TIMES JAKARTA, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) banyak mengeluarkan putusan yang membatalkan keberlakuan norma dalam undang-undang. Teranyar yang mendapat banyak sorotan publik adalah Putusan 135/PUU-XXII/2024 dan 21/PUU-XXIII/2025.
Keberadaan putusan MK menjadi artikulasi formal yang menerjemahkan nilai-nilai konstitusionalisme ke dalam peraturan rigid seperti undang-undang. Sebagai naskah yang statis, MK bertugas menafsirkan konstitusi (the sole of interpreter of the constitution) melalui putusan-putusannya.
Dalam tatanan itu tafsir konstitusional MK dikonsepsikan sebagai putusan yang final dan mengikat. Baik warga negara, pemerintah, maupun lembaga negara harus tunduk dan taat pada putusan MK. Dengan demikian, mengabaikan putusan MK sama saja dengan melanggar konstitusi.
Belakangan ini, putusan MK cenderung diabaikan. Hal itu tampak sekali dengan sikap politik pemerintah dan DPR yang tidak kunjung menunjukkan itikad baik. Pemerintah dan DPR justru kerap memberikan kritik dan ketidaksepahaman dengan putusan MK. Mereka cenderung menempatkan putusan MK sebagai bagian dinamika pendapat politik yang sewaktu-waktu dapat disikapi sesuai selera yang ada.
Misalnya, alih-alih menjalankan amanat konstitusional pada Putusan 135/PUU-XXII/2024, MK justru dinilai melanggar konstitusi. DPR menganggap putusan tersebut tidak sejalan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Ramai-ramai fraksi di DPR memberikan kritik dan menolak putusan tersebut untuk dijalankan.
Hal ini mendobrak akal sehat warga dalam bernegara. Bagaimana mungkin suatu lembaga negara yang dikonsepsikan sebagai penerjemah konstitusi, justru dinilai melanggar dan tidak taat konstitusi.
Bahkan, muncul ancaman terhadap independensi hakim MK melalui wacana revisi UU MK. Putusan progresif MK selama ini dianggap telah menyalahi kaidah kewenangan atributif yang dimiliki MK. Sehingga keberadaan hakim-hakimnya perlu dievaluasi secara berkala. Buntut pertanggungjawaban atas putusan-putusan yang dibuatnya.
Senasib sama, Putusan 21/PUU-XXIII/2025 juga tidak mendapat sambutan baik dari pemerintah. MK yang mengamanatkan larangan wakil menteri tidak merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN juga tidak berbeda jauh. Diabaikan dan menolak untuk mengakuinya sebagai kaidah mengikat untuk ditaati.
Pemerintah berdalih, larangan tersebut tidak pernah berbentuk amar putusan yang mengikatkan suatu norma. Larangan rangkap jabatan hanya terkandung pada batang tubuh pertimbangan (ratio decidendi) putusan. Sehingga tidak terdapat kerangka kaidah yang dilanggar dari putusan MK.
Padahal, antara amar dan pertimbangan merupakan satu-kesatuan utuh yang tidak terpisahkan. Jauh sebelumnya, MK juga yang memberikan rambu-rambu dalam Putusan 76/PUU-XX/2022 yang menyebut, pertimbangan putusan dapat berupa judicial order yang memuat amar untuk dilaksanakan.
Pada posisi itu, ketaatan pemerintah/DPR terhadap konstitusi patut dipertanyakan. Pertanyaan mendasarnya, mengapa seringkali putusan MK diabaikan, atau menjadi sukar untuk dilaksanakan? Bukankah keberadaan MK dalam tatanan kelembagaan negara menjadi instrumen check and balance?
Terdapat beberapa faktor. Pertama, konsolidasi politik pemerintah yang sangat solid. Terbukti dengan relasi konspiratif antara pemerintah-DPR dalam merumuskan agenda-agenda legislasi.
Ini menjadi modal kapital politik yang sangat kuat dalam merumuskan kebijakan. Akibatnya, putusan MK sangat mungkin untuk diabaikan melalui revisi undang-undang.
Kedua, mekanisme rekrutmen hakim MK yang menggunakan pola pengusulan representatif setiap lembaga negara; Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Pola semacam ini seolah menciptakan relasi keterwakilan dari lembaga pengusung. Posisi ini mengakibatkan keberadaan hakim MK menjadi sangat rentan dengan politisasi.
Fakta itu semakin nyata dengan disahkannya Peraturan DPR 1/2025 yang mengatribusikan DPR suatu kewenangan evaluasi terhadap kandidat yang diusungnya pada sejumlah lembaga. Kinerja hakim MK sangat mungkin dievaluasi sewaktu-waktu, hingga berakhir pada pencopotan jabatan.
Ketiga, modal kapital politik putusan MK yang sangat lemah. Kelembagaan MK berdiri secara independen dari berbagai pengaruh politik. Putusan yang dikeluarkan justru menempatkan MK vis-à-vis dengan kebijakan politik pemerintah. Pada posisi ini, MK hanya mendapat akumulasi kapital sosial (dukungan publik) sebagai bentuk dukungan terhadap putusan-putusannya.
Terbukti dengan polemik revisi UU Pilkada sesaat setelah Putusan 60 dan 70/PUU-XXII/2024. Agenda politik legislasi itu berhasil diredam akibat gelombang demonstrasi yang besar. Artinya, putusan MK selama ini didorong oleh kuatnya modal kapital sosial publik. Jika tidak demikian, dipastikan putusan MK hanya dianggap angin lalu.
Fenomena semacam ini menunjukkan lemahnya ketaatan pemerintah/DPR terhadap putusan MK dan konstitusi. Menandakan adanya realitas distorsi keseimbangan antarlembaga negara, dan MK menjadi korbannya.
Hal ini terjadi ketika eksekutif dan legislatif membentuk koalisi dominan yang mengabaikan putusan yudikatif. Ini mencerminkan apa yang oleh Juan Linz disebut sebagai "presidentialisme yang bermasalah" di mana konsolidasi kekuasaan eksekutif-legislatif menciptakan hegemoni politik yang melemahkan fungsi kontrol konstitusional.
Fakta demikian menjadi bentuk nyata adanya krisis supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Ketika putusan MK sebagai penafsir otoritatif konstitusi diabaikan, hal ini mengindikasikan krisis konstitusional yang mengancam prinsip negara hukum (rule of law).
Pada posisi ini, penting untuk mencegah terjadinya krisis konstitusional yang berkelanjutan. Maka agenda reformasi terhadap sistem politik yang mendorong fragmentasi kekuasaan mendesak untuk dilakukan. Ini penting untuk mencegah dominasi koalisi pemerintah-DPR yang menumpuk, sehingga menciptakan pola kelembagaan yang tidak sehat.
Agenda ini dapat dilakukan melalui penguatan peran oposisi dalam sistem politik, reformasi sistem kepartaian yang mendorong kompetisi sehat, dan penguatan mekanisme judicial review terhadap produk legislasi.
Reformasi ini semata-mata bertujuan untuk melakukan transformasi budaya politik yang sifatnya paternalistik dan sentralistik. Membangun ulang budaya politik yang mengedepankan rule of law, constitutionalism values, dan separation of powers sebagai pilar fundamental negara hukum demokratis. (*)
***
*) Oleh : A. Fahrur Rozi, Akademisi dan Pegiat Konstitusi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |