kebijakan pendidikan digital tidak bisa diseragamkan begitu saja. Diperlukan strategi berlapis, yang menyentuh kebutuhan nyata guru dan siswa sesuai konteks lokal masing-masing.
Di tengah kompleksitas tersebut, langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk memfokuskan kebijakan pada tiga hal layak diapresiasi: reformasi sistem administrasi guru, penguatan pengembangan profesional, dan peningkatan kesejahteraan guru berbasis kompetensi.
Ketiganya merupakan kebijakan yang saling menopang. Administrasi yang sederhana memberi ruang bagi guru untuk belajar. Pelatihan yang tepat memberi guru keterampilan yang dibutuhkan. Dan kesejahteraan yang adil menjadi insentif bagi guru untuk terus berkembang.
Ketiga arah kebijakan ini tidak boleh jalan sendiri-sendiri. Mereka harus bergerak serempak dalam satu arah besar: menciptakan ruang belajar yang bermakna. Pembelajaran mendalam tidak akan bisa hidup jika guru terus-menerus dihimpit tekanan administratif.
Ia juga tidak akan berkembang jika guru tak mendapatkan pembaruan kompetensi yang bermakna. Dan pada akhirnya, tak akan tumbuh budaya belajar di sekolah jika kesejahteraan guru terus berada di bawah tekanan.
Kita harus mulai melihat guru sebagai pusat dari transformasi pendidikan, bukan sekadar pelaksana. Memberikan mereka kepercayaan, dukungan, dan kesempatan belajar yang setara akan melahirkan ruang kelas yang dinamis dan manusiawi.
Teknologi digital memang penting, tetapi ia tidak bisa berdiri sendiri. Ia hanya akan berdampak jika digunakan oleh guru-guru yang punya semangat, kapasitas, dan kondisi kerja yang memungkinkan.
Pembelajaran mendalam merupakan inovasi strategis. Ia mencipta pengalaman belajar yang menyentuh, membentuk cara berpikir, dan merangsang keingintahuan. Ia memerlukan guru yang tidak hanya tahu materi, tetapi juga tahu cara menyalakan rasa ingin tahu dalam diri muridnya.
Indonesia tidak kekurangan semangat atau kebijakan. Yang kita butuhkan kini adalah keberanian untuk memperkuat sistem pembelajaran secara menyeluruh, konsistensi dalam implementasi, dan mendukung transforasi sumberdaya serta lembaga.
Karena sejatinya, perbaikan kualitas pendidikan bukan soal apa yang kita rumuskan di atas kertas, tetapi apa yang benar-benar terjadi di ruang kelas—antara guru, siswa, dan proses belajar yang hidup. Di sanalah masa depan pendidikan Indonesia menemukan cahaya.(*)
***
*) Oleh : Wibowo Mukti, Kepala Balai Layanan Platform Teknologi Kemendikdasmen.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |