TIMES JAKARTA, JAKARTA – 26 Juni 2025 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan permohonan Perludem. Isinnya adalah di tahun 2029 Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dielenggarakan terpisah.
Putusan tersebut menjadi diskusi hangat masyarakat baik di tongkrongan warung kopi maupun di beranda media sosial. Sebagian besar mendukung penuh keputusan tersebut, sebagian lainnya berpendapat bahwa putusan MK berpotensi mengalami tabrakan konstitusi.
Jika dilihat lebih dalam, mereka yang kontra melihat putusan No 135 menabrak pasal 22E ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 tentang keserentakan pemilu. Beberapa politisi menyampaikan putusan ini seolah MK mengambil alih tugas DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk Undang-undang.
Mendukung Pemisahan Pemilu
Melihat diskusi hangat mengenai putusan MK, saya pun mencoba melihat dengan seksama, dan melihat benang merah bahwa putusan tersebut sudah tepat untuk memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Alasan yang pertama adalah pemisahan pemilu tujuannya untuk mempermudah tugas teknis penyelenggara pemilu dan meningkatkan kualitasnya.
Belajar dari Pemilu 2019 dan 2024, banyak catatan mengenai kualitas penyelenggaran, bahkan menimbulkan korban jiwa dan dampaknya adalah “yang penting selesai” karena jika tidak akan terkena berbagai tuduhan.
Hal ini dilihat berdasarkan pengalaman di lapangan baik tingkat TPS, Kelurahan/Desa dan tingkat Kecamatan. Banyak penyelenggara yang sudah kelelahan, dikejar waktu sehingga banyak masukan dan juga proses yang terlewat karena harus mengejar deadline.
Bukan hanya itu, proses Pra Pemilihan juga menjadi tantangan, di mana banyak surat suara yang tertukar, dan membutuhkan waktu lama dalam pengembaliannya. Ini membuktikan proses QC dalam produksi Surat Suara dan distribusi belum maksimal karena telalu banyak surat suara yang harus dicetak.
Belum lagi proses rekrutmen penyelenggara di tingkat akar rumput yang masih lelah dengan penyelenggaran di bulan Februari, lalu proses Pilkada yang seakan terburu-buru membuat mereka enggan menjadi penyelenggara lagi khususnya di TPS.
Alasan kedua pemisahan pemilu adalah untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Memang dalam Pemilu Serentak pada Februari 2024 partisipasi meningkat, namun dalam Pilkada Serentak 2024, partispasi menurun, contoh paling nyata adalah Pilkada Serentak di Kota Bekasi.
Banyak temuan yang mengatakan bahwa masyarakat merasa jenuh akan pemilhan, proses kampanye yang seolah-olah membohingi mereka. Beberapa di antaranya mengatakan “untuk apa saya memilih, tidak akan ada perubahan”.
Selain itu, masyarakat juga menilai dengan adanya Pilkada Serentak seperti tidak ada pilihan, karena orang-orang yang maju di Pileg, beberapa muncul kembali di Pilkada, belum juga bekerja sudah mencalonkan diri menjadi kepala daerah membuktikan ambisi yang besar namun tidak dibarengi dengan kerja yang konkret.
Terakhir adalah pemisahan pilkada ini memberikan ruang bagi Partai Politik untuk melakukan kaderisasi dan pendidikan politik yang maksimal. Jadi jangan sampai orang yang dipilih di Pemilu, harus turun dan dipilih lagi di Pilkada. Hal ini memperlihatkan kaderisasi yang gagal sehingga terjadi 4 L atau lo lagi, lo lagi.
Memaksimalkan Kewenangan DPR
Memang, diskursus mengenai pemisahan Pemilu lebih banyak terjadi di kalangan politis, namun saya menilai bahwa momentum ini menjadi peluang untuk memaksimalkan kewenangan DPR dalam menyusun Revisi Undang-undang Pemilu.
Seharusnya para politisi selain memunculkan diskursus hangat di media sosial perlu juga memberikan solusi-solusi atas dasar masalah dalam pemisahan pemilu ini. Jangan sampai hanya menjadi tong kosong yang nyaring bunyinya.
DPR RI melalui Komisi 2 harus bergerak cepat melakukan asesmen, kajian, dan juga dengar pendapat dengan publik agar penyusunan Revisi UU Pemilu bisa secepat revisi UU TNI.Tujuannya agar persoalan penabrakan konstitusi tidak berlarut larut.
Jika melihat putusan MK yang lain, revisi UU Pemilu bukan sekadar pemisahan pemilu saja, akan tetapi ada beberapa Daftar Inventarisir Masalah yang sudah ada, seperti batasan penghapusan ambang batas Pilpres, Perubahan Ambang Batas Pilkada, dan penafsiran usia minimal calon kepala daerah.
Memang, dalam pemisahan Pemilu masih ada satu masalah yang cukup mendasar, yaitu ketika Pemilihan DPRD dilaksanakan di sekitar tahun 2030, apakah akan dibiarkan kosong, atau ada perpanjangan bagi periode ini?
Untuk menjawab hal itu, memang butuh kajian mendalam khususnya bagi DPR karena saya kira mereka enggan tanggung jawabnya seolah diambil oleh MK bukan? Jangan sampai putusan MK saat ini ditolak lalu perubahan pencalonan usia Capres/Cawapres 2023 lalu diterima seakan para politisi memiliki standar ganda.
Jika dilihat, setiap putusan MK mengenai Pemilu dari batas umur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden hingga yang terbaru pemisahan pemilu ini selalu menghangatkan publik dengan berbagai dinamika. Dan menurut saya sangat bagus karena akan memunculkan suatu kebijaksanaan dalam keputusan ke depan.
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |