TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sepuluh anak muda mengalami depresi, tapi hanya satu yang mencari bantuan profesional. Sembilan lainnya memilih diam. Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga mencatat 61 persen dari mereka pernah berpikir mengakhiri hidup.
Kesenjangan antara penderitaan dan pencarian pertolongan ini bukan soal akses atau informasi semata, ini soal apakah seseorang merasa aman untuk mengakui kerentanannya.
Media sosial selalu jadi tersangka pertama. Remaja yang menggunakannya lebih dari tiga jam sehari memang berisiko mengalami gangguan mental, begitu kata penelitian. Tapi ini bukan tentang berapa jam mereka di depan layer, ini tentang mengapa mereka lebih memilih berbicara ke akun anonim ketimbang ke orang-orang di rumah mereka.
Teknologi tidak menciptakan isolasi emosional. Isolasi itu sudah ada lebih dulu, dan akarnya ada di tempat yang jarang kita perhatikan. Kualitas relasi dalam keluarga.
Riset psikologi menunjukkan dengan konsisten bahwa faktor terbesar kesehatan mental remaja adalah kualitas hubungan dalam keluarga, bukan status ekonomi atau tingkat pendidikan. Masalahnya, banyak keluarga hari ini berbagi ruang tapi tidak berbagi kehidupan.
Remaja memang sedang dalam proses belajar mandiri, mengembangkan identitas dan ketahanan diri. Tapi kemandirian yang sehat tidak dibangun dalam isolasi, ia tumbuh dari pengalaman didengar, direspons dengan empati, dan melihat bagaimana orang dewasa di sekitarnya menangani kerentanan mereka sendiri.
Kita sudah terlalu akrab dengan retorika "mental kuat" sampai lupa bahwa kekuatan sejati bukan soal tahan sendirian, tapi tahu kapan meminta bantuan. Budaya yang merayakan ketahanan individual tanpa ruang untuk kerentanan menciptakan generasi yang pandai tampil baik-baik saja meski sebenarnya tidak.
Keretakan relasi ini punya dampak yang meluas. Anak-anak yang tidak belajar empati dan komunikasi sehat di rumah akan membawa pola yang sama ke luar. Bullying, misalnya, bukan sekadar masalah oknum anak nakal, ini cerminan dari sistem nilai yang kita wariskan.
Anak-anak belajar memperlakukan orang lain dari mengamati orang dewasa: dari gurauan merendahkan yang kita anggap biasa, dari cara kita membicarakan orang yang berbeda, dari respons kita terhadap kelemahan.
Pola yang sama terlihat dalam angka perceraian yang terus meningkat, hampir 400 ribu pasangan dalam setahun. Ini sering ditafsirkan sebagai krisis moral, padahal bisa jadi ini tentang kejujuran yang tertunda.
Banyak pernikahan dibangun untuk penampilan sosial, bukan keintiman sejati. Ketika fondasi relasi rapuh sejak awal, tidak ada komunikasi jujur, tidak ada ruang untuk konflik yang sehat, keretakan tinggal menunggu waktu.
Krisis relasi ini tidak hanya terjadi di ranah pribadi. Guru, petugas kesehatan, polisi, pekerja sosial, mereka yang berhadapan dengan trauma orang lain setiap hari, justru sering diabaikan kebutuhan mental mereka sendiri.
Narasi heroisme yang kita lekatkan justru berbahaya, seolah-olah mereka harus tahan terhadap apa pun. Padahal mereka juga butuh didengar, bukan hanya dituntut untuk terus memberi.
Ini semua kembali ke persoalan awal: stigma. Mengakui "tidak baik-baik saja" masih dianggap kelemahan. Kita punya kampanye kesadaran mental di mana-mana, tapi dalam praktik sehari-hari stigma tidak berkurang.
Kesadaran tanpa perubahan sikap nyata hanya menghasilkan empati performatif. Inilah mengapa sembilan dari sepuluh anak muda dengan depresi memilih diam, bukan karena mereka tidak tau harus kemana, tapi karena lingkungan tidak membuat mereka merasa aman untuk berbicara.
Pertanyaannya bukan lagi tentang bagaimana membuat mereka lebih kuat, atau bagaimana memperbanyak layanan konseling. Bukan juga soal siapa yang salah, orang tua, sekolah, atau anak muda itu sendiri. Pertanyaannya adalah: nilai apa yang membuat kerentanan dianggap aib?
Menjadi dewasa memang berarti belajar mandiri, tapi proses itu tidak terjadi dengan cara memaksakan diri menanggung segalanya sendirian. Selama kita tidak mau menghadapi pertanyaan mendasar ini, selama kita masih nyaman menyebut generasi muda "lemah" tanpa memeriksa sistem nilai yang kita wariskan, sembilan itu akan terus diam. Dan kita akan terus kehilangan mereka, satu per satu, dalam keheningan yang sebenarnya bisa kita cegah.
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |