TIMES JAKARTA, JAKARTA – Reshuffle kabinet selalu ditunggu, tapi kali ini meninggalkan catatan serius. Pergantian menteri keuangan dari tangan Sri Mulyani menjadi pukulan telak, bukan hanya soal teknokrasi fiskal, tetapi juga representasi perempuan di lingkar kekuasaan.
Dengan keluarnya tokoh yang selama ini menjadi simbol integritas dan kapasitas global, wajah kabinet Indonesia makin tampak maskulin.
Sejak reformasi, jumlah menteri perempuan tidak pernah stabil. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid ada enam perempuan yang duduk di kursi menteri, angka yang cukup progresif untuk konteks saat itu.
Di era Megawati, ironisnya ketika Indonesia dipimpin oleh seorang presiden perempuan jumlahnya justru turun menjadi dua. Meskipun era Susilo Bambang Yudhoyono sempat sedikit membaik, dengan empat perempuan di periode pertama dan lima pada periode kedua.
Presiden Joko Widodo kemudian mencatat sejarah pada periode pertamanya, dengan menempatkan delapan perempuan dalam kabinet 2014–2019. Angka itu merupakan rekor tertinggi, yakni sekitar 23% dari total 34 menteri.
Capaian itu ternyata tidak bertahan lama. Pada periode kedua, jumlah perempuan kembali menyusut menjadi lima. Kini, setelah reshuffle terbaru yang menggeser Sri Mulyani, angka itu kembali merosot, hanya sekitar 15% kursi kabinet yang diisi perempuan.
Penurunan ini mencolok jika dibandingkan dengan fakta bahwa perempuan adalah setengah dari populasi Indonesia. Representasi politik yang timpang bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal kualitas demokrasi.
Sebab demokrasi yang sehat menuntut keterlibatan semua kelompok warga negara, termasuk perempuan, dalam lingkar pengambilan keputusan.
Mengapa Perempuan Penting?
Teori kepemimpinan perempuan memberikan penjelasan mengapa representasi mereka berpengaruh pada kualitas kebijakan. Riset dalam bidang transformational leadership menunjukkan bahwa perempuan sering membawa gaya kepemimpinan yang lebih kolaboratif, partisipatif, dan berorientasi pada visi jangka panjang.
Mereka cenderung mengedepankan komunikasi dua arah, membangun konsensus, dan mendorong kerja sama lintas sektor, ketimbang gaya kepemimpinan hierarkis yang lebih kaku.
Selain itu, konsep ethics of care dalam teori kepemimpinan feminis menekankan bahwa perempuan sering membawa perspektif kepedulian yang kuat dalam memimpin.
Kepedulian ini tidak sekadar bersifat emosional, tetapi menjadi kerangka etis dalam merumuskan kebijakan publik misalnya pada isu kesehatan ibu-anak, pendidikan, perlindungan pekerja migran, hingga kebijakan sosial yang berpihak pada kelompok rentan.
Ada pula role congruity theory yang menyebut bahwa hambatan utama perempuan bukan pada kompetensinya, tetapi pada stereotip sosial yang masih menilai kepemimpinan sebagai “domain laki-laki”.
Akibatnya, sekalipun perempuan terbukti kompeten, mereka seringkali dinilai tidak “cocok” dengan citra pemimpin. Teori ini membantu menjelaskan mengapa representasi perempuan di kabinet mudah sekali menyusut ketika ada pergantian politik, seolah posisi mereka tidak dianggap prioritas.
Konteks Indonesia memberi bukti nyata. Sri Mulyani selama ini berhasil menjaga stabilitas fiskal di tengah tekanan pandemi dan ketidakpastian global. Retno Marsudi konsisten membawa diplomasi Indonesia ke panggung internasional, dari isu Palestina hingga krisis Myanmar. Susi Pudjiastuti, meski tanpa latar akademis formal, membangun paradigma baru soal kedaulatan maritim dengan tegas menenggelamkan kapal asing.
Ketiganya menunjukkan bahwa ketika perempuan diberi ruang, kebijakan yang lahir bukan hanya responsif, tetapi juga mampu menembus batas tradisi dan menghadirkan inovasi.
Belajar dari Negara Tetangga
Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, Indonesia sebenarnya pernah berada di jalur yang cukup progresif. Filipina telah lama menjadi contoh, dengan dua presiden perempuan, Corazon Aquino dan Gloria Arroyo yang berhasil memimpin di masa-masa transisi sulit.
Singapura, meski konservatif dalam politik, konsisten memperluas peran perempuan di kementerian-kementerian strategis, terutama dalam bidang kesehatan dan pembangunan sosial. Malaysia mulai membuka ruang lebih besar, meskipun keterwakilan perempuan masih terbatas.
Indonesia sempat mencatatkan capaian bersejarah pada 2014 ketika menempatkan delapan perempuan dalam kabinet. Namun alih-alih melanjutkan capaian itu, representasi perempuan justru kembali mundur.
Jika tren ini dibiarkan, Indonesia berisiko tertinggal dari negara-negara tetangga dalam mewujudkan kepemimpinan politik yang inklusif.
Kehadiran perempuan di kabinet sering diperlakukan sebagai simbol politik. Namun pengalaman membuktikan bahwa perempuan tidak sekadar mengisi kursi, melainkan memberi substansi nyata dalam arah kebijakan.
Perempuan membawa perspektif yang lebih luas tentang kehidupan sehari-hari masyarakat tentang pendidikan anak, akses kesehatan, perlindungan pekerja, dan pengelolaan ekonomi keluarga yang sering luput dari kacamata kebijakan maskulin.
Berkurangnya jumlah perempuan di kabinet adalah tanda kemunduran. Demokrasi tanpa keterwakilan perempuan yang memadai akan pincang, karena separuh perspektif bangsa tidak tersampaikan di ruang pengambilan keputusan.
Keluarnya Sri Mulyani seharusnya menjadi alarm keras bahwa keterwakilan perempuan tidak boleh bergantung pada figur-figur besar semata. Sistem politik harus menjamin bahwa perempuan punya ruang substantif untuk berkontribusi, bukan sekadar dekorasi demokrasi.
Reshuffle kabinet bukan hanya soal bongkar pasang kursi kekuasaan, tetapi juga refleksi arah politik bangsa. Hilangnya Sri Mulyani dari lingkaran kabinet memperlihatkan bahwa representasi perempuan kian menyusut, dan itu adalah sinyal bahaya.
Demokrasi yang sehat menuntut keberagaman perspektif, termasuk perspektif perempuan yang membawa kepemimpinan kolaboratif, empatik, dan visioner.
Tanpa keterlibatan perempuan secara substantif, kebijakan negara berisiko gagal menyentuh realitas setengah dari populasi negeri ini. Reshuffle kali ini menjadi pengingat: bangsa ini sedang berjalan pincang, kehilangan separuh akal sehat dan nuraninya. (*)
***
*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |