TIMES JAKARTA, JAKARTA – Saya adalah salah satu peserta Pelatihan Dasar (Latsar) CPNS 2025. Beberapa hari lalu, saya baru saja menuntaskan seluruh rangkaian kegiatan Latsar yang ditutup dengan sesi pembelajaran klasikal.
Suasananya bukan hanya penuh ilmu, tetapi juga menyenangkan dan menghibur. Terlebih, tema yang diangkat cukup menarik, yakni “Sikap, Perilaku, dan Kegiatan Semangat Bela Negara”, yang diselenggarakan di Balai Diklat Keagamaan (BDK) Jakarta.
Bela negara sejatinya tidak selalu identik dengan angkat senjata. Ia dapat diwujudkan melalui tindakan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, memilih produk lokal, menjaga kelestarian lingkungan, hingga meraih prestasi yang mengharumkan nama bangsa. Intinya, bela negara adalah tanggung jawab seluruh warga agar Indonesia terus maju dan semakin sejahtera.
Jika dikaitkan dengan isu krusial saat ini, salah satu pertanyaan mendasar adalah: mengapa sangat penting membangkitkan semangat bela negara di tengah krisis lingkungan? Bagaimana pendekatan ekoteologi dapat menjadi solusi fundamental untuk menumbuhkan kesadaran bahwa menjaga bumi merupakan bagian dari tanggung jawab spiritual dan keagamaan kita?
Krisis Lingkungan di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam: hutan tropis yang lebat, lautan yang luas, serta kekayaan hayati yang melimpah. Namun, seluruh anugerah tersebut kian tergerus oleh ulah manusia.
Krisis lingkungan kini bukan lagi isu abstrak, melainkan realitas yang kita rasakan setiap hari mulai dari hutan gundul, sungai tercemar, hingga udara perkotaan yang semakin sesak. Semua ini menunjukkan bahwa cara kita mengelola alam masih jauh dari bijak.
Deforestasi menjadi salah satu masalah besar yang mencoreng wajah Indonesia. Hutan yang semestinya menjadi paru-paru dunia dibabat habis demi perkebunan sawit, pertambangan, atau proyek industri. Dampaknya, satwa kehilangan habitat, ekosistem terganggu, dan bencana seperti banjir, longsor, serta kekeringan semakin sering terjadi.
Persoalan lain terlihat dari kondisi air. Sungai yang dulu jernih kini berubah menjadi “tempat sampah raksasa” akibat limbah industri, rumah tangga, dan pertanian yang dibuang tanpa pengolahan.
Ironisnya, air tercemar itu masih digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga ancaman terhadap kesehatan dan kualitas hidup kian meningkat, terutama bagi kelompok rentan.
Polusi udara juga menjadi ancaman serius di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Asap kendaraan, pembakaran sampah, serta aktivitas industri membuat kualitas udara semakin memburuk.
Akibatnya, masyarakat terpaksa menghirup udara kotor yang berisiko memicu penyakit pernapasan. Pertanyaannya, sampai kapan kita rela hidup dalam kondisi udara beracun?
Di sisi lain, perubahan iklim memperparah situasi. Cuaca sulit diprediksi, gelombang panas kian menyengat, dan kenaikan permukaan laut mengancam desa-desa pesisir.
Petani dan nelayan pun kesulitan menentukan musim tanam dan melaut. Jelaslah bahwa krisis lingkungan bukan lagi isu global yang jauh, melainkan ancaman nyata bagi jutaan rakyat Indonesia.
Sayangnya, kebijakan pemerintah sering kali menimbulkan kontradiksi. Di satu sisi ada program penanaman pohon dan kampanye hidup ramah lingkungan, namun di sisi lain izin tambang dan pembukaan lahan baru terus diberikan dengan alasan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, keberlanjutan kerap dikorbankan demi kepentingan sesaat.
Pada akhirnya, krisis lingkungan di Indonesia bukan hanya soal hancurnya alam, tetapi juga menyangkut cara kita memaknai hidup dan mencintai negeri. Jika bela negara berarti cinta tanah air, maka bentuk paling nyata adalah menjaga bumi tempat kita berpijak. Tanpa lingkungan yang sehat, masa depan bangsa bisa runtuh sewaktu-waktu.
Pendekatan Ekoteologi
Kondisi krisis lingkungan menuntut perubahan cara pandang terhadap relasi manusia, alam, dan Sang Pencipta. Di sinilah ekoteologi hadir sebagai pendekatan yang menyatukan ajaran agama dengan kepedulian ekologis. Melalui ekoteologi, kita diingatkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya urusan sosial, tetapi juga wujud ibadah dan tanggung jawab spiritual.
Banyak ajaran agama menegaskan bahwa alam adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang wajib dihormati dan dijaga. Sungai, hutan, laut, dan udara memiliki nilai luhur yang tidak boleh dieksploitasi secara serampangan.
Dengan ekoteologi, kita diajak untuk melihat alam sebagai amanah yang harus dirawat, bukan sekadar sumber daya yang bisa dikuras habis demi keuntungan sesaat.
Sering kali agama hanya dipahami sebatas ritual, padahal hakikat ibadah juga menuntun manusia untuk menjaga alam. Ekoteologi mengingatkan bahwa merusak lingkungan sama saja dengan mengingkari kasih Tuhan.
Bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan polusi lahir dari keserakahan manusia. Maka, wujud cinta kepada Tuhan adalah menjaga bumi agar tetap layak huni bagi generasi mendatang.
Di Indonesia, pendekatan ekoteologi sangat relevan. Masyarakat kita religius, sehingga pesan moral tentang menjaga alam lebih mudah diterima melalui jalur keagamaan. Khutbah di rumah ibadah, pelajaran agama di sekolah, hingga gerakan sosial berbasis komunitas dapat menjadi sarana menanamkan nilai cinta lingkungan yang berlandaskan spiritualitas.
Lebih dari itu, ekoteologi dapat menjadi titik temu lintas agama. Semua ajaran agama mendorong hidup selaras dengan alam. Jika nilai ini diwujudkan dalam aksi nyata seperti menanam pohon, menjaga kebersihan sungai, atau melindungi satwa maka spiritualitas terbukti dapat menjadi solusi ekologis.
Menjaga lingkungan melalui ekoteologi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Iman akan terasa hampa jika kita abai terhadap ciptaan Tuhan. Lewat ekoteologi, kita diajak untuk memahami bahwa mencintai Tuhan berarti juga merawat bumi.
Singkatnya, bela negara tidak cukup berhenti pada slogan “cinta mati” terhadap tanah air, tetapi harus diwujudkan dalam kepedulian nyata agar kita tidak “mati rasa” terhadap kerusakan lingkungan. Tanpa bumi, air, dan udara yang sehat, cinta tanah air hanya akan menjadi jargon kosong tanpa makna bagi generasi mendatang. (*)
***
*) Oleh : Dr. Edi Sugianto, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Peserta Latsar CPNS 2025.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Bela Negara: Antara Cinta Mati dan Mati Rasa
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |