https://jakarta.times.co.id/
Opini

Memahami Gangguan Bipolar di Era Modern

Senin, 15 September 2025 - 12:08
Memahami Gangguan Bipolar di Era Modern Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Hidup di Indonesia zaman sekarang memang tidak mudah. Tekanan ekonomi, politik yang tidak stabil, ditambah pandemi yang belum sepenuhnya berlalu menciptakan beban psikologis berat. Di tengah kekacauan ini, gangguan Bipolar menjadi masalah kesehatan mental yang sering diabaikan padahal dampaknya luar biasa nyata.

Banyak orang masih menganggapnya cuma "moody" atau "sensitif berlebihan". Padahal ini kondisi medis serius. WHO mencatat ada 60 juta orang di dunia hidup dengan gangguan Bipolar. Amerika Serikat dalam waktu setahun (2015-2016) mengalami lonjakan dari 3,4 juta ke 5,7 juta kasus.

Di Indonesia, Bipolar Care Indonesia melaporkan peningkatan mengkhawatirkan dari 1% (2016) menjadi 2% (2017), berarti sekitar 72.860 orang Indonesia mengalami kondisi ini. Kemungkinan besar angka sebenarnya lebih tinggi karena banyak tidak terdiagnosis.

Mengapa Indonesia Jadi "Lahan Subur" untuk Bipolar? Negara kita menghadapi banyak tantangan. Demonstrasi di mana-mana, ekonomi naik turun seperti roller coaster, plus tekanan hidup makin berat. Bagi orang dengan kerentanan genetik terhadap Bipolar, kondisi ini ibarat bensin yang dituang ke api.

Faktor digital juga berperan. Media sosial 24/7 mengacaukan pola tidur, padahal gangguan tidur adalah pemicu utama episode mania. Budaya "show off" di Instagram atau Facebook membuat kita selalu merasa kurang, sangat berbahaya saat episode depresi menyerang.

Lebih menyedihkan lagi, stigma masyarakat masih sangat kuat. Penderita sering dianggap "gila", "cari perhatian", atau "kurang ibadah". Padahal ini murni masalah medis bisa terjadi pada siapa saja.

Seperti apa rasanya hidup dengan Bipolar? Bayangkan hidup seperti naik wahana ekstrem tanpa bisa turun. Saat episode mania, penderita merasa seperti raja dunia, energi berlimpah, ide kreatif mengalir deras. Mereka bisa belanja sampai kartu kredit jebol, tidur cuma 2-3 jam tapi tetap semangat, atau bikin keputusan impulsif.

Kemudian datang episode depresi seperti jurang tanpa dasar. Kesedihan sangat dalam, kehilangan minat pada semua hal, capek luar biasa sampai susah bangun dari tempat tidur. Paling menakutkan adalah pikiran untuk mengakhiri hidup.

Berbagai penelitian menunjukkan remaja usia 17-23 tahun paling berisiko. Masa ini kritis, mereka sedang mencari jati diri, menghadapi tekanan akademis, plus ekspektasi sosial tinggi.

Pola asuh terlalu keras atau otoriter meningkatkan risiko Bipolar pada remaja. Sebaliknya, pola asuh demokratis dan penuh pengertian memberikan perlindungan.

Salah satu masalah terbesar adalah keterlambatan, bahkan kesalahan diagnosis. Penderita Bipolar biasanya datang ke dokter pas lagi depresi, bukan saat mania. Akibatnya, banyak didiagnosis sebagai depresi biasa dan diberi antidepresan.

NIMH (National Institute of Mental Health), lembaga kesehatan mental terkemuka di Amerika Serikat, menekankan pentingnya menanyakan riwayat episode "kegembiraan berlebihan" untuk diagnosis tepat. Masalahnya, masih banyak tenaga kesehatan kita belum cukup terlatih mengenali gejala bipolar. 

Meski menakutkan, gangguan Bipolar bisa dikelola dengan baik. Kombinasi obat penstabil mood dan terapi psikologis terbukti sangat efektif. Banyak penderita bisa menjalani hidup normal, bahkan sangat produktif.

Semakin terbukanya diskusi tentang kesehatan mental di Indonesia memberikan harapan. Beberapa artis dan public figure mulai berani bercerita tentang perjuangan mereka.

Pertama, stop menganggap gangguan mental sebagai aib. Ini kondisi medis seperti diabetes, butuh pengobatan, bukan penghakiman. 

Kedua, pendidik perlu dibekali pengetahuan mengenali tanda awal. Ketiga, tenaga kesehatan butuh peningkatan kompetensi diagnosis.

Dukungan keluarga dan masyarakat tidak kalah penting. Penderita Bipolar butuh lingkungan supportif, bukan yang menghakimi.

Gangguan Bipolar adalah tantangan nyata Indonesia modern. Mengabaikannya sama saja membiarkan jutaan warga negara menderita dalam diam. Sudah waktunya bertindak dengan pemahaman benar, empati tulus, dan dukungan konkret untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

***

*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.