TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dalam diskursus manajemen pajak modern, perusahaan terus mencari titik temu antara optimalisasi beban fiskal dan pemenuhan tanggung jawab sosial yang berkelanjutan.
Dua instrumen yang sering dibandingkan adalah pembayaran zakat perusahaan melalui BAZNAS atau LAZ yang disahkan pemerintah, dan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR), terutama yang dilakukan dalam bentuk sumbangan langsung ke yayasan.
Keduanya membawa nilai moral dan sosial, namun secara fiskal memiliki konsekuensi yang berbeda. Analisis komprehensif antara zakat perusahaan dan CSR menjadi penting agar badan usaha dapat mengambil keputusan yang rasional, efisien, dan sesuai regulasi.
Perbedaan yang paling mendasar terlihat dari status pengurang pajak, yang langsung menentukan efektivitas strategi manajemen pajak perusahaan. Pada skema zakat melalui BAZNAS atau LAZ yang disahkan, pengeluaran zakat dapat menjadi pengurang penghasilan bruto, sehingga langsung menurunkan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan pada akhirnya menurunkan PPh Badan.
Ketentuan ini berlandaskan PP 60/2010 dan PMK 254/2010 yang memberi legitimasi penuh bagi zakat perusahaan untuk dibebankan sebagai biaya dalam perhitungan pajak. Kejelasan regulatif ini menjadikan zakat sebagai instrumen tax planning yang aman dan efektif.
Sebaliknya, CSR berupa sumbangan langsung ke yayasan tidak otomatis mengurangi penghasilan bruto perusahaan. Hanya CSR yang memenuhi syarat ketat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i UU PPh yang dapat dikategorikan deductible expense.
Syaratnya pun berat: CSR tersebut harus berkaitan langsung dengan kegiatan usaha, mendukung operasional, dan tidak tergolong sumbangan yang bersifat non-deductible sesuai Pasal 9 ayat (1).
Dalam praktik umum, sumbangan sosial ke yayasan cenderung bersifat non-deductible kecuali dapat dibuktikan memiliki direct business relevance yang kuat. Konsekuensi fiskalnya jelas: salah perancangan CSR dapat menyebabkan koreksi fiskal positif yang membebani perusahaan.
Dari aspek persyaratan regulasi, terdapat perbedaan mencolok. Pada skema zakat, pengeluaran perusahaan hanya akan diakui secara pajak apabila disalurkan ke BAZNAS pusat atau daerah, atau LAZ nasional/provinsi yang disahkan pemerintah.
Bukti setor harus lengkap dan memenuhi ketentuan administrasi. Struktur regulasi zakat bersifat sangat jelas, tegas, terukur, dan minim interpretasi. Hal ini memudahkan perusahaan merancang strategi pajaknya.
Namun CSR bekerja sebaliknya. Sumbangan CSR harus melalui program yang relevan dengan kegiatan usaha, didukung dokumen formal seperti proposal, MoU, laporan penggunaan dana, dan bukti bahwa program CSR berada dalam kerangka yang diakui oleh pajak.
Jika tidak memenuhi seluruh dokumen pendukung atau tidak dapat dibuktikan relevansinya dengan kegiatan usaha, maka pengeluaran CSR menjadi biaya non-deductible.
Perbedaan lainnya muncul dalam dampak langsung terhadap laporan pajak. Pada zakat, seluruh pengeluaran yang memenuhi kriteria akan dicatat sebagai allowable deduction, mengurangi laba fiskal, dan memperkecil PPh Badan.
Pada sisi lain, pengeluaran CSR tidak akan mengurangi pajak secara otomatis. CSR hanya akan diakui jika seluruh syarat terpenuhi. Apabila tidak terpenuhi, biaya CSR menjadi komponen koreksi fiskal positif yang menambah PKP dan meningkatkan beban pajak.
Dalam konteks reputasi perusahaan, kedua instrumen ini juga memiliki karakteristik yang berbeda. Zakat cenderung memperkuat reputasi syariah perusahaan dan menunjukkan kepatuhan terhadap ketentuan agama serta regulasi negara. Kelebihannya, reputasi ini diperkuat oleh mekanisme distribusi zakat yang terukur dan akuntabel melalui lembaga resmi.
Sementara itu, CSR menawarkan fleksibilitas reputasional yang lebih luas. Melalui CSR, perusahaan dapat menyalurkan program kesehatan, pendidikan, lingkungan, hingga pemberdayaan, sehingga memberikan dampak sosial langsung yang dapat dilihat publik. Branding perusahaan sering kali lebih kuat melalui program CSR.
Perbedaan fungsi sosial juga terlihat dalam keleluasaan penggunaan dana. Zakat hanya dapat digunakan untuk delapan kelompok asnaf yang telah ditentukan. Ini membatasi fleksibilitas program, tetapi memastikan kesesuaian syariah.
Sementara itu, CSR memungkinkan perusahaan mendanai pembangunan klinik, pengadaan peralatan medis, bantuan kemanusiaan, hingga penguatan layanan kesehatan tanpa batasan asnaf.
Jika seluruh perbedaan konseptual tersebut dirangkum, akan tampak gambaran yang cukup jelas. Zakat melalui LAZ/BAZNAS dapat mengurangi penghasilan bruto dan beban PPh, memiliki dasar hukum yang tegas (PP 60/2010, PMK 254/2010), dan memiliki risiko fiskal sangat rendah.
Sementara CSR ke yayasan lebih fleksibel dalam realisasi program sosial, namun tidak otomatis menjadi pengurang pajak, tunduk pada syarat-syarat ketat UU PPh, dan memiliki risiko fiskal tinggi apabila salah perancangan.
Karena itu, perusahaan harus mampu memadukan strategi sosial dan fiskal secara bersamaan. Zakat memberikan manfaat fiskal langsung; CSR memberikan manfaat reputasi yang luas.
Keduanya bukan untuk dipertentangkan, tetapi diintegrasikan dalam kerangka manajemen pajak dan tanggung jawab sosial yang cerdas, akuntabel, dan berkelanjutan.
***
*) Oleh : Dr. Muhammad Aras Prabowo, Pengamat Ekonomi UNUSIA.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |