https://jakarta.times.co.id/
Opini

Asta Cita dan Pembangunan Desa Berkelanjutan

Senin, 12 Mei 2025 - 09:12
Asta Cita dan Pembangunan Desa Berkelanjutan Dr. H. M. Afif Zamroni, Lc., M.E.I., Staf Khusus Menteri Desa & PDT

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Asta Cita Presiden RI Prabowo dalam butir keenamnya menyebutkan membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Misi ini menekankan pembangunan yang dimulai dari desa dengan tujuan pemerataan ekonomi dan percepatan pengentasan kemiskinan. 

Menjawab misi ini Desa sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia memegang peranan krusial. Desa bukan sedekar hamparan geografis dan populasi tertentu, akan tetapi sebagai pondasi sosial, ekonomi, budaya yang menopang keberlangsungan negara. 

Bapak Koperasi Indonesia, Mohammad Hatta, pernah mengatakan bahwa "Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa". Ungkapan ini bukan hanya menyiratkan kesan dan harapan akan peranan desa dalam membangun Indonesia.

Lebih dari itu tersirat sebuah pesan bahwa pengelolaan segala sumber daya yang ada harus dilakukan dengan penuh keseriusan dan kematangan manajerial. 

Opini ini membahas makalah saya yang saya sampaikan dalam Kuliah Umum Pascasarjana di Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya, Jawa Timur Minggu (11/5) lalu tentang pentingnya peranan Pembangunan Desa Berkelanjutan dan kaitannya dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. 

Kompleksitas Permasalahan Desa di Indonesia

Perbincangan tentang desa yang ada selama ini masih berkutat pada stigma dan stereotip yang minor. Mulai dari kuranganya potensi desa, kemiskinan, keterbelakangan, ketimpangan, buruknya infrastruktur desa, angka pengangguran di desa, sampai akseptabilitas pada layanan kesehatan dan pendidikan. 

Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, karena menurut data Jurnal Litbang Vol. 16 No. 1 Bulan Juni 2020  menyebutkan bahwa angka kemiskinan perkotaan mencapai 9,87%. Hal ini berarti lebih baik dari angka kemiskinan perdesaan yang masih berada pada angka 16,56%.

Kondisi tersebut yang menyebabkan tingginya angka urbanisasi. Permasalahan perpindahan sumber daya perdesaan melalui proses urbanisasi perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, utamanya terkait dengan peningkatan sumber daya manusia. 

Arus urbanisasi yang tidak mungkin dihindari diharapkan tidak membuat desa semakin tertinggal. Sebagaimana diketahui bahwa sumber daya manusia adalah salah satu faktor yang memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan. 

Badan pusat statistik pada tahun 2010 merilis tingkat urbanisasi di Indonesia sebesar 49,8% (Badan Pusat Statistik, 2013). Berdasarkan proyeksi yang dilakukan, maka tingkat urbanisasi meningkat menjadi 72,9% pada tahun 2045. 

Bahkan untuk beberapa provinsi yang terletak di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan diproyeksikan memiliki tingkat urbanisasi yang lebih tinggi dari tingkat urbanisasi nasional. Dengan demikian, dalam kurun waktu 35 tahun jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 46,39%.

Jika kita abai terhadap masalah yang ada di desa bukan tidak mungkin gelombang urbanisasi akan terus meningkat, seperti yang pernah terjadi di Jepang. Generasi muda bermigrasi ke kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya untuk mencari peluang kerja, pendidikan, dan gaya hidup modern. 

Akibatnya, banyak desa menjadi kota hantu (ghost town), dengan rumah dan lahan yang tidak terurus. Fenomena ini dikenal sebagai akiya (rumah kosong), yang jumlahnya diperkirakan mencapai 7 juta rumah pada 2024. Penurunan jumlah petani dan pertanian tradisional berdampak pada produksi pangan domestik Jepang, yang mengancam ketahanan pangan di masa depan.

Desa dengan Kekayaan Potensinya

Desa tidak boleh dianggap remeh temeh apalagi menurut Data Badan Pusat Statistik yang diperbarui pada 26 Februari 2025, menyebut desa di Indonesia secara keseluruhan berjumlah 84048. Jumlah ini termasuk Unit Permukiman Transmigrasi. 

Artinya, ibu kandung republik ini adalah desa, nuansa kehidupan masyarakat desa mencerminkan gambaran nyata kehidupan masyarakat bangsa ini. Setiap keputusan besar Negara ini ada di tangan warga desa, karena berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri diketahui bahwa 91 persen wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan wilayah perdesaan. Sedangkan dalam data di Badan Pusat Statistik (2000) menunjukkan bahwa 43 persen penduduk Indonesia ada desa. 

Indonesia adalah salah satu dari 17 negara mega-biodiversitas di dunia. Hutan tropis, satwa endemik, serta ekosistem laut seperti terumbu karang menjadikan Indonesia pusat keanekaragaman hayati dunia. Pengakuan ini berasal dari Conservation International. 

Informasi ini tercantum dalam profil negara Indonesia di situs resmi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Kekayaan sumber daya alam yang luar biasa tersebut mayoritas juga berada di kawasan desa. 

Desa dengan potensi sumber daya alam, budaya, sosial, dan keragaman hayati yang melimpah, bisa menjadi kekuatan yang  sangat signifikan. Lalu menjadi pilar utama dalam membangun perekonomian nasional berkelanjutan. 

Strategi Pembangunan Desa Berkelanjutan

Pendekatan kebijakan pembangunan yang dilaksakan selama ini perlu dipikirkan kembali. Berkembangnya kawasan kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah, tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah di sekitarnya.

Pembangunan yang berkembang selama ini telah melahirkan kemiskinan dan pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan. Untuk itu tantangan pembangunan ke depan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian dan perdesaan secara berimbang. 

Strategi pembangunan perdesaan yang cocok adalah supaya memperhatikan tiga sektor ini. Pertama, sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor. Kedua, kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi. 

Ketiga, small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar.

Oleh karenanya, spirit UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pengakuan atas wewenang desa secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (1) yang menyebutkan:

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Artinya, adanya keterlibatan masyarakat, kegiatan perencanaan pembangunan di desa diharapkan dapat menjawab berbagai kebutuhan dan permasalahan masyarakat dalam pembangunan guna pencapaian kesejahteraan hidup. 

Seperti adagium khazanah tradisi Jawa, “Mawa Desa, Mawa Tata, Mawa Cara” yang secara sederhana bisa kita terjemahkan sebagai berikut, “Setiap Desa memiliki kekhasan dalam mencari cara dan gaya tata kelolanya”. Artinya secara tradisi bangsa kita sesungguhnya sudah memberi amanat dan ruang yang leluasa dalam pengelolaan dan kebijaksanaan di tingkatan desa. 

Pendekatan Pembangunan Desa Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan dimana pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi; dan perubahan kelembagaan memiliki keselarasan dan peningkatan potensi pada saat sekarang dan masa yang akan datang. 

Proses tersebut berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup dan penyampaian aspirasi atau keinginan manusia itu sendiri. (Laporan World Commission on Environment and Development: Our Common Future / WCED (1987).

Konsep pembangunan berkelanjutan terdapat tiga bagian pilar pembangunan yang penting dan saling bergantung satu dan lainnya dalam satu lingkaran yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. 

Pembangunan berkelanjutan adalah sebuah upaya dalam pembangunan yang sangat kompleks dan menyangkut aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan politik dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. (Buku: The "Age Of Sustainable Development”, Jeffrey Sachs (2015). 

Salah satu pendekatan keberlanjutan untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah melalui pendekatan penguatan sosial budaya masyarakat desa. Ketahanan Sosial-Budaya masyarakat desa memegang peranan krusial dalam mewujudkan tata kelola pembangunan desa berkelanjutan. Pendekatan ini bisa diterapkan apabila desa memiliki kepemimpinan yang sehat. Kepala Desa menjadi kunci dalam membangun harmoni pembangunan desa berkelanjutan. 

Adanya regulasi dan kebijakan, dari pemerintah dan pemangku kepentingan harus mengimplementasikan regulasi yang ketat untuk melindungi lingkungan dan budaya lokal dari dampak negatif imbas persoalan urbanisasi dan kesenjangan ekonomi. Kepala Desa tidak boleh menjalankan roda pemerintahannya hanya berdasar arahan atau petunjuk teknis dari pimpinan di atasnya. 

Gaya kepemimpinan kepala desa yang demokratis dan merakyat yakni dengan berinteraksi dengan masyarakat desa membuat masyarakat semakin menghargai kepala desanya dan akan tercipta suasana desa yang kondusif agar terwujud koordinasi dan komunikasi terbuka dalam rangka pencapaian tujuanpembangunan desa. 

Dengan gaya kepemimpinan yang demokratis seperti itu maka dalam setiap program pembangunan yang akan dilaksanakan selalu didahului dengan koordinasi dengan cara musyawarah dan selalu membuka komunikasi dengan masyarakat yaitu dengan memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk mengeluarkan ide atau pendapat bahkan kritik mereka.

Setiap tantangan yang dihadapi dapat diatasi dengan strategi yang tepat, kolaborasi, dan komitmen bersama untuk membangun desa. Keterlibatan secara aktif masyarakat yang diatur dalam musyawarah desa adalah upaya untuk memaksimalkan peran desa untuk terus menjadi sumber kekuatan ekonomi bagi bangsa Indonesia yang kita harapkan bersama menjadi Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur, Gemah Ripah loh Jinawi, Tata Tentrem Kerta Raharja. Membangun Desa, Membangun Indonesia.

***

*) Oleh : Dr. H. M. Afif Zamroni, Lc., M.E.I., Staf Khusus Menteri Desa & PDT.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.